49 | vice versa

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 48: Rfty97 & yul_nda 2k; cheryblossom87 1k




49 | vice versa



IIS menyorongkan kardus besar ke hadapan Linggar yang duduk di seberang meja kerjanya di Relevent, pada Senin malam. Berisi semua barang-barang peninggalan sang pria. Juga barang-barang yang mengandung kenangan mereka berdua—yang sebenarnya sudah lama Iis kemasi dari apartemennya sendiri, semenjak Gusti menyindirnya secara halus pada malam pertama pria itu bertandang ke unitnya sebagai tunangan.

Tidak banyak memang, karena Iis dan Linggar tidak hobi bertukar barang, atau saling membelikan sesuatu di hari spesial.

Sepanjang hampir tujuh tahun bersama, tidak banyak juga yang mereka lakukan, atau tempat yang mereka kunjungi—pokoknya minim hal-hal yang berpotensi membuat koleksi barang mereka jadi bertumpuk.

Paling-paling, kalau sedang kencan, mereka ya cuma makan dan nonton bareng sepulang kerja. Lalu ke rumah orang tua Iis saat weekend. Atau kalau sudah sangat muak dengan Jakarta, memilih short escape ke Bali dan sekitarnya—yang mentok-mentok hanya sempat membawa pulang pie susu untuk Mama Iis di rumah.

But those years weren't as boring as it sounds, though.

Linggar is a good man, dan Iis cukup menikmati kebersamaan mereka berdua. Merasa cukup kompatibel juga, kecuali dalam beberapa aspek, yang membuat Iis berakhir menyerah.

"Thank you, buat tahun-tahun yang pernah kita lewatin bareng, Nggar." Iis tersenyum, mencoba untuk tidak menciptakan aura permusuhan lagi di antara mereka berdua. "Kita emang nggak jodoh, but still, I learned a lot from our experiences."

Tapi diluar dugaan Iis, pria di hadapannya—yang tadi sebenarnya sudah mulai menunjukkan gestur bersahabat itu—mendadak tersenyum getir, cenderung sinis. Salah satu sisi Linggar yang jarang Iis lihat, karena selama ini Linggar adalah the man with the most soothing smile she knew.

"Aku nggak pernah nyangka kita bakal berakhir kayak gini." Linggar mendengus pelan. Memandang Iis tepat di manik mata. "As if kebersamaan kita nggak pernah ada artinya."

Dahi Iis mengerut sedikit.

Terus terang, nada dingin Linggar saat berbicara kembali menoreh sedikit luka di hatinya.

Bagaimana tidak? Linggar sebenarnya adalah satu-satunya pengalaman pacaran serius Iis. Dan jujur saja, meski sudah menjalani hubungan itu selama bertahun-tahun, Iis tidak pernah merasa cukup ahli dalam hal satu ini: saling berkompromi.

Bahkan, ketika Iis membuat keputusan untuk berpisah berbulan-bulan yang lalu, meski sudah berusaha untuk melimpahkan semua kesalahan pada dirinya sendiri agar tidak menyulut perselisihan, dia tetap tidak mengerti mengapa dua orang dewasa tidak bisa berpisah dengan baik-baik—dan dalam hal ini sepertinya Iis harus banyak belajar dari pengalaman Sabrina yang sudah berulang kali putus cinta, tapi tetap bisa berteman dengan mantan-mantannya.

Iis menghela napas panjang.

Jangankan untuk kembali berteman. Disaat sadar betul Linggar adalah pihak yang terluka di sini, ketika sang pria berbicara dengannya dengan nada tajam padanya, Iis bahkan sudah merasa tersinggung duluan.

"Saling ngembaliin barang kayak gini, maksud kamu?" Iis bertanya dengan nada hati-hati, supaya tidak semakin memanas. "Aku nggak ngerasa kita punya banyak pilihan, Nggar. You insulted me first. Katamu dulu, kamu suka banget sama kado yang aku kasih, tapi malah dikembaliin hanya karena kita udah pisah."

"You betrayed me." Linggar memandang Iis semakin tajam, membuat Iis hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala letih.

"I never cheated behind your back. You know that."

"Cheating nggak harus selalu menyangkut hubungan fisik ataupun romance, kan, Is?" Nada Linggar sedikit meninggi, dan Iis terpaksa melirik sekilas ke luar pintu, dalam hati berharap semoga tidak ada yang mencuri dengar perselisihan mereka ini. "Kalian sepakat nusuk aku. That also counts as cheating, kan? Aku lagi tugas kerja, dan tiba-tiba kamu minta putus—lewat telepon, for God's sake. Dan beberapa minggu kemudian, semua anak-anak Relevent pada posting live video tentang acara tunangan kamu. Fantastic!"

"I have nothing to explain." Iis mencoba tidak tersulut. Bagaimanapun juga, dia adalah bad guy dalam hubungan mereka berdua. Dialah yang terlalu pengecut untuk bisa mengonfrontasi pacarnya saat itu, mengungkapkan kekecewaan serta apa-apa yang dia harapkan dari hubungan mereka berdua, dan malah memilih menyelamatkan diri sendiri dari kapal mereka yang sudah nyaris karam, pergi dengan pria lain. Dan bagaimanapun juga, menambah luka bagi orang yang dia tinggalkan tidak pernah ada dalam daftar keinginan Iis. "Kita udah pernah ngomongin ini, dan udah sepakat untuk bubar secara baik-baik waktu itu."

