51 | man to man

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 50: yul_nda 3,5k & Rfty97 3k




51 | man to man



KEMUNCULAN Sabrina di tengah pertengkaran pertamanya dengan Iis terus terang menjadi hal yang disyukuri Gusti malam ini karena secara tidak sengaja telah memberinya sedikit waktu untuk mencerna situasi.

Dia jelas tidak familier dengan perselisihan selain urusan pekerjaan, karena memang Iis adalah pengalaman pertamanya dalam hampir segala hal.

He messed up. He knows that.

Dan sekarang, dia merasa pusing setengah mampus.

Tentu Gusti sebenarnya tahu betul, baik dia maupun Iis bukan orang yang akan blak-blakan mengungkapkan segala sesuatu, terutama yang berpotensi menyakiti hati orang lain. Tapi, sungguh dia tidak menyangka, jika kemampuannya membaca gestur Iis ternyata tidak sebaik yang selama ini dia kira.

Ternyata, masih banyak hal tentang istrinya itu yang harus dia pelajari. Harus dia pahami.

Dan sudah jelas juga, bahwa yang harus segera dia lakukan saat ini adalah meminta maaf, karena ternyata bukan hanya dia yang dibuat terluka oleh apa yang terjadi akhir-akhir ini. Melainkan Iis juga.

Iis sendiri mungkin sudah berusaha melakukan yang terbaik menurut versinya. Berusaha menghindari Linggar sebisanya. Berusaha menghindarkan konflik antara dia dengan pria itu. Sebagaimana Gusti juga mati-matian mencoba berdamai dengan situasi mereka beberapa hari ini. Berusaha yakin bahwa Iis tidak mungkin sengaja menyakitinya.

"Sorry if I have to ask you the question you hate one more time." Iis akhirnya membuka suara lagi saat Sabrina berakhir jatuh tertidur di sofa ruang tamu apartemen mereka, bahkan dengan tontonan sekonyol Hotel Transylvania di televisi, saking lelahnya. "But since you got home earlier than usual ... are you really not hungry? Soalnya aku sendiri juga belum makan."

Gusti menggeleng dari seberang ruangan. Melihat istrinya yang berwajah sendu, membuatnya ingin memeluknya seketika ini juga. Memohon ampun dan meyakinkannya kalau kedepannya mereka berdua akan baik-baik saja. "Nope, Is. Kamu order makan buat kamu sendiri aja."

Tapi sebelum dia sempat mengatakan atau melakukan apa pun lagi, sekali lagi obrolan mereka terinterupsi oleh suara ponsel bergetar di meja, yang kali ini berasal dari ponsel Gusti. Telepon dari Jerry yang memberi tahu bahwa dirinya sudah berada di lobby untuk menjemput Sabrina.

"Nggak usah dibangunin, Jer." Gusti mencegah saat sahabatnya itu kini telah bergabung di ruang tamu dan berniat membangunkan sang pacar. "Kasian dia, kayaknya udah capek banget. Biarin nginep di sini aja, besok bisa balik pagi-pagi banget sebelum ngantor. Dia bisa tidur di dalem sama Iis. Lo sama gue di sofa."

Jerry menimbang-nimbang sebentar, memandang Iis sesaat untuk meminta pendapat. Dan begitu mendapat anggukan, segera dia gendong pacarnya itu masuk kamar, merasa saran Gusti sudah yang paling tepat.

Dia mungkin bisa saja membawa Sabrina ke parkiran tanpa membangunkan. Tapi nggak menjamin cewek itu nggak bakal terbangun juga, kan? Dan jelas, siapa lagi yang lebih tahu bagaimana gilanya Sabrina bekerja minggu ini kalau bukan orang dari departemen yang sama dengannya, yaitu Gusti?

"Don't worry. I'll take off her makeup." Iis menyuruh Jerry pergi saat dia melihat sang pria memandang muka pacarnya yang masih full makeup dengan khawatir.

Iis meringis kecil sambil mengambil kapas dan micellar water dari meja rias untuk meyakinkan Jerry agar segera meninggalkan kamarnya.

What a gentleman. Yang remeh temeh kayak ngehapus makeup aja dipeduliin.

Dan beberapa saat kemudian, saat Iis keluar lagi, sambil berharap semoga kecanggungan antara dirinya dan Gusti sedikit mencair dengan adanya companion, Jerry yang memang sebelas dua belas dengan Gusti dalam hal cerewet dan sok akrabnya, kembali bersuara duluan.

"Udah pada makan? Ada bahan? Mau dimasakin?" Jerry tiba-tiba berdiri dari sofa di sebelah suaminya.

