5 | height difference
Best reader part 2-4, ciVelan22 cek pesan yah!
5 | height difference
GUSTI keluar dari kamar Iis, sudah wangi dan rapi tapi tetap terlihat santai dengan kemeja lengan pendek motif floral dan celana jeans. Rambutnya yang agak kepanjangan karena belum sempat ke barber shop disisir rapi dan diberi sedikit gel.
Iis yang sedang minum di dapur memperhatikannya dengan saksama.
Itu kemeja yang dia belikan saat jalan-jalan ke Plaza Indonesia bersama Sabrina-Karen-Timothy beberapa hari lalu, dalam rangka memberikan undangan sekaligus traktiran pajak mau kawin.
Karen langsung nyeletuk bahwa motif dan warna kemeja itu pasti cocok untuk Gusti, saat mereka tidak sengaja melihatnya terpajang di sebuah outlet. Dan ternyata nggak rugi juga over-spending sedikit uang jajannya untuk membelikan hadiah calon suami—otw—tercinta. Karena ternyata yang menikmati hadiahnya bukan hanya Gusti seorang, tapi matanya juga.
"Kenapa? Takjub lihat gue bisa ganteng gini? Biasanya cuma ketemu pas pulang kerja, pas udah kusut banget. Atau nggak pas weekend, yang jelas lagi males dandan rapi."
Iis hanya menggeleng sekilas sambil menahan senyum.
Iya, ganteng. Tapi nggak usah diaku-akuin juga, nanti terbang, kejedot plafon!
Iis lalu gantian masuk kamar untuk bertukar jilbab. Tadinya dia sudah pede berjilbab paris polos seperti biasa. Tapi melihat Gusti cakep begitu, mau nggak mau kayaknya dia perlu berbenah sedikit.
Pagi ini mereka akan fitting wedding attire. Ditemani Mama dan tantenya, tapi langsung ketemu di TKP, karena muter-muter jadinya kalau harus pakai drama jemput-menjemput. Soalnya rumah keluarga Iis ada di selatan banget, sementara butik yang mau mereka tuju ada di Menteng.
"Btw, udah book tempat buat maksi nanti, belum?" Gusti bertanya dengan suara agak keras biar terdengar sampai kamar, sambil mengikat sepatu.
"Udah." Iis menyahut dengan suara agak lantang juga. "Bunga Rampai nggak apa-apa, kan?"
"Mana aja, lah."
Tak lama kemudian Iis keluar lagi, dengan jilbab lebih proper. Simple, tapi rada modis dikit dengan motif bunga-bunga dan sentuhan satu bros kecil. Lalu wanita itu menghampiri dan membuka rak sepatu. Mengeluarkan salah satu heels berwarna senada dengan tasnya.
Gusti, yang sudah selesai bersiap-siap, bangkit berdiri dari sofa dan memandangnya dengan dahi mengernyit. "Nggak ketinggian pakai yang itu? Cuma ke butik doang lho, bukan mau kondangan. Ntar malah capek. Belum lagi resiko keseleo. Mau married ini, main aman aja, lah."
Iis ikut-ikutan mengernyit. Memandang sepatu di tangannya dan pria yang berdiri di hadapannya bergantian. "Ya daripada lo diliatin orang-orang, kayak lagi jalan ama ponakan."
"Dih." Gusti berjalan mendekat. Meraih pergelangan tangan calon istrinya dan membawanya masuk ke kamar, ke standing mirror dekat wardrobe. Lalu berdiri berjajar di hadapannya. "Look. Elo emang sengegemesin itu dengan badan petite begini. Tapi mana ada kita nggak cocok berdiri dampingan?"
"Dulu kan lo selalu bilang, kalau kita jalan bertiga, gue berdiri di antara lo ama Zane, udah kayak deodoran!"
Gusti meringis. Nggak nyangka bercandaan zaman Jahiliah bakal diungkit-ungkit lagi. "Ah, lo ngartiinnya harfiah banget, sih. Itu gue cuma terlalu malu aja buat ngakuin kalau elo kadang-kadang emang bikin gemes."
"Peres."
"Sumpah. Ya kali, gue mau muji-muji cewek orang. Yang ada gue bisa mampus ditempeleng ama cowok lo waktu itu!"
Iis mendengus lagi. Membuat Gusti jadi pengen menggigit pipinya yang hari ini disapu blush on tipis, membuatnya jadi terlihat merona dan menggoda buat lebih dari sekadar ditoel-toel. Tapi karena nggak mau disangka kanibal, akhirnya dia hanya mengecup puncak kepala yang tertutup kain itu. "Sayang banget sama lo, Is."
"Apaan sih. Geli tau, digombalin gitu."
"Bukan lagi ngegombal. Cuma mau ngasih tau aja. Gue kayaknya udah mulai sayang, yang menjurus lebih dari sayang ke temen."
"Thanks. Sungguh tersanjung diriku mendengarnya." Nggak ingin salah tingkah, Iis melengos dan segera keluar dari kamar.
Gusti berjalan mengikuti.
"Ya tapi kalau lo insist mau pakai sepatu itu, nggak apa-apa juga, sih," ujarnya kemudian, kembali ke topik sepatu. "Gue nggak akan ngelarang. Tapi sambil bawa sandal jepit aja, simpen di mobil, buat jaga-jaga. Soalnya lo kan nggak biasa pakai hak tinggi, takut tiba-tiba capek."
Sambil menunggu Iis selesai mengemas bawaan ke dalam tas, Gusti mampir ke dapur untuk minum. Lalu berjalan duluan ke pintu.
"Yuk ah, nggak enak kalau sampai camer yang nyampe sana duluan."
"Gus."
Gusti menoleh karena dipanggil dan mendapati Iis sudah muncul di hadapannya dengan sepatu loafers tanpa hak.
Gusti refleks mesem. Senang karena sarannya dituruti.
"Mau dirangkul pas jalan. Biar nggak kayak om sama ponakan." Wanita itu lalu bergelayut di lengannya.
Kontan yang sedang digelayuti jadi mati-matian menahan senyum.
Segera dia tutup pintu unit apartemen Iis dan dia rangkul calon istrinya itu. "Bisa nggak sih, kita ijab kabulnya dicepetin jadi nanti malem gitu. Udah nggak sabar lebih dari ngerangkul doang, nih."
Tampang manja Iis yang sempat terbit tadi langsung tenggelam sempurna. "Tolong mesumnya jangan diumbar-umbar gitu. Jijik."
"Lah, gue dikata mesum. Padahal nggak bilang secara spesifik, 'lebih dari ngerangkul'-nya kayak gimana."
"Diem atau gue tabok?"
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top