43 | anxiety reliever ala suamik

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 42: Rfty97 3k, yul_nda 2k




43 | anxiety reliever ala suamik



IIS tiba di lobby Relevent disambut dengan tatapan menggoda dari Lyra yang sudah duduk di front office sambil makeup-an. Cewek semester sembilan—juniornya di FIA—yang masih males-malesan mengerjakan skripsi itu memang biasa ganti baju dan makeup-an di kantor. Soalnya, dia berangkat naik ojek. Begitu sampai kantor, udah keringetan.

"Nungguin oleh-oleh, ya?" Iis bertanya. Menatap Lyra dan Iyan—OB mereka yang lagi nyapu lobby—bergantian.

Tak lama kemudian, rombongan cowok-cowok pun tiba. Ginanjar, Mukti, Nopal, Rachman, Taufik.

"Mbak Is. Akhirnya datang juga. Pesta nih kita." Ginanjar langsung pasang muka sok manis.

"Maksi di luar ya, Mbak? Udah terlanjur sarapan sendiri-sendiri, nih."

"By the way, oleh-oleh honeymoon apa kabar?"

Iis menggaruk-garuk dagunya, ingat sudah duluan janji lunch di PP bersama Karen dan Sabrina. "Hmm ... delivery aja, ya? Kasihan si Iyan, ditinggal sendiri mulu kalau siang."

Iis lalu menyerahkan remote kunci mobil Zane, yang tadi dia kendarai, ke salah satu dari mereka.

"Oleh-oleh kalian di jok belakang."

Nopal yang menerima remote dari tangannya langsung tercengang saat memencet tombol unlock. "Bentley, Mbak? Udah jadi sultan sekarang?"

Iis melambaikan tangan sambil lalu, segera beranjak dari sana. "Punya Bang Zane, bukan punya gue."

Dan setelah dua minggu lebih cuti, si bos pun harus kembali ke realita juga.

Dia mungkin bukan cungpret kayak Gusti. But what's the difference? Mumetnya sama. Capeknya sama. Minus tekanan batin ngadepin bos doang kali, ya? Tapi nggak ada bos, kliennya juga nggak semuanya gampang diajak kerja bareng, tuh. Yang super duper rewel dan bikin anak-anak sekantor menangis darah juga ada. Yang keluarganya nggak mau sepakat dan saling ribut sendiri sampai ngelewatin deadline, banyak. Yang tiba-tiba postponed karena mendadak calon mempelainya nggak yakin juga ada—tapi yang ini nggak merugikan secara materiel sih, karena Relevent tetap membebankan biaya penalti pada klien sesuai perjanjian.

Siangnya, sekitar jam sepuluh, Iis turun ke pantry untuk mengambil minum setelah merasa matanya mulai buram akibat meneliti excel sejak pagi, mengecek laporan bulanan Gabriel yang sudah telat diperiksa seminggu lebih.

Kalau lagi sendirian siang-siang di pantry sambil mengantuk begini, Iis kadang-kadang jadi suka kangen sama cokelat panas buatan Ucup, OB-nya yang terdahulu, yang sekarang sudah bekerja di tempat yang lebih baik setelah empat tahun kerja bersamanya sambil kuliah malam. Sekarang, dia cuma bisa nyeduh Cadbury sendiri. Atau Milo, kalau lagi nggak pengen yang manis.

Dan tak lama kemudian, saat keluar dengan mug di tangan, Iis membeku di ambang pintu, menghadap ke sosok yang sedang duduk di sofa tamu bersama Lyra.

Iis speechless.

Freezing.

Sementara pria yang sedang ditatapnya itu tersenyum saat tidak sengaja melihatnya juga.

Tapi bibir Iis sendiri terlalu kaku untuk membalas senyumannya.

"Hai, Is."

Pria itu menyapa.

Iis segera menyadarkan diri. Melempar pandangan penuh tanya ke Lyra, tapi tampaknya yang dipandang tidak paham maksudnya.

Iis mendesah.

Selain Brian dan Gabriel yang memang tidak berniat resign karena sudah betah dan cocok dengan gajinya, karyawan-karyawan Relevent yang lain memang nggak pernah bekerja cukup lama. Rata-rata hanya dua tahun, sehingga tidak cukup waktu bagi Iis untuk mengenal mereka lebih dekat. Begitu juga sebaliknya.

Sometimes, she feels helpless about it, karena kayaknya nggak ada yang bisa dia andalkan untuk urusan di luar pekerjaan. Nggak ada yang berasa jadi teman—seperti sekarang.

"What are you doing here?" Akhirnya Iis bisa mengusahakan pertanyaan itu keluar dari bibirnya. Berusaha terdengar normal.

"Nungguin Trias buat briefing." Pria itu menyahut dengan wajah dan ekspresi yang juga netral, and somehow, ketenangannya membuat Iis agak merasa tersinggung.

