42 | last cungpret standing

Pemenang voucher Karyakarsa chapter 41: Rfty97 5k, yul_nda 2k




42 | last cungpret standing



GUSTI berjalan melewati lobby kantor sambil membuka Slack yang banjir notifikasi. Mendadak merasa jadi si buta dari gua hantu, setelah nyaris dua minggu nggak tahu berita apa-apa—kecuali beberapa messages dari anggota timnya, yang sejak dia pergi jadi disupervisi oleh Angga, bos Sabrina, yang sempat dia baca-baca sekilas di waktu-waktu senggangnya kemarin. Dan kemudian pandangannya jatuh ke sebuah thread baru.

Holy shit!

Gusti setengah berlari mengejar elevator yang kebetulan sedang terbuka. Menjejalkan dirinya masuk sebelum kembali membaca thread yang sedang ramai itu, dengan sebuah nama familier menjadi objeknya.

Jerry Arnawama Martohusodo.

What the heck?

Head of IT Governance. Officially.

Gusti langsung speechless. Bangga, kagum, kesal, iri, dengki, semuanya jadi satu pada teman seperjuangannya itu.

Setelah meninggalkan Relevent dulu, posisi Zane yang mendadak pindah ke lain benua, sebagai kembar siamnya memang auto tergantikan oleh Jerry, yang merupakan kenalan pertamanya saat mengikuti program Management Associate di tempatnya bekerja sekarang, tidak lama kemudian.

Teman susah senang bersama.

Teman pontang-panting dipindah-pindah dari satu departemen ke departemen lain.

Teman lembur bareng sampai mau mampus.

Teman ketiduran di masjid pas sujud salat Subuh, saking nggak tidur semaleman dikejar deadline revisi, sampai bikin heboh para jamaah karena dikira mati.

Teman berusaha survive di kasta terendah kantor mereka, hingga dua tahun belakangan posisi Gusti sebagai tamu tetap apartemen Jerry didepak oleh sosok cakep tapi licin seperti ular, yang tidak lain tidak bukan adalah Sabrina—yang dulu juga sempat mendepaknya dari apartemen Zane.

"Gila lu Ndro! Bonus kemarin aja masih utuh—bisa buat modal resepsi. Sekarang udah dapet promosi aja! You owe me a drink, lah!" Gusti langsung meninju bahu sahabatnya saat sang topik gosip dari tadi pagi itu dengan rendah hati mampir ke ruangannya untuk mengajak makan siang—yang mana, seenak dan semahal apa pun Gusti minta ditraktir, nggak akan bisa dinikmati, karena Gusti lagi sariawan.

Jerry cuma bisa meringis.

Mereka memang masuk di tahun yang sama. Tapi Jerry memang sedikit lebih beruntung karena kemarin diikutsertakan sebagai in charge team dalam project akuisisi maha besar—bisnis retail and wealth management dari sebuah bank, yang berakhir meningkatkan aset perusahaan mereka sebesar 10%, memperkuat positioning sebagai bank terbesar di pasar regional—yang sempat membuat Gusti merasa temannya itu mendadak jadi corporate slave beneran selama dua tahun belakangan. Sama sekali nggak pernah ngerasain weekend kecuali libur lebaran, tapi untung masih punya pacar paling supportive sejagat raya, setia menemani pas lagi gila-gilanya.

Tapi yang namanya hasil memang nggak akan pernah menghianati usaha.

Kelar project, bos Jerry transfer ke headquarter. Lalu Jerry naik jabatan. Sungguh semesta ini maha adil.

"Eh, traktir minum doang kemurahan, taik! Kasih gue sama Iis kado nikahan yang bener, lah" Gusti segera meralat perkataannya tidak lama kemudian.

Jerry tersenyum jemawa. "Hmm. Kalau lo sama bini udah bosen di rumah, mau escape ke Bali, bilang aja."

"Bvlgari, tapi." Gusti nyolot, ingat mulai bulan depan gaji temannya akan naik jadi dua kali lipat dari gajinya sendiri.

Jerry kontan melotot. "Cuk!"

"Cuk?"

"Serah, dah."

Keduanya lalu tertawa.

"Ckckck. Gila lu! Ati-ati aja abis ini, tiba-tiba muntah paku, disantet sama yang udah puluhan tahun membabu, tapi stuck di situ aja posisinya." Gusti lalu sok serius.

