53 | woman to woman

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 52: Rfty97 3k, boisterouswebs, yul_nda 2k; Swaka_Eunoia 1k








53 | woman to woman





IIS memandangi dua nama yang ada di daftar close friends Instagramnya sambil tersenyum getir.

Rasa-rasanya sudah lama sekali sejak dia dibuat malu karena ketahuan Gusti kalau ternyata isi daftarnya hanya ada dua orang—pria itu sendiri dan Zane. Dan sudah lama sekali sejak Iis bisa menggunakan fitur itu untuk melempar kode ke mereka berdua bahwa dia sedang butuh teman.

Terakhir kali, Gusti yang datang, and that moment changed her life forever.

Bukan. Iis bukan sedang menyesali keputusan yang sudah lalu.

On the contrary, sebagian besar momen yang paling dia syukuri sepanjang hidup adalah ketika Gusti ada di sisinya. Momen yang membuat dia merasa memiliki tempat berlindung paling aman. Momen yang membuat dia merasa diterima dan disayang.

Tapi sejenak Iis lupa, bahwa semakin mencintai seseorang, kemungkinan menyakiti dan tersakiti juga jadi makin besar. And for God's sake, she had no idea why that crap happened.

Iis sudah pernah mengalami hal buruk seperti ini sebelumnya. Tapi bagaimana mungkin ketika hal semacam ini terjadi lagi, dia masih tetap tidak tahu apa yang harus dilakukan?

Iis mengembuskan satu napas panjang. Memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. Namun, saat hendak bangkit dari tempat duduknya, pandangannya tidak sengaja melihat Sabrina berdiri seorang diri di depan counter tidak jauh dari mejanya.

Sekarang baru jam sepuluh pagi, dan melihat teman gila kerjanya itu berkeliaran di Kopi Kalyan Senopati sebelum jam makan siang jelas bukan hal biasa.

Iis sendiri tadi baru selesai bertemu dengan beberapa cewek yang kemarin hadir di workshop-nya. Para calon klien potensial, yang termakan promosi terselubung yang dia lakukan.

Well, bukan salah Iis kalau dia punya tampang kalem dan suara bersahabat. Bukan salah Iis juga kalau para cewek-cewek yang datang kepadanya seringkali langsung merasa cocok dengan metode pendekatan yang dia tawarkan—memahami karakter mereka lebih dulu, barulah kemudian sok menawarkan bantuan—tidak seperti Gusti yang kalau berbicara menggebu-gebu, banyak mengumbar janji manis yang bikin orang-orang malah khawatir acara paling sakral dalam hidup mereka bakal cuma jadi objek kapitalisasi, atau Zane yang biarpun butuh klien tapi songongnya nggak mau dikesampingkan dahulu.

Tapi, Iis juga nggak menyalahkan mereka berdua.

Tujuan mereka bertiga mendirikan Relevent dulu memang hanya untuk mengisi waktu luang setelah sama-sama gagal masuk universitas tujuan masing-masing, sambil menunggu tahun ajaran berikutnya tiba.

Iis tidak bisa menyalahkan kalau rekan-rekannya tidak bisa memberikan one hundred percent effort, karena memang fokus mereka terbagi dengan persiapan pendaftaran kuliah. Dan Iis sendiri juga tidak menyangka kalau akhirnya dia justru menikmati pekerjaannya ini. Bahkan bisa membuat usaha mereka maju pesat pasca ditinggalkan seorang diri.

"Habis ketemu klien?"

Iis menanyai Sabrina saat akhirnya wanita itu melihatnya dan berjalan menghampiri.

"Nope." Sabrina menggeleng, menyeret kursi di seberang Iis, lalu duduk. "Abis periksa ke klinik."

Dan jawaban pendek itu serta merta membuat kedua mata Iis menyipit. Merasa kembali diingatkan pada desas-desus yang sempat dibisikkan Timothy saat mereka kumpul minggu lalu. "Hmm, pantes muka lo pucet banget semalem, pas lipstik lo gue hapus. Hamil?"

