46 | that vacheron contantin

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 45: Rfty97 3k & yul_nda 2k.




46 | that vecheron constantin



PAGI menjelang siang di hari Senin, sepulang dari mengisi acara talkshow tentang wedding planning yang diadakan sebuah komunitas mbak-mbak sosialita—yang salah satunya pernah menjadi kliennya—yang pertama dilihat Iis di kantor adalah Linggar sedang berada di ruang meeting berpintu kaca mereka, bersama Trias dan beberapa staf lain.

"Mbak." Lyra menyapanya di lobby, membuat Iis terhenyak dan seketika menghentikan langkah. "Tadi Mas Linggar nitip pesan, katanya mau ngajak Mbak ngopi sebentar ke sebelah, selesai meeting."

Iis menghela napas, mencoba bersabar.

Mood-nya sudah kembali bagus sepulang dari Magelang. Dia tidak ingin pertemuan dengan Linggar membuat suasana hatinya kacau lagi. Nggak bagus buat performanya di tempat kerja, juga di rumah.

"Bilangin gue nggak bisa ya, Ra. Ini mau ke bank dulu sama Gabriel, keburu jam istirahat siang."

Tapi, sebelum dia sempat melangkah ke tangga naik, pintu ruang rapat telah lebih dulu terbuka. Dan pria yang sangat ingin dihindarinya itu sudah mengulas senyum ke arahnya.

Iis mendesah, terpaksa memberi kode agar Linggar segera mengikutinya ke coffee shop Rachel daripada harus saling sapa di depan yang lain di lobby.

"You know ...." Iis memberi intro saat mereka berdua sudah duduk berhadapan di sebuah meja tidak jauh dari pintu masuk. "Kayaknya nggak ada lagi yang perlu kita omongin, deh, Nggar. Urusan project sama Relevent, cukup antara kamu sama Trias aja, kaya biasa."

"Aku bukan mau ngomongin kerjaan." Linggar mendesah pelan, mencoba menghentikan lawan bicaranya nyerocos terlalu panjang—membuat Iis seketika sadar bahwa dirinya tadi terlalu ketus. Padahal ... what did he do to deserve that? He just asked for a coffee break together.

Well ... tapi Linggar memang tidak seharusnya meminta Iis melakukannya. Toh, buat apa?

"I'm married, Nggar. We were done. I love my husband and don't want him to assume that I still can't get over you." Iis jadi frustasi sendiri. Kenapa Linggar ini tidak peka sama sekali?

Sama halnya dengan Iis, Linggar juga tampak frustasi, sehingga pria itu kemudian mendesah sekali lagi. "I know, Is. Aku juga nggak berniat ganggu kamu. Cuma mau balikin ini."

Dan kemudian, pria itu mendorong sebuah paper bag—yang sedari tadi dia pegang—ke hadapan Iis.

"What is this?" Iis memicingkan mata. Tidak tahu harus marah atau kasihan pada pria di depannya ini.

"The birthday gift you once gave to me, I don't think I deserve to keep it any longer." Linggar menjelaskan.

Seketika Iis terdiam.

That Vacheron Constantin.

Iis refleks meremas ujung blusnya di pangkuan. Merasa kalut karena mendadak diingatkan kembali pada hari itu, di mana dia memberikan hadiah itu untuk Linggar.

Tanpa bisa dicegah, dia ingat kembali momen bahagia di mana dia, Gusti, dan Zane mendapatkan bagi hasil Relevent pada akhir tahun, dan Iis tidak bisa tidur berhari-hari sebelum kemudian memutuskan menjatuhkan pilihan pada jam tangan mahal itu sebagai kado ulang tahun pacar yang saat itu sudah enam tahun lebih bersamanya.

Iis juga jadi ingat bagaimana ekspresi bingung Linggar ketika menerimanya di tengah waktu makan malam mereka, dan kemudian mereka pulang ke rumah Iis untuk lanjut mengobrol cekikikan di halaman belakang hingga dini hari, hingga Mama menyuruh dia pulang, karena pacar tidak boleh menginap.

Jujur saja, meski tidak berakhir bahagia, tidak semua momen-momen kebersamaan mereka Iis sesali. Karena, bagaimanapun juga, Linggar adalah orang yang menemaninya selama proses pendewasaan. Meski begitu, tidak sedikitpun Iis berniat untuk bernostalgia.

Sesuatu yang berakhir buruk, jika diungkit-ungkit tentu akan menguak bekas lukanya juga. Apalagi luka tersebut terhitung belum lama berlalu, wajar jika masih perih saat dikorek-korek begini.

"You should just buy a car for yourself instead of giving me this luxury watch." Pria itu bersuara lagi, membuat Iis mendesah pelan.

Dua puluh lima ribu dolar lebih. Hasil kerja kerasnya setahun di Relevent, dia gunakan hanya untuk membuat senang pria yang dulu dicintainya. Untuk menunjukkan kalau dia serius berhubungan dengan sang pria, dan ingin punya masa depan bersamanya. Saking bucin.

Dan sekarang Iis merasa bodoh, karena ternyata pria yang berakhir menikahinya justru nggak pernah dia perhatikan sebegitunya.

"That happened a long time ago. It's too late to tell me now." Iis tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Well, you can still get a car now." Linggar mendebat.

Rasa marah dan tersinggung Iis merebak. "I'm not taking it back."

For real? Mengambil kembali apa yang sudah dia berikan ke orang lain?

"I'm not keeping it either. Please don't be stubborn. Just sell it. Then get yourself a car, daripada naik ojek ke mana-mana. Toh, aku juga nggak mungkin bisa pake lagi. Karena bakal selalu inget kamu—inget betapa kamu pastinya sering ketemu Gusti di belakangku, and then you two stabbed me in the back."

