55 | a little carried away
Pemenang voucher Karyakarsa chapter 54: Rfty97 4k, yul_nda 2k
55 | a little carried away
DI ANTARA semua kemungkinan, entah bagaimana selalu Gusti yang hadir di saat yang tidak tepat.
Pria yang seumur-umur tidak pernah mendatangi Iis di kantor pada siang bolong itu, mendadak muncul di pintu depan Relevent. Menatap dengan pandangan nanar ke arah istrinya yang sedang berada dalam pelukan pria lain.
Linggar yang lebih dulu sadar akan keberadaan Gusti segera menjauhkan diri dan memberitahukan kedatangan sang suami pada mantan kekasihnya.
Iis panik, lekas mengusap air mata yang sudah bercucuran di pipi dengan punggung tangan, memberi isyarat pada Linggar untuk segera berlalu, sementara dirinya sendiri cepat-cepat bangkit berdiri menyusul Gusti yang sudah lebih dulu balik badan ke halaman, tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun. Menyusulnya masuk ke dalam mobil.
"Gus, please, let me give you an explanation this time .... Jangan bikin kesimpulan sendiri ...." Iis mencicit sambil meraih lengan sang suami yang duduk di sebelahnya. Tidak bisa lagi mencegah pipinya yang kembali basah.
"I don't need any explanation, Is." Pria yang dia ajak bicara itu menyahut dengan tenang.
Tapi, karena Gusti bahkan tidak mau repot-repot membalas tatapannya, Iis sudah bisa menebak seberapa buruk kecerobohannya tadi akan berimbas pada hubungan mereka.
"Aku ke sini cuma nganter makan siang karena merasa bersalah udah bikin kamu berangkat tanpa sarapan tadi pagi. Tapi kalau ternyata aku datang telat dan kamu udah makan, it's okay."
"Enggak." Iis segera menyahut. Berbohong demi menahan suaminya sedikit lebih lama. Supaya ada kesempatan untuk berbicara. "Aku belum makan. Siniin."
Tanpa menyahut lagi, Gusti mengangsurkan paperbag yang tadi dia letakkan di jok belakang.
"Mau makan di dalem?" Iis mencoba memberi alternatif.
Suaminya menggeleng. "No. Aku mungkin bakal selalu kebayang Linggar lagi meluk kamu kalau harus masuk ke sana lagi."
Iis menelan ludah, mengusap pipinya sekali lagi. Membongkar paperbag di pangkuan. Mengeluarkan satu bento untuk Gusti—yang dia letakkan di center console—lalu mengambil miliknya sendiri.
Tapi karena hingga beberapa saat kemudian sang suami tidak kunjung menyentuh makanannya, Iis menutup kembali kotak miliknya yang sudah dia buka. Menahan napas. Berusaha memikirkan cara apapun untuk meredakan emosi Gusti, tapi isi kepalanya kosong karena terlalu kalut.
"Aku pantes kamu benci, Gus. Aku bikin hubungan kita jadi makin jauh aja dari hari ke hari," ujarnya kemudian, dengan nada memohon. Bahkan tidak yakin akan dapat meluluhkan hati sang suami.
Tapi ternyata Gusti langsung membantah. "Nggak ada yang perlu dibenci, Is. I know what you were doing." Akhirnya, tatapan Iis terbalas juga. "Karena project-nya udah selesai dan kamu udah kasih rekomendasi EO lain ke dia, kalian udah berniat untuk nggak saling ketemu lagi, then you thought maybe a goodbye hug wouldn't be a problem for me."
Iis mengangguk-angguk. "I got a little carried away." Wanita itu lalu menundukkan muka. Merasa pemakluman yang sempat dia ciptakan untuk dirinya dan Linggar ketika pasrah saja membiarkan diri terbawa suasana tadi, mendadak lenyap.
Bagaimanapun juga, apa pun pembelaannya, tidak akan pernah terlihat benar menurut pandangan suaminya.
"I understand." Gusti menyahut pelan lagi. Kembali menatap ke depan. "Are we good now, berhubung udah impas sekarang? Aku bikin kamu nangis tadi pagi, dan kamu bales dengan bikin aku kecewa siang ini."
Iis tidak bisa menjawab. Hanya bisa merutuki kebodohannya.
Tentu dia sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati suaminya. Dia betul-betul hanya terbawa suasana, dan sekarang jadi sangat-sangat menyesal karenanya.
Dia memang ingin melepas Linggar dengan baik-baik. Tapi hal itu jelas tidak sebanding jika harus mengorbankan keharmonisan hubungannya dengan Gusti lagi.