"Shit." Sabrina kontan melotot. Membuat Iis cuma bisa ngakak. "Gue emang abis ke Obgyn. But I respect you, Senior. So, you go ahead—punya debay duluan—then I'll go after you."

Iis paham kok, Timothy kemarin cuma mengada-ada, cuma bercanda. Dia tadi juga sama sekali tidak serius saat mengatakannya, hanya mengulang banyolan Timothy saja.

"Jadi kenapa? Telat dapet? Stress?" Iis bertanya lagi.

"Yep." Sabrina mengangkat bahu, tidak tampak berminat untuk membahas lebih lanjut.

"Hopefully, it will get better." Iis berkata sambil menyentuh bahu temannya untuk memberi dukungan moril, merasa nggak cukup kompeten untuk memberi nasihat.

Kalau jam kerja memang sudah nggak bisa dikurangi lagi, minimal istirahat harus berkualitas. Sebisa mungkin ngurangin stressor di luar kerjaan, dan semua yang bisa bikin sehat dan senang kalau bisa ditambah porsinya. Everybody already knows that. Iis nggak perlu menceramahinya lagi.

"How about you, Mbak? Ngapain jam segini sendirian bengong di luar kantor?" Sabrina balik bertanya.

Iis yang tadinya sudah mau pergi dan tidak berniat ngobrol berlama-lama, jelas nggak siap untuk diinterogasi. "I'm good," sahutnya, mencoba terlihat kalem. "And for your information, gue bukan lagi bengong."

"You are not. Since you put too much makeup on your eyes." Tapi bukan Sabrina kalau nggak ngeyel. "Lagi bengep kan lo? Abis mewek sepagian tadi—setelah gue sama Jerry balik dari tempat lo? Nangisin apa coba? Nangisin Mas Agus, karena mendadak sadar 'kenapa laki gue kalau dilihat lama-lama makin burik, Ya Allah'?"

Iis mencubit lengan temannya itu keras-keras. "Durhaka banget lo ama laki gue, Sab. Kurang baik gimana coba dia sama lo?"

"Yeah, dia baik sih soal kerjaan. Dua kali nyiduk gue dari status pengangguran. Tapi burik mah burik aja, Mbak. Hahaha. Aduuh, ampun Nyonya. Jangan dengerin opini sesat gue yang emang berstandar tinggi soal tampang laki ini. Tapi satu yang gue yakin, kalau lagi di Magelang, Mas Agus masih terhitung cakep pasti—dibandingin sama Mas-Mas TNI yang jarang skincare-an."

Iis cuma bisa geleng-geleng kepala. Melirik sekilas abang-abang yang mengantar pesanan makanan Sabrina ke meja mereka.

"Is it that obvious? Bengep di mata gue?"

"Yep. Dan frame tebel kacamata lo tuh cuma menolong kalau dilihat dari jauh doang. Kalau dari deket, aneh."

"Ugh, apa kata klien gue tadi dalam hati, yak? Hahaha."

Iis ngakak pelan. Lalu menggeleng-gelengkan kepala sementara Sabrina meminta izin untuk mulai makan setelah sebelumnya bertanya apakah Iis sudah makan atau belum.

Setelahnya, mereka membicarakan hal lain.

Tentang ide Karen untuk libur bareng weekend depan, mumpung Iis dan Gusti belum sibuk ngurus anak. Tapi Iis belum bisa mengiyakan dengan alasan project Relevent.

Sabrina manggut-manggut saja, biarpun nggak yakin masalahnya soal kerjaan. Karena ini tuh Mbak Iis gitu loh, sejak kapan dia harus turun tangan meng-handle project? kalau sampai dia terjun, berarti dia memang butuh escape, butuh kesibukan.

Tapi Sabrina tidak mau overlap. Takut ikut campur urusan orang, dan dia memang paling anti melakukannya. Terutama pada yang sudah berkeluarga.

Dia adalah tipe yang menjunjung tinggi pedoman 'tutupi aib keluargamu, maka Tuhan akan menutupi aibmu juga'. Karenanya kemudian dia berusaha memunculkan topik lain sambil menghabiskan spaghetti aglio olionya. Hingga Iis sendiri yang lebih dulu membawa kembali topik yang sempat dia hindari tadi.