Iis tidak berniat mendengarkan apalagi mengambil hati.

Mereka berdua memang tidak memiliki banyak kesempatan untuk mengungkapkan perasaan masing-masing saat hubungan mereka berakhir hampir enam bulan yang lalu. Wajar kalau sekarang omongan Linggar terdengar tajam. Karena tentu dia merasa dikhianati.

"Coba dicek. Masih lengkap nggak isinya." Karena lawan bicaranya hanya diam, Linggar kembali membahas jam di hadapan mereka, yang tidak tersentuh sama sekali oleh Iis. "Dua cadangan strap—rubber and alligator—masih segel. Manual book. Certificate. Warranty chip card—yang masih ada masa berlakunya. Dan lain-lain."

Napas Iis terhela cukup panjang sekali lagi.

So, this is the extended closure of their over-seven-year relationship? Sungguh sangat disayangkan, biarpun Iis memang tidak berharap banyak pada hubungan mereka berdua mengingat pria di hadapannya ini sudah masuk blacklist suaminya.

Dan biar kelihatannya nggak banyak tingkah di hadapan orang begitu, kalau sudah menyangkut Linggar, Gusti sebenarnya agak menggila. That's why, kedua pria itu tidak akan pernah bisa akur.

"Then I'll pack everything you ever gave me and send it all back to you soon." Iis tersenyum datar.

Linggar membalas sama datarnya. "Bawa aja ke kantor. Nanti aku ambil kalau ada meeting lagi."

Dan kemudian, Iis mempersilakan pria itu pergi. Membuat kursi di hadapannya segera terisi oleh orang lain—Rachel, yang sepertinya memang sudah memperhatikannya sedari tadi—yang datang membawakan secangkir cokelat panas.

"You okay?" Wanita itu bertanya setelah mendudukkan diri.

Iis mengangguk sambil mencecap cokelatnya. "Bisa bantu jualin ini nggak, Rach? I don't know if it's still in good condition or not. Belum ada dua tahun belinya, masih ada masa garansi."

Rachel mengangguk singkat tanpa memeriksa barang yang dimaksud.

Gampang, lah. Semua yang branded bisa diikutkan lelang bareng barang-barang preloved teman-teman selebritinya.

"Dan, please, jangan kasih tau Gusti kalau Linggar masih ke Relevent. Gue nggak pengen dia ke-distract sama hal sepele begini. Begitu project ini kelar, gue bakal kasih rekomendasi EO lain buat Linggar. Masalah selesai. Less damage."

Rachel mesem dan mengulurkan tangan untuk menepuk-nepuk pelan lengan temannya. "I promise."

Iis menyesap cokelatnya sekali lagi. Lalu mengembuskan napas panjang.

"Bego banget ya gue, ngeluarin tiga ratus juta lebih buat beliin jam mahal buat cowok? Now I don't even know, apa lagi yang bisa dijadiin kado buat Gusti semisal ultah nanti, since I couldn't ever buy him a watch."

Rachel cuma bisa mesem lagi. "Just save your money. He doesn't need that."

"Tapi dia seneng banget waktu dibeliin Rolex sama Om Abram lho."

"Doesn't mean he wants that thing from you too."

"Terus, menurut lo, dia mau apa?"

"Serius nanya gue?" Ditanya begitu, kontan Rachel tertawa jahat. "Tunggu duit jam cair. Kita belanja Louboutin, a Gucci bag, skincare, makeup, a bunch of lingerie. And then you go home. Dress up like a bitch. Order food. Set the dinner table."

Iis akhirnya ikut tertawa juga. "Sayangnya, gue nggak ada tampang bitchy, tuh."

"I could make you one."

Iis cuma bisa geleng-geleng kepala, mendadak rindu ngumpul bareng cewek-cewek gila yang pasti lagi pada sibuk kerja—Sabrina, Karen, dan Timothy, yang otak ngaconya sebelas dua belas dengan Rachel, tapi anehnya nggak pernah bisa akur dari dulu.

"Trust me. Love doesn't need all that hard work—cuma kadang-kadang perlu kreatif dikit, to maintain its sparks." Rachel mencubit lengan Iis sebelum akhirnya bangkit berdiri. "He surely wants you to be happy, Is. Don't worry too much. Waktu lo terlalu berharga buat dipake mikir 'laki gue enaknya dikasih kado apa'."

Dan malamnya, saat tidak sengaja terjaga nyaris dini hari, Gusti melihat sang istri masih belum juga memejamkan mata di sisinya.

"Sayang, are you okay?"

Pria itu segera mendekap istrinya.

"Mimpi buruk, ya?"

Iis menggeleng pelan. "I've told you, kalau aku PMS, siap-siap mijitin semalam suntuk."

Gusti terdiam sebelum akhirnya meringis malu. "I'm sorry, malah ketiduran duluan, nggak tahu istrinya lagi bersakit-sakit sendiri."

Iis memeluk suaminya balik. Membenamkan wajah ke dada bidangnya.

"Baru banget kah sakitnya?" Gusti bertanya.

Istrinya menggeleng sekali lagi. "Udah dari tadi. Tapi kamunya nyenyak banget."

"Oh God .... Maaf banget, ya, Sayang ...."



... to be continued

Kalo Iis PMS, berarti kemaren waktu di Magelang, Abang Saadnya belom sukses dibikin. 💀💀

PS. Suasana chapter ini makin dipanas-panasi oleh Mas Ivanov [via mulmed]. Wkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top