"Bisa nggak, kalau aku minta kamu berhenti nangis?" Gusti bertanya lagi, membuat Iis spontan menggigit kedua bibirnya agar berhenti sesenggukan. "Sakit banget denger kamu nangis karena cowok lain."
Meski jelas bukan Linggar yang sedang dia tangisi sekarang, Iis mengangguk-angguk. "I'm so sorry."
"Dan jangan minta maaf lagi. Udah cukup. Aku nggak suka lihat kamu kayak gini."
Iis mengangguk. Meremas kedua tangan di pangkuan, di atas kotak bento-nya.
"Oh, God! I miss you sooo much!" Gusti mendesah frustasi, meremas kedua sisi kepalanya sendiri, sehingga urat-urat di punggung tangannya jadi semakin terlihat jelas.
Jujur, Iis belum pernah melihat Gusti sekacau ini.
Sepanjang Iis mengenalnya, Gusti selalu tenang. Tidak pernah berlebihan dalam menyingkapi segala sesuatu.
Jadi ketika sekarang yang dia lihat di hadapannya adalah kebalikan dari yang biasanya, Iis makin tertampar, makin sadar seberapa besar dia telah mengecewakan sang pria.
"Aku kangen sama kamu yang sebelum kita pulang dari Magelang." Gusti mendesah. Mengembalikan pandangan ke arah sang istri. Menurunkan kedua tangannya untuk beralih menggenggam tangan wanita yang dicintainya itu, yang kini sedang duduk gemetar di sebelahnya. "Can we just skip this drama? It's too exhausting, to be honest."
Iis mengangguk-angguk tanpa bisa berkata-kata.
Dan melihat istrinya serapuh itu, Gusti tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menyentuh dagunya. Mendaratkan ciuman lembut di bibirnya. Berusaha menyingkirkan perasaan tidak nyaman yang menghantui selama berhari-hari ini. Berusaha menghapus ingatan mengenai hal-hal yang menurutnya tidak layak diingat.
Kenapa juga mereka harus berlarut-larut menyesali masa lalu? What's done is done. Nggak bisa diedit lagi. Yang perlu mereka lakukan sekarang hanyalah berusaha supaya nggak perlu lagi ada perselisihan di masa mendatang.
"God, rasanya kayak udah lama banget." Pria itu menggumam lirih tanpa menjauhkan diri. Memegangi kedua sisi wajah istrinya, mempertemukan kedua dahi mereka.
Dan memang benar apa yang dikatakan suaminya. Bahwa rasanya seperti sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka berdua bisa saling memeluk dan mencium tanpa beban. Sejak terakhir kali mereka merasa seolah diciptakan untuk satu sama lain, saling memahami bahkan tanpa perlu berkata-kata.
Dan bukan hanya Gusti. Iis juga merindukan suaminya itu. Merindukan perasaan bahwa memiliki Gusti seorang sudah cukup baginya untuk bisa bertahan hidup di dunia.
"You've kissed me this morning." Iis kemudian tertawa suram saat akhirnya Gusti melepaskannya. "Udah lama apanya?"
"But you seem so far away." Suaminya kembali membela diri.
Iis lalu mengulurkan tangan untuk ganti meraih dan menggenggam tangan pasangannya, mengulas senyum tipis yang lagi-lagi masih terasa kaku di wajah. "Aku kan nggak ke mana-mana, Gus. Nungguin kamu bersedia ngasih kesempatan aku buat ngomong."
"I've told you. I don't need any explanation." Gusti menggeleng keras, seolah memohon. Membuat sang istri hanya bisa mengangguk-angguk lagi, paham.
One step at a time.
Yang paling penting bagi Iis sekarang adalah mengembalikan hubungan mereka berdua dulu. Sementara masalah yang lain-lain—yang meskipun sebenarnya sangat fundamental dan jika tidak segera terselesaikan malah dia khawatirkan akan jadi bumerang untuk hubungan mereka ke depan—akan coba dia pikirkan cara untuk menyampaikannya secara perlahan-lahan, jika sudah tiba saat yang tepat.
Dan saat kemudian suaminya itu melepas kacamata yang dia kenakan, mulai menciumi kedua pipinya yang basah, sedikit harapan Iis mulai timbul.
Kalau ini demi kebaikan mereka berdua, tidak mungkin selamanya Gusti akan tutup mata. Tidak mungkin selamanya pria itu tidak bisa melihat maksud Iis yang sebenarnya.