"Have you ever been so upset with yourself but didn't know what to do?"

Itu bunyi kalimat yang Iis tanyakan, membuat sang lawan bicara menghentikan aktivitas mengunyahnya dan segera meneguk minuman untuk melonggarkan kerongkongan. Menatap yang bertanya dengan penuh perhatian.

"What's bothering you, Mbak? I'm all ears."

"To be honest, I don't even know what to say." Iis memandang sedih.

Sabrina mengerti. Mbak Iis ini ... nggak pernah suka ngomongin orang di belakang. She's not perfect, but at least gossiping isn't her style. Jika Sabrina semasa ABG dulu tidak menyukainya karena kurang asyik sebagai teman mengobrol, maka seiring bertambahnya umur, Sabrina justru menyukai teman yang begini.

Menghela napas panjang, Sabrina kemudian meraih tangan Iis dan menggenggamnya, berusaha meyakinkan. "Just focus on you. What do you feel?"

Iis menatap Sabrina ragu.

Dia tidak pernah membuka diri pada siapa pun—selain pada Gusti dan Zane yang sebenarnya juga hanya melihat sisi yang berani dia tunjukkan saja. Dia nggak pernah dekat dengan cewek mana pun. Karena dihibur di depan dan kemudian diejek di belakang itu sangat menyakitkan. Terutama karena dia memang tidak ahli membedakan teman yang sungguh-sungguh peduli padanya, atau hanya sekadar mendekat untuk mencari tahu kelemahannya dan mencuri apa yang dia punya.

Terakhir kali memiliki teman dekat, sepertinya saat Iis masih SMA. Itu pun tidak bisa Iis pertahankan semenjak satu persatu mulai menikah, memiliki anak, dan meninggalkan Jakarta.

"I feel like the worst human being ever." Iis menggumam lirih, merasa bola matanya mulai terasa memanas.

Sabrina menggeser kursi supaya bisa memeluk bahunya, menepuk-nepuk pelan punggungnya hingga Iis terlihat lebih tenang. "Know what makes you feel that way?" tanyanya lembut.

Iis mengangguk. "I do."

"If you feel bad, then you must be the one who made a mistake." Sabrina menebak.

Iis kembali mengangguk.

"Unless he or she is no longer in this world, you can still do something about it. Know what you can do?"

"Yes, but I don't have the chance."

Sabrina lalu tersenyum dan merengkuhnya erat sekali lagi sebelum melepaskan diri.

"Then, make your own, Mbak. Trust me, momentum itu cuma mitos, apalagi kalau sebenernya yang jadi penghambat itu adalah diri kita sendiri, kekhawatiran kita sendiri. You want to do something? Do it now. Nggak usah overthinking mikirin bakal berhasil atau enggak, mikirin gimana prosesnya berdampak buat kita dan buat orang yang bersangkutan—bakal sakit atau enggak. Kalau tujuannya buat nyelesein masalah, sakit sebentar juga worth it. Bayangin deh, orang yang celaka di medan perang, harus dioperasi kalau nggak mau berakibat fatal, tapi nggak ada anestesi. Operasinya jelas sakit banget sampai rasanya mau mampus. Tapi, kalau itu untuk penyelamatan, apakah nggak worth it? Memangnya mau dibiarin lukanya membusuk tanpa usaha diobatin, dan orang ini dibiarin meninggal gitu aja perlahan-lahan? Enggak, kan?"

Iis tersenyum getir. "Tahu darimana gue lagi khawatir bakal nyakitin orang yang bersangkutan?"

