54 | last encounter

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 53: Rfty97 3k, yul_nda 2k








54 | last encounter





SAAT kemudian dia kembali ke kantor, lagi-lagi yang pertama dilihat Iis adalah Linggar, sedang duduk di ruang tamu bersama Trias, penanggung jawab project-nya, serta Lyra yang kemungkinan besar dipaksa Trias untuk tidak cabut makan siang bersama yang lain dulu biar dia ada temannya.

Project Linggar selesai hari ini dan Iis sudah menyampaikan pada Trias untuk memberikan rekomendasi EO pengganti untuk project-project perusahaan pria itu ke depannya, demi ketentraman bersama.

Dan untuk hubungan di luar pekerjaan, meski Iis masih belum tahu harus bersikap bagaimana di hadapan sang pria saking menyesal dan merasa bersalah, Iis sadar betul saat-saat untuk menghadapi konsekuensi dari keputusannya dulu pasti akan tiba juga—dan sepertinya saat itu adalah sekarang.

Setelah sempat terdiam untuk meyakinkan diri, Iis akhirnya melangkah masuk ke lobby kantornya, mengangguk samar pada Rachel yang sedang duduk di outdoor seating coffee shop-nya sambil menggumamkan "Ada Linggar" padanya tanpa suara.

"Mbak Iis." Lyra yang duduk menghadap pintu segera menyadari kedatangan bosnya, membuat Trias dan Linggar menoleh bersamaan.

Dan kemudian, tanpa diminta, kedua stafnya itu pamit undur diri.

Iis tersenyum kaku—tidak yakin apakah tepat untuk memasang wajah ramah pada saat seperti ini.

"Are you okay?" Linggar bertanya padanya lebih dulu setelah Iis mengambil tempat duduk di sofa di sebelahnya, merujuk pada saat terakhir pertemuan mereka, di mana Gusti tiba-tiba muncul, dan jujur saja Linggar merasa khawatir karenanya.

Iis menggeleng pelan. Menghindari tatapan kusut pria di sebelahnya, yang membuat dia makin merasa menjadi seburuk-buruknya manusia. "No, Nggar. I'm ashamed to meet you."

How could she not know, during the time they were together, that this man was fighting for her?

Segitu nggak pekanya dia sebagai manusia? Segitu nggak bersyukur dia atas apa yang dia punya, membuat hatinya jadi diliputi oleh rasa kasihan terhadap diri sendiri, sampai-sampai tidak bisa berempati sedikit pun pada orang di sekitarnya? How the worst human being she is.

"I'm so sorry, Nggar, for wasted our time selama tujuh tahun kemarin. I feel so bad that I don't know what to say."

"I feel bad for making our relationship end up like this too."

"Bukan salah kamu."

"Ya, aku tau, kita berdua sama-sama salah. Cara kita dulu salah. Tapi setelah semua selesai begini, aku jelas punya pilihan untuk nggak mengusik kamu lagi, tapi aku nggak ngelakuinnya—dan aku pantas menyesal untuk itu."

"Enggak, Nggar." Iis menggeleng pelan, berusaha meyakinkan. "Wajar kalau kamu mau jelasin semuanya ke aku, berhubung aku nggak kasih kesempatan kamu untuk ngomong, sewaktu aku minta kita pisah secara sepihak dulu. Bahkan aku juga nggak jujur tentang alasanku waktu itu. Aku tahu banget gimana rasanya nggak dikasih kesempatan untuk ngelurusin perbedaan persepsi. Aku nggak nyalahin kamu. Aku tahu kamu nggak pernah bermaksud buruk. You just wanted to stand up for yourself. I completely understand."

"I hope I didn't cause you any new problems, Is."

"No need to worry. I'm good. Dan aku juga berharap kamu selalu baik-baik aja, apa pun keputusan yang mau kamu ambil ke depannya."

Linggar mesem. Lalu mengalihkan pandangan dari Iis ke arah vas bunga di meja. Menautkan kedua tangan di pangkuan. Tampak berusaha terlihat tenang juga.

And seeing him like this really hurt her.

Rasanya seperti air susu dibalas dengan air tuba. Dan Iis nggak tahu lagi, bagaimana dia akan memafkan dirinya sendiri setelah ini.

"By the way, thank you buat rekomendasi EO-nya. Kayaknya ini hari terakhir kita ketemu, kecuali ada faktor lain, yang kita sendiri juga nggak sangka-sangka." Linggar menggumam.

Iis hanya bisa mengiyakan dengan lirih.

Bahkan, kalau harus mengesampingkan urusan pribadi, dari sisi profesionalnya sebagai pemimpin perusahaan, melepas salah satu klien pertama Relevent bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan.

Dulu, Gusti dan Zane yang memohon padanya untuk membujuk Linggar agar mau bekerja sama. Dan kemudian, setelah hubungan dua perusahaan terjalin dengan baik selama bertahun-tahun, dia sendiri yang harus mengakhiri.