Jerry mengangkat bahu sambil lalu. "Kalau matinya karena disantet sementara guenya nggak salah, malah jadi punya tiket masuk surga nggak, sih? Tapi yang lo bilang tadi nggak salah, sih. I owe you. Kalau nggak ada lo, kayaknya gue udah kabur sebelum tiga bulan pertama kita dulu. Nggak betah. Gaji kecil, nggak pernah ngerasain weekend. Lebih gede uang saku dari nyokap kalau lagi membabu di rumah—nyapu, ngepel, jadi supir ke pasar."

"Yep. Dan harusnya Bvlgari dua malam nggak sepadan, sih."

Dan kemudian, Sabrina tau-tau sudah nongol di pintu dan langsung merangkul pacarnya. "Did I disturb you, guys?"

Mukanya berubah songong juga. Mentang-mentang pacarnya sudah resmi tercoret dari list cungpret.

Jerry jelas menggeleng sebagai jawaban dari pertanyaan pacarnya. "Nope. Lunch ke mana kita?"

"PP aja, jangan jauh-jauh." Gusti yang emang lagi nggak nafsu makan segera menyahut. "Btw, traktiran sama anak-anak yang lain bukan malem ini, kan?"

"Kenapa?"

"Emak mertua gue lagi ada di rumah. Prioritas."

"Sans. Friday, bray. Friday."

Dan malamnya, setelah mengantar mertua pulang ke Lebak Bulus, Gusti ganti bergelung manja ke pelukan istri. Merebahkan kepala ke dada istrinya. Minta dielus-elus.

"You know what ...." Gusti menggumam lesu. "Kalau kamu ketik nama Jerry di Google sekarang, pasti udah banyak banget artikel yang muncul."

"I know. I've read some of them." Iis mesem. "Timothy yang ngasih tau. Pacar Sabrina jadi VP termuda di tempat kalian—baru tiga puluh tahun, dengan prestasi bla-bla-bla."

"Great." Gusti jadi makin lesu.

Iis mengusap pipi suaminya dengan sayang, mencoba memahami.

Dia sendiri memang nggak punya pengalaman 'ditinggal' sukses duluan sama teman seperjuangan. Soalnya begitu lulus kuliah, langsung mendirikan usaha sendiri. Dan bahkan dua tahun kemudian, dirinya ditinggalkan oleh dua co-founder-nya, membuat posisinya otomatis langsung naik ke puncak piramid.

Tapi memang nggak perlu ngalamin sendiri untuk tahu bagaimana rasanya, sih.

"Are you alright?" tanyanya kemudian.

"Yep." Gusti hanya menjawab singkat.

Iis kembali mengelus belakang kepalanya. "You're disappointed, aren't you?"

Gusti menggeleng lemah. "No way. He deserves that."

"You feel both. Proud but disappointed. Admit it. Nggak apa-apa, Gus. Wajar kali, orang ngerasa kecewa, dengki—berhubung hormon di tubuh kita emang menunjang ke arah situ juga. Jadi, bukan cuma orang yang berhati buruk aja yang ngalamin perasaan-perasaan semacem itu. Tapi kan yang penting gimana cara kita menyingkapinya. Do you really think he deserves that?"

"Of course. Semua orang juga tau dia udah kayak korban penjajahan aja kerjanya. But not only work hard. He works smart."

Iis mencubit pipi suaminya. "Jangan lupa juga, kamu baru berapa bulan jadi AVP? Enam? Tujuh? You are not even thirty yet. Yang lebih senior dari kamu pasti masih baaanyak banget yang masih jadi associate, padahal belum tentu usahanya kalah keras dibanding usaha kamu—cuma ciong aja."

Gusti lalu mengembuskan napas panjang. Mengangkat kepalanya, beringsut mendekat untuk mencium sang istri. Menyelipkan satu lengan ke bawah pinggang Iis untuk memeluknya erat.

"Right. Kalau ngelihat ke satu arah terus, lama-lama kram juga. Jadi kudu balance."

Dan kemudian, pria itu menaik-turunkan alis, kode yang Iis sudah sangat paham.

"Please, deh Gus. Kok bisa nyambung ke situ, sih?"

Gusti senyum sok ganteng. "Mumpung udah recharged, nih."

"Already? Aku yang nggak ngapa-ngapain aja masih lemes." Iis memutar bola mata, dalam hati merasa kayaknya dia butuh segera ke dokter Boyke biar nggak kalah tangguh.

"Yep. Seneng kan, punya suami yang cepet recovery-nya?"

Iis segera mendorong suaminya supaya berguling ke samping. Tukar posisi.

"Hmm. Puas-puasin deh, ya, mumpung masih di rumah sendiri. Weekend ini berhubung kita ke Magelang, nggak mungkin aku ladenin."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Are you kidding?"



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top