"Okay. Excuse me, then." Iis mengulas senyum profesional, kemudian segera berlalu karena memang tidak menginginkan percakapan yang lebih panjang lagi di antara mereka. Langsung naik dan masuk ke ruangannya. Meletakkan mug-nya di atas meja. Berusaha mengatur emosi dengan segumpal tissue teremas di pangkuan.

"Why ... Linggar ada di bawah, Bri?" Wanita itu lalu bertanya ke Brian, yang mengetuk pintunya sepuluh menit kemudian.

Brian tampak bingung karena dia sendiri belum turun sama sekali sejak pagi.

Kemudian, setelah diam sejenak, barulah dia paham.

Mas Linggar adalah klien lama mereka. Setidaknya beberapa kali dalam setahun, perusahaan tempat dia bekerja akan mengadakan event dengan Relevent sebagai EO. Dan project terbaru kantor beliau itu memang baru masuk saat Mbak Iis pergi honeymoon kemarin—project pertama setelah mereka berdua putus.

"Mbak nggak ngerasa udah dihubungin Trias?"

Brian sendiri agak bingung sewaktu mantan pacar bosnya itu tiba di kantor kemarin. Mau nolak, kok ya nggak profesional amat? Lagipula, ini kan bukan cuma hubungan antar personal, tapi antar perusahaan. That's why, kemarin dia minta Trias untuk menghubungi Mbak Iis dulu sebelum project mereka terlanjur deal.

Dan Iis akui, dia memang nggak terlalu menaruh perhatian sewaktu Trias menghubunginya sehari setelah dia tiba di St. Lucia. Dan lagi, seingatnya, nama Linggar tidak pernah disebut-sebut dalam panggilan singkat itu.

"Did I make mistakes, Mbak?" Brian tampak khawatir.

Iis segera menggeleng. "Nope. Makasih udah bantu nge-cover kerjaan gue selama gue nggak ada."

Malamnya, Iis sengaja pulang di jam yang sama dengan suaminya, biar bisa langsung mampir makan malam di luar, sebelum rumah makan pada tutup.

Dan Gusti yang paling peka sedunia jelas langsung sadar kalau istrinya bersikap rada aneh. Nggak banyak omong, tapi clingy abis.

Yang biasanya anti public display affection, bisa-bisanya tadi saat di Ippudo, yang normalnya mereka akan duduk berhadap-hadapan di sofa yang masing-masing muat untuk dua orang itu, sang istri malah lebih memilih duduk di sisinya, menyandarkan kepala di lengannya sambil menunggu pesanan datang.

"Tumben kamu peluk duluan?" Gusti akhirnya nggak tahan untuk diam saat mereka berdua sudah naik ke tempat tidur beberapa jam kemudian.

"Refleks." Iis hanya menyahut singkat tanpa berniat untuk beringsut menjauh.

"Ada maunya?" Gusti iseng.

Iis mendengus pelan. "Gitu amat sih Gus, sama istri sendiri?"

"Yaaah ... kali aja kamu lagi pengen."

"Itu mah kamu, tiap hari pengen!" Iis mencubit pinggang suaminya dengan kesal. "No, Gus. Cuddling is fine."

"One round tonight should be fine too." Gusti nggak putus asa.

"Yakin, one round is enough?" Iis tertawa mengejek.

"Hahaha. Hope so."

Dan meski rada-rada rusuh, Iis cukup sepakat pada cara Gusti untuk meredakan kecemasan, di saat memang nggak ada yang bisa Iis lakukanserta nggak ingin membicarakannya—at this time. Di saat dia memang hanya ingin ditemani, dihibur, dialihkan perhatiannya.

And to be honest, ternyata Iis memang lebih suka sesi business discussion pasca menikah dibanding dulu, saat mereka masih hanya sebatas teman yang kebetulan sama-sama menjalankan peran sebagai co-founder Relevent. Diskusi pasca menikah bisa dilakukan di mana saja, sambil ngapain aja—termasuk saat pillow talk begini. Jadi nggak terasa kalau sebenarnya lagi bekerja juga.

"Besok mau sarapan masakan aku nggak?" Iis mendadak bertanya setelah berbagai topik mengalir tiada henti.

Gusti mengernyitkan dahi sejenak. "Kemarin kamu belajar sama Mama?"

"Hm mm." Iis mengangguk. "Dijamin enak, deh."

"Really?"

"Soalnya aku dikasih stok bumbu jadi macem-macem. Tinggal cemplung." Iis ngakak melihat tampang Gusti yang meragukan kemampuan memasaknya—karena memang sudah jelas nggak bisa—tapi nggak enak mau nolak.

"Tapi kamu jadi harus bangun lebih pagi, dong?"

"Then you have to help me get to sleep early."

Gusti akhirnya mesem. Mengecup dahi istrinya, menarik selimut sampai ke bahu, lalu mendekap sang istri lebih erat.

"Sini, Sayaaang. Sini, Abang nyanyiin nina bobo."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top