Iis sampai tidak punya muka saat mengungkapkan rencana itu pada Brian dan Gabriel tempo hari.

Betapa tidak profesional bos mereka.

Tapi Iis juga tidak melihat ada pilihan lain. Saat ini dia hanya bisa mengakui bahwa pressure yang dia terima seminggu belakangan sungguh menjungkir balikkan akal sehatnya.

"Are you happy now, Is?" Mendadak Linggar bertanya pelan setelah keduanya hening selama beberapa saat, sibuk dengan pikiran masing-masing, membuat Iis akhirnya menoleh untuk menatap lawan bicaranya.

Still the same eyes she worshiped these past seven years.

Bedanya, sekarang bukan lagi miliknya.

Dan bedanya lagi, sekarang ada sepasang mata lain yang juga Iis puja.

"Shouldn't I?" Iis menyahut sedih.

"Nggak gitu. I'm just asking, though. Buat mastiin kalau kamu nggak gegabah ambil keputusan lagi."

"I know. Sorry for being rude." Iis menghela napas panjang. Berusaha tidak lagi terbawa suasana. Berusaha tidak mengingat yang sudah lalu-lalu di antara mereka berdua, betapa pun masih sangat membekas. "Aku tahu bakal kedengaran nggak tahu diri karena ngasih tahu ini ke kamu. Tapi Gusti sayang sama aku, Nggar. Begitu juga sebaliknya. Satu-satunya hal yang aku sesali sekarang adalah gimana kita bisa nggak sadar udah saling nyakitin selama bertahun-tahun. Betapa kita nggak segera sadar kalau kita ngejalanin hubungan yang nggak sehat bertahun-tahun. Dan betapa jahat cara aku ninggalin kamu. You're a good man, and I worship you. We were just not meant to be together."

Rahang Linggar sempat mengeras mendengar ucapan Iis itu, tapi tidak juga mengatakan apa pun setelah Iis menunggunya selama beberapa saat.

Iis akhirnya mengulurkan tangan untuk berjabatan, merasa tidak akan berakhir baik bagi kedua belah pihak jika terus mengulur-ulur waktu untuk berpisah.

"Semoga cocok sama EO barunya. Kamu pasti familier sama owner-nya, karena seangkatan sama kita di BEM juga."

Linggar mengangguk samar, tidak berniat basa-basi mengenai topik satu itu lebih lanjut.

"May God bless your marriage and your company, Is."

"I'm so sorry."

Dan setelah menahan diri sedari tadi, ketika sepasang mata pria yang pernah menjadi tempatnya melabuhkan mimpi untuk hidup bersama itu kembali menatapnya dengan pilu, akhirnya air mata Iis meleleh juga dari balik kacamata berbingkai tebal yang dia kenakan.

Dia sungguh merasa buruk harus melihat Linggar terluka karena ulahnya. Terlebih setelah mengetahui bahwa pria itu sangat amat tidak pantas diperlakukan demikian.

Dia juga jadi merasa tidak berhak berbahagia setelah menyia-nyiakan orang yang amat mencintainya dan sedang berjuang untuknya ini—apalagi mendeklarasikan kebahagiaan itu di hadapan sang pria.

What a terrible human being she is.

Tidak peduli Trias dan Lyra mungkin saja sedang bersembunyi di pantry dan mencuri dengar, atau Rachel yang mungkin masih terus memperhatikannya dari tempat duduk sang cewek di depan—tidak jauh dari pintu masuk kantor—akhirnya Iis membiarkan dirinya sesaat luruh dalam penyesalan. Membiarkan sedikit emosi yang membuncah larut bersama air mata.

"Jangan nangis, Is. Aku nggak mau jadi alasan kamu nangis lagi."

Dan akhirnya, Iis pasrah direngkuh pria yang pernah mengisi hatinya selama bertahun-tahun itu, untuk terakhir kali.

Saling menepuk bahu dan menguatkan untuk terakhir kali.

Tidak. Iis sama sekali tidak menaruh harapan untuk bisa kembali padanya saat mengutarakan niat untuk berpisah enam bulan lalu. Tidak juga saat Linggar kembali datang dengan membawa penjelasan yang terpaksa membuka kedua matanya lebar-lebar, menamparnya dengan keras, menyadarkan bahwa dirinya bukanlah manusia sebaik yang selama ini dia kira.

Tidak sedikit pun.

Karena Iis sadar betul, apa makna pernikahan yang sudah dipilihnya, dan harus dia perjuangkan.

Dan seburuk-buruknya keadaanya, seremuk-remuk jiwanya sekarang, tidak lantas bisa jadi pembelaan diri untuk bisa mangkir dari peran dan tanggung jawabnya.

Saat ini dia sudah jadi seorang istri. Dan bagaimanapun keadaannya, Gusti tidak boleh dikorbankan.

Tapi tetap saja, yang namanya berpisah, apalagi dengan orang yang pernah berbagi banyak hal baik bersama, tidak pernah ada yang mudah.





... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top