Sabrina mesem. "Since when do you think I know you? Yesterday? Elo selalu begini dari dulu—takut ambil sikap. Sampai gue heran sendiri, kok bisa ada orang yang begitu bertolak belakang, pola pikirnya dalam urusan kerjaan dengan urusan yang lain. Kalau urusan kerjaan aja, lo sat-set dan kejam. Padahal, semua masalah tuh ya bisa-bisa aja kalau mau diselesein dengan cara yang sama, pakai logika. Ugh, damn .... Kayaknya gue kebanyakan banting tulang di kantor, sisi venus gue jadi makin terkikis." Sabrina memijat kedua pelipisnya sendiri, ikut menunjukkan ekspresi pusing, membuat senyum geli jadi terbit di wajah Iis yang kaku kena makeup tebal dan sisa-sisa air mata. "Duh, dokter gue bilang, nggak boleh mikir yang berat-berat, nih .... Pokoknya gue selalu dukung lo kalau mau take actions yang menurut otak cemerlang lo ini bener. Everything will be fine, Mbak, selama tujuan lo baik, dan lo lakuin dengan cara yang baik. Tapi, kalau pun orang luar nganggepnya nggak fine, ya udah, sih. Sometimes we are the bad guys in someone else's story. Sabar aja. Anggep lagi ngumpulin pahala."

Iis hanya tersenyum tipis. Lalu dia hampir saja memutuskan pamit kalau tidak ingat ucapan Jerry di meja makan rumahnya semalam.

"How about you and your boyfriend, Sab?" tanyanya kemudian.

Sabrina menaikkan kedua alis karena tidak menyangka bakal balik ditanya. "We're good. He is the most kind-hearted and wise person I know. The most supportive boyfriend I could ask for. Nggak tau diri banget kalau gue sampai bilang we're not good."

"Ikut seneng lo sama dia adem-adem aja selama ini." Iis mesem.

"Dia juga bilang gitu?" Sabrina terkekeh geli. "Well, wanna know kenapa kita berdua nggak pernah drama?"

Iis mengangkat bahu sekilas. Tidak terlalu antusias, tapi tidak akan menolak juga untuk mendengarkan cerita lawan bicaranya.

Sabrina lalu melanjutkan, "Karena kita berdua nggak pernah naruh ekspektasi ke satu sama lain. Dia yakin gue udah—dan akan selalu—berusaha jadi versi terbaik gue, and vice versa." Sabrina ikut mesem. "Dia juga yang ngajarin gue untuk nggak berekspektasi ke siapa pun. Semua orang melakukan kesalahan masing-masing. Tapi apa itu berarti mereka sama sekali nggak berusaha meminimalisasi kesalahan mereka? Nggak pernah berusaha jadi yang terbaik? I doubt that."

Sabrina meneguk minumannya sekali lagi, lalu mengelap bibir dengan tissue.

"Yang sering bikin kita luka itu ekspektasi kita yang ketinggian ke orang lain, kan? Orang yang cuma mampu lari lima kilo dalam waktu tiga puluh menit, kita harapkan buat menempuh dalam waktu dua puluh lima menit, isn't that mean? Ya bukan berarti nggak mungkin, apalagi kalau dikasih nutrisi dan pola latihan yang tepat. But that obviously takes time and effort, no? Toh, orang nggak harus saling mengubah satu sama lain buat bisa hidup damai bersama. Yang penting kompromi." Sabrina meringis tipis. Iis pikir kalimatnya sudah selesai, tapi ternyata masih ada lanjutannya. "But the ultimate reason, we are both at peace because we love each other. Orang kalau udah cinta mah pengennya ngebahagiain pasangannya terus, ya kan? Mana sempet kepikiran nuntut dan naruh ekspektasi yang nggak wajar? Yang ada kita udah duluan sibuk love bombing, sibuk saling ngasih, sibuk saling mencocokkan diri. Nggak ada space buat ngerasa nggak dicintai, atau ngerasa pasangan nggak ngeluarin effort yang sama. I'm, indeed, very lucky to have him as a partner."

Iis mengangguk-angguk dengan sedikit raut bangga. "Kayaknya emang bener kata anak-anak, ya. Elo ini titisan Aphrodite, nggak pernah ketemu cowok yang nggak baik."

"Hohoho. Gue ini emang magnet buat cowok-cowok baik, good manner, cakep, seksi, dan mapan."

"Yeah, whatever."





... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top