"Jangan nangis lagi, ya, Sayang. Makeup kamu nggak nolong sama sekali kalau nangis begini. Jelek banget."
Iis membiarkan Gusti memeluknya. Membiarkan sedikit kesedihannya sendiri tumpah di sana.
Gusti belum mau mendengar apapun, then that's okay for now.
"Kamu pakai parfum honeymoon kita lagi?" Iis menggumam pelan dalam rengkuhan suaminya, mengalihkan topik.
Gusti mengangguk. "Sekangen itu aku sama kamu, Is."
Dan jawaban itu tidak mungkin tidak sampai ke hati istrinya. Yang juga merindukannya sama besar. Yang selama berhari-hari ini hanya bisa menunggu uluran tangan datang untuknya. Menunggu diizinkan berbicara. Menunggu kesempatan untuk bisa memperbaiki apa yang telah dia kacaukan.
"Are we both forgiving each other like this is really not enough for you?" Gusti lalu bertanya lagi. Masih kekeh dengan pendiriannya tadi pagi. Namun, kali ini terdengar jauh lebih sedih. "Iya, aku ngerti, saling maafin nggak bikin masalah kelar. But we couldn't solve everything. Our time is limited. Coba hitung, sehari kita cuma bisa ketemu berapa jam? Aku nggak mau waktu kita habis buat berantem."
Iis hanya bisa menggeleng. "Maafin aku, aku egois."
"Enggak. Aku juga egois. Nggak kasih kesempatan kamu buat ngomong—karena emang nggak mau denger, apapun itu." Dan kemudian pria itu menjauhkan diri sekali lagi agar bisa menangkup kedua pipi istrinya. Memaksa mereka berdua saling menatap. "Are we good now?"
Iis mengangguk. Membiarkan dirinya diciumi sekali lagi, sampai lupa diri bahwa mereka masih berada di dalam mobil. Di halaman depan kantor yang ramai lalu lalang.
"Kamu tau darimana aku ngasih rekomendasi EO lain ke dia?" Iis memberanikan diri untuk bertanya.
"Brian. And that's why aku bilang aku nggak butuh penjelasan." Gusti lalu mengusap lembut belakang kepala istrinya. "Udah, ya. Jangan nakal gini lagi. Kamu tahu aku nggak pernah marah sebelumnya. Tapi sekarang bawaannya jadi emosi terus kalau inget Linggar masih sering ke sini, ketemu kamu di belakang aku."
"I'm sorry."
"You don't need to say sorry." Gusti mengecup kening istrinya hangat dan dalam. "We don't need to go over this issue anymore. Yang udah, ya udah."
Iis mengangguk-angguk.
One step at a time.
Setidaknya, dengan Gusti tidak lagi mendiamkannya, Iis jadi bisa fokus memikirkan masalah mereka yang lain.
"Udah, sekarang kamu makan." Gusti memerintah.
Iis membuka kembali kotak makan dipangkuannya dengan rasa bersalah. "Sebenernya aku udah makan tadi sama Sabrina."
"Kan!" Gusti mendengus pelan. Mencubit pipi di hadapannya itu. Kesal. Gemas. Membuat istrinya cuma bisa meringis.
"Beneran nggak mau lanjut di dalem aja, Gus?" Iis mencoba membuat penawaran lain, sekali lagi. Mendadak memasang wajah jahil. "Kayaknya cium aja nggak cukup deh, buat kamu yang udah dua minggu puasa?"
Gusti kontan menjitak kepala istrinya pelan.
"Quickie doang lebih nggak cukup lagi, kali—kayak orang laper, dikasih permen doang. Lagian mau di mana? Di sofamu yang mini itu? Terus jebar-jebur keramas di kamar mandi, kedengeran sama yang lain, biar mereka jadi punya bahan buat ngeledekin kamu?" Pria itu menaikkan sebelah alis, kemudian menggeleng. "Sorry, mending dilanjut nanti di rumah aja. Aku usahain pulang cepet."
Iis mengangguk dan segera merapikan diri, juga mengemasi jatah makan siang yang sudah susah-susah dibawakan oleh suaminya.
"Please jangan bawa-bawa topik hari ini kalau nggak pengen kita ribut lagi, ya?" Gusti mengingatkan untuk terakhir kali sebelum akhirnya berlalu.
Iis mengangguk.
Dan sepeninggal suaminya, dia langsung masuk ke dalam ruangannya di lantai tiga, mengunci pintu, dan kemudian menangis sejadi-jadinya.
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top