4 | sayang?
4 | sayang?
GUSTI menopang dagu, menoleh sekali lagi ke calon istrinya yang malam ini mengenakan kaus lengan pendek warna cerah dan celana panjang rayon untuk tidur. Rambutnya dicepol asal-asalan. Mukanya polos tanpa makeup, terlihat segar karena habis mandi. Sesekali senyum-senyum atau mengumpat sendiri, fokus menonton episode terakhir The Queen's Gambit.
She's really cute.
Kalau nggak kenal, pasti nggak akan menyangka kalau wanita di sebelahnya ini udah tua, karena bahkan kalau dia memperkenalkan diri sebagai anak SMA, orang-orang juga bakal percaya begitu saja saking imutnya. Ditambah postur tubuhnya yang mungil, cuma setinggi dada Gusti. Astagaaa, bodohnya Gusti karena baru menyadari telah menyia-nyiakan makhluk seindah ini selama hampir sepuluh tahun kenal.
Coba matanya terbuka dari dulu dan segera berinisiatif menyelamatkan cewek ini dari si kampret Linggar. Pasti minimal sekarang mereka berdua sudah punya dua anak.
"Apa, Gus? Dari tadi lirik-lirik mulu." Iis bersungut-sungut.
Mereka belum lama pulang dari notaris, mengesahkan prenup, yang menurut mereka berdua hukumnya wajib, mengingat pasangan yang menikah didasari cinta saja masih bisa berantem dan cerai, apalagi yang memutuskan hidup bersama hanya karena malas mencari calon lain seperti mereka? Jelas memisahkan harta dunia—yang sebenarnya penting nggak penting ini—kudu dilakukan, suka maupun tidak.
Tadinya sepulang dari notaris, mereka berencana nge-date untuk pertama dan maybe terakhir kali sebelum menikah. Tapi mendadak Gusti mules dan mengajak pulang saja. Mengganti rencana kencan mereka dengan nonton Netflix di ruang tamu Iis sambil delivery makan malam.
Iis jelas cuma bisa mengiyakan sambil pasang wajah kecut.
"Katanya mau nonton? Giliran udah diputer series-nya, malah kelasah-kelusuh kayak orang ambeien gitu."
Gusti melotot mendengar ucapan sang calon istri.
Emang dasar ya, semua cewek yang dia kenal, nggak peduli anggunnya kayak apa di luar sana, begitu udah akrab banget, mulutnya sama semua. Nggak ada aturan.
"Ya elo muternya langsung episode terakhir." Gusti kembali memandang layar TV setelah menghela napas beberapa kali, meredam niat untuk balas ngegas. Kata Yangkungnya di kampung, yang paling penting kalau mau nikah itu adalah jangan emosian. Sebagian cewek emang demen ngegas dan cari gara-gara. Tapi belum tentu berarti mereka membenci. Justru sebaliknya. Banyak yang emang susah mengekspresikan diri dan milih ngomel-ngomel sebagai cara berinteraksi, which is nyebelin banget, tapi nggak apa-apa. Karena mau galak kayak gimana juga, Iis tetep gemes. "Mending gue ngelihatin calon istri ke mana-mana daripada Anya Taylor-Joy."
Iis hanya menggumam pelan. Malas menyahut