Iis memandang Gusti sesaat, yang juga sedang memandangnya.

"You cook?" Iis balik bertanya.

Terakhir kali dirinya mengubek-ubek dapur adalah saat memasakkan daging lapis untuk Gusti minggu lalu.

Bahan makanan seharusnya masih sebanyak yang dia belanjakan terakhir kali bersama Mamanya. Tapi berhubung sudah lumayan lama, pasti hanya yang beku-beku saja yang masih layak diolah.

"Gue enam tahun di Amrik, Is. Bisa kere kalau makan enak beli terus." Jerry mengikuti sang nyonya rumah berjalan ke dapur.

Iis hanya mengiyakan saja. Segera memeriksa isi kulkasnya. Memberitahu di mana dia meletakkan berbagai peralatan yang mungkin Jerry butuhkan.

"Banyak sih, bahan. Tapi kayaknya perlu dipilah-pilah karena udah berhari-hari gue nggak buka kulkas."

Jerry kemudian meminta izin untuk mengobok-obok dapur kecilnya itu. "Yang gampang aja, Is. Kecuali lo mau gue begadang bikinin six courses dinner buat kalian berdua."

"Funny."

Dan setengah jam kemudian, mereka bertiga sudah ngobrol sambil mengelilingi meja makan. Sudah terhidang pasta dan ayam yang dibumbui pedas, yang entah apa namanya, membuat Iis harus mengakui, setidaknya biarpun rasanya nggak terlalu istimewa, time management Jerry sewaktu memasak tadi udah ngalah-ngalahin mamanya sendiri di rumah.

"Duh, ngelihat kalian berdua harmonis begini, gue jadi pengen cepet-cepet nyusul, kan." Jerry nyeletuk sambil makan.

Untung saja Iis nggak tersedak, karena jelas situasi rumah tangganya saat ini sedang kontra dengan apa yang baru saja diungkapkan oleh tamunya.

Iis akhirnya cuma mesem, membiarkan suaminya yang menyahut.

"Nyusul, lah." Gusti juga hanya bisa menyahut pendek sebelum mengalihkan topik, sampai kemudian Iis menyusul Sabrina masuk ke dalam kamar, meninggalkan suami dan tamunya di ruang tamu dengan setumpuk bantal dan selimut, mengobrolkan apa pun yang tidak ingin Iis ketahui karena dirinya sendiri juga merasa sangat lelah dan butuh segera merebahkan diri.

"Don't you think twenty-five is too young to get married?" Jerry membawa lagi topik yang tadi. Membuat Gusti yang lagi memijat pelipisnya auto menoleh.

"Depends. Manusia terlalu kompleks buat digeneralisasi." Gusti mendesah pelan. Merasa hal-hal yang saat ini sedang membuncah di dadanya terlalu sakit untuk tidak dikeluarkan. Tapi nggak mungkin dia menangis di hadapan Jerry seperti Zane menangis di pundak Iis, di hadapannya, pada zaman dulu, kan? No way, Gusti tidak sealay Zane. "Just ask her. Man up, Jer."

"Hahaha." Jerry tertawa suram. "Iya juga, sih. Cuma ide ini. Nggak bakal ngebunuh orang juga kalau diomongin." Jerry balas menggumam di sofanya. Memandang ceiling ruang tamu yang tidak seberapa tinggi. "Tapi Gus, sebagai yang lagi di umur produktif buat pursuing career tapi udah married—ya biarpun belum ada dua bulan—coba lo kasih gue advise, yang seobjektif mungkin."

Gusti melempari temannya dengan bantal sofa, tapi jelas bisa ditangkap Jerry dengan mudah sebelum jatuh mencium mukanya. "Target karir lo kan udah kesampaian, kampret! Tinggal Sabrina aja, rela nggak jadi bini lo di umur segitu? Yakin nggak dia, kalau elo bakal bisa kompromi sama dia yang lagi semangat-semangatnya berjuang?"

Tapi saat mengatakannya, Gusti justru merasa tertampar sendiri.

Dia menikahi Iis tentu sudah sadar konsekuensinya.

Istrinya itu baru saja memutuskan pacar enam-nyaris-tujuh-tahunnya. Pria yang seharusnya sudah dia nikahi seandainya perjalanan mereka mulus.

Istrinya sedang berjuang sendirian menyembuhkan sakit hatinya, dan bahkan wanita itu selama ini cukup tegar dengan tidak sekalipun menunjukkan bekas luka padanya, yang mungkin sampai sekarang belum kering betul karena Gusti sendiri sebagai suami justru menutup diri dan sama sekali tidak tertarik untuk mengetahui apa pun yang berhubungan dengan Linggar.