Linggar diam sesaat. Makin terlihat sinis dengan senyum miringnya. Well ... he has every right to be upset. Nggak ada orang yang senang menjadi pihak yang ditinggalkan, ya kan?

"Ya kamu pikir sendiri aja Is. Aku lagi nyempil di Cape Town sana, paling cepet dua puluh dua jam jaraknya dari kamu—percuma juga saling debat tanpa tatap muka. Aku bisa apa selain nunggu emosi kamu reda? Tapi bahkan sebelum aku sempet memperbaiki situasi kita, kamu malah udah tunangan—bahkan nikah—duluan sama cowok lain."

"Karena emang nggak ada yang perlu diperbaiki. Kita cuma nggak jodoh, Linggar. Love doesn't need that much sacrifice."

Iis mendadak merasa seperti kehabisan oksigen saat mengucapkannya, karena nggak mungkin Linggar nggak merasa sakit hati mendengar apa yang selanjutnya dia katakan.

"Kalau komitmen cuma bikin kita berdua merasa sama-sama exhausted, buat apa dilanjutin?"

Dan ucapan Iis itu kemudian dibalas dengan sebuah kotak merah Cartier mendarat di hadapannya, membuat rahang Iis mengeras disertai kedua tangan mengepal di pangkuan.

Ini yang dia takutkan sedari dulu, saat pertama kali mendengar tawaran Gusti untuk menikah dengan sang pria.

Bagaimana jika Linggar jauh di sana sebenarnya sedang mempersiapkan lamaran untuknya juga? Bagaimana jika dia hanya kurang sabar menunggu, atau kurang tegas meminta kejelasan arah hubungan mereka? Bagaimana jika dia menyesal nantinya? Bagaimana jika setelah putus, dia akan dihantui rasa bersalah karena telah membuang pria yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun? Dan bagaimana kalau rasa bersalahnya itu justru jadi bumerang untuk rumah tangganya?

"Apa ini, Nggar?" Suara Iis bergetar, dan Linggar jelas menyadarinya, karena raut mukanya yang sengaja dibuat sinis sejak tadi langsung ikut luruh.

Sekarang, sepasang mata yang kini memandang Iis itu, tampak begitu pilu.

"I intended to propose to you after I was done with the Cape Town project ... but the opportunity never came."

Dan begitulah rupanya.

Verifikasi untuk semua kemungkinan-kemungkinan yang sempat terpikir oleh Iis dulu. Membuatnya sekonyong-konyong merasa menjadi orang paling jahat sedunia.

"Dan kenapa kamu kasih tau ke aku sekarang?" Iis mencoba tidak terdengar rapuh.

"Because I don't want to be blamed for what has failed between us." Beruntung, lawan bicaranya juga tidak tampak ingin terlihat seperti orang baik malam ini. "Sakit banget ngelihat kamu mandang aku dengan kebencian, setelah apa yang udah kita jalani selama ini, Is."

"I never even blamed you, Nggar. Dan jelas juga aku nggak pernah benci kamu. I'm the one who wanted to leave."

Sahutan frustasi Iis menciptakan jeda lagi di antara percakapan mereka.

Masing-masing merasa seperti sangat kelelahan untuk sekadar menetap di tempat duduk. Untuk bertahan saling melontarkan kalimat yang menyakitkan. Untuk melihat orang yang pernah mereka sayangi mengecap sakit yang setara.

Dan kemudian, Iis mulai merasakan panas di kedua bola matanya, membenci fakta bahwa dirinya sangat gampang terbawa suasana.

"Dan kenapa kamu ngelakuin itu, Is? Kenapa?" Linggar bertanya tak kalah pilu. "Kita baik-baik aja bahkan sampai hari keberangkatan aku."

Iis hanya bisa tersenyum pahit selama beberapa saat, ingat pagi hari saat dia menangis di TOUS les JOURS, tempatnya duduk setiap kali mengantar Linggar ke bandara untuk berbagai urusan. Tempat Gusti menemani hingga air matanya surut berjam-jam kemudian.

That was not a good day at all. Dan dari sisi Iis, hubungan mereka berdua jelas nggak sedang baik-baik saja hari itu.

"I'm so sorry, Nggar .... I did love you back then. Truly. But I just can't keep going any longer."

Linggar menggeleng-geleng perlahan. Tidak mengerti maksud ucapan wanita di hadapannya.

Iis melanjutkan, "Kamu nggak ngasih aku kepastian. Even di pagi kamu berangkat, kamu nggak ngasih aku hints apa pun. Nggak mempersuasi aku buat nunggu kamu—dan sepanjang jalan kita cuma ngomongin betapa excited-nya kamu yang akhirnya kesampaian juga untuk pergi ke Cape Town. Aku nggak pernah nuntut kamu untuk selalu stay di Jakarta, kan? Aku nggak pernah clingy. Dan lagi, project kamu yang itu nggak cuma makan waktu sebulan dua bulan, tapi setengah tahun. Aku butuh afirmasi—kita berdua tahu betul itu." Dan Iis kemudian mulai menangis karena bingung, merasa bersalah, sekaligus kesal karena dihakimi. "Kamu tahu aku gampang overthinking. Kalau untuk kebutuhanku yang paling mendasar aja kamu selalu sepelein, gimana aku bisa lanjut? Gimana kita bisa lanjut? Dan tolong jangan limpahin semua kesalahan ke aku juga dong. Aku berusaha nggak nyalahin kamu, tapi ketika kamu nunjuk-nunjuk aku gini, rasanya jadi kayak aku doang yang ngehargai masa lalu kita, Nggar. Padahal ... kamu pikir aku nggak tau, berulang kali kamu juga ragu sama aku? Karena itu juga, kamu nunda-nunda terus buat bawa hubungan kita ke jenjang yang lebih serius?"

Linggar tidak langsung menyahut.

Iis menyeka air mata di pipinya.

"Sorry, I'm not that young. I'm afraid to be alone at this age. Aku akui aku agak terburu-buru waktu lari ke Gusti. But what ended between us had nothing to do with him. Aku dateng ke dia setelah putus sama kamu."

Menyadari sejak tadi ucapan mereka lebih banyak menggunakan emosi daripada logika, Linggar mengangguk, akhirnya tersenyum tipis. Mengusap matanya yang juga mulai berair.

Meski memiliki keraguan pada ucapan Iis tadi, sesungguhnya dia tidak sepenuhnya yakin Iis tega mengkhianatinya. Lagipula, tuduhannya hanyalah sebuah tuduhan semata, tidak ada buktinya.

Malah, jauh di lubuk hati, Linggar sepakat bahwa ucapan Iis ada benarnya. Dia sudah berusaha sebisanya untuk hubungan mereka berdua, tapi semua itu memang belum cukup.

Seandainya Iis tidak langsung menikah dengan Gusti selepas perpisahan mereka, mungkin Linggar masih bisa berlapang dada mengakui bahwa dia lebih banyak bersalah dibanding Iis.

Tapi dengan situasi mereka berdua saat ini—Linggar masih berdiri di tempat yang sama di mana Iis meninggalkannya, sedangkan Iis sudah melangkah jauh ke depan—tidak bisa dipungkiri bahwa Linggar sakit hati.

Kalau dulu mereka memang sama-sama mencintai dan sama-sama berusaha, mengapa hanya dia seorang diri yang berakhir menderita?

"I'm so sorry, too. And yes, I did have doubts ...." Senyum di wajah Linggar berubah menjadi mengasihani diri sendiri. "Tapi kamu nggak pernah tahu di balik keraguan itu, aku berusaha mati-matian ngeyakinin diri, kalau aku sanggup bertahan sama kamu, Is. Dulu aku kadang mikir, kayaknya kamu terlalu sibuk kasihan sama diri sendiri, sampai-sampai nggak bisa lihat perjuanganku. Tapi kayaknya kita vice versa, lah."

"What do you mean?" Iis bertanya karena memang tidak mengerti.

Linggar tersenyum pilu lagi.

"This gap, Is. This gap between us. Apa kamu nggak lihat selama ini aku lagi berjuang biar bisa sepadan sama kamu? Biar aku layak dapet kamu?"

Jantung Iis mendadak terasa melesak turun ke perut. Membuatnya mual, terutama saat mantan kekasihnya itu melanjutkan kalimatnya.

"Aku cuma cungpret biasa, nggak ada yang bisa dibanggain, sementara kamu? You run your own company. Semua orang selalu memicingkan mata tiap kali kamu kenalin aku sebagai pacar—dan kamu nggak pernah sadar karena emang cuma kamu di dunia ini yang nganggep kalau social and financial gap itu bukan masalah. Sekarang, setelah berjuang mati-matian, finally I got promoted, tapi udah nggak berguna buat kita. Kamu udah ninggalin aku buat cowok lain yang jauh lebih sepadan."

Iis mengepalkan tangannya erat, berusaha untuk tidak membuat tangisannya berubah menjadi isakan.

Tapi sekeras apa pun dia berusaha, hatinya terlalu sakit.

"Why did you tell me just now? When everything is over, and I can't do anything to fix it." Wanita itu tergugu. Merasa bahkan tidak pantas menjalani hidupnya yang sekarang, saking merasa buruk.

So, she really is the bad guy all this time. Bukan pihak yang sedang pasang badan untuk disalahkan agar tidak ada perselisihan, seperti yang selama ini dia duga. Bukan pihak yang berkorban.

Melihat Iis mencengkeram dadanya sendiri dan tampak kesusahan bernapas, Linggar segera mengutuk diri sendiri. Bangkit dari tempat duduknya untuk menghampiri dan menolong sang wanita.

"Shit! I'm so sorry. I didn't mean to hurt you."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top