Bagaimana mungkin dia mendadak jadi bajingan begini? Melimpahkan semua kesalahan pada istrinya, di saat seharusnya dialah yang menemani dan memastikan wanita itu baik-baik saja saat melalui semuanya?

Soal Jerry dan Sabrina ... nggak ada yang perlu Gusti khawatirkan.

Gusti terlalu mengenal Jerry untuk meragukannya. Karena pria itu, dalam banyak aspek, sejujurnya malah jauh lebih baik dibanding dirinya sendiri. Dan bahkan selama ini, Gusti juga masih harus belajar banyak darinya.

Sabrina will be fine with him—kalau cewek itu berani mengambil resiko untuk melangkah lebih jauh. Tapi sebagai teman yang berdiri tepat di tengah, Gusti memang tidak akan condong pada salah satu kemungkinan.

Dia akan tetap netral apa pun yang terjadi pada keduanya—setelah Jerry mengemukakan niatnya untuk lebih serius dengan Sabrina.

"You know, Jer .... The day she became my wife ... was the day I felt most grateful in my entire life." Gusti menggumam lagi, entah sadar atau tidak dengan ucapannya sendiri. "Dan udah jadi lifetime duty buat gue untuk memastikan hari itu adalah the best day in her life too."

Jerry memandang sahabatnya dengan terpana, karena sepertinya ini adalah kali pertama selama hampir enam tahun pertemanan mereka berdua, dirinya mendengar hal se-cheesy yet touchy itu dari bibir Gusti. "Lo udah secinta itu sama dia? Not even a half year sejak lo lari ke gue, bingung karena Iis tiba-tiba nerima lamaran lo, padahal kayaknya lo cuma asal ngide, hanya karena jengkel banget sama mantannya?"

"Yep. Entirely."

Jerry menyipitkan mata sejenak. "Shit." Dan kemudian pria itu melempar balik bantal yang tadi Gusti lemparkan padanya. "Untung waktu itu gue berhasil objektif, kan? Nggak masukin unsur nyebelinnya Iis ke gue pas ngasih lo pencerahan. Karena menurut gue, kalau dia bilang 'iya', that means she already knows the consequences. Mau nerima elo yang serba kekurangan ini. Mau berjuang bareng. Apa lagi yang mesti diraguin? Elo proyeksi calon lain juga nggak punya."

"Ya, ya, ya. Ingetin aja terus betapa gue menyedihkan, and I owe you, too."

Lalu keduanya tertawa pelan, berusaha tidak mengganggu para wanita yang mungkin sudah terlelap di dalam kamar. Karena hal terakhir yang Jerry inginkan adalah Iis keluar dari kamarnya dengan muka ditekuk-tekuk, dan usahanya untuk menjalin hubungan baik dengan istri temannya itu selama ini akan sia-sia dan balik ke nol lagi.

"By the way, kalian pernah ribut, nggak?" Gusti mendadak bertanya, membuat tawa Jerry otomatis terhenti mendengar nadanya yang tidak seperti sedang asal bertanya itu.

"Lo tau gue lebih sayang dia dibanding diri gue sendiri." Jerry menggeleng pelan. "Sorry aja kalau kedengaran munafik, but I mean it. Nggak ngerti juga kenapa—mungkin karena emang Sabrina se-lovable itu? Dan untuk jawab pertanyaan lo, enggak, Gus. Bener, kita nggak selalu mulus-mulus aja, sering nggak sepakat. Tapi justru yang kayak gitu yang bikin kita grow up tiap hari, kan? Duduk bareng, sama-sama mikir, nyari jalan tengah biar bisa hidup damai berdampingan?—shit, udah kangen lagi nih gue, LDR kamar-ruang tamu lo doang!"

Gusti kontan menimpuk lagi bantal yang daritadi berpindah-pindah dari tempat mereka berdua. Jijik sendiri.

"Ya makanya jangan nanya lagi, Gundul! Udah tau gue secinta itu sama adik angkat lo!" Jerry membela diri.

Gusti menarik selimut sampai menutupi kepala. "Gue lupa. Yang lagi kita omongin ini kan Sabrina, titisan Aphrodite—yang nggak pernah ketemu cowok yang nggak tepat."

Dan sekali lagi, Jerry tertawa pelan menanggapinya.



... to be continued

Sebelum lanjut ke chapter 52, ada yang manis-manis nih di Karyakarsa. Setting waktunya besok pagi, setelah Jerry & Sab pulang. Cuma 2k, bisa diakses lewat link di samping ini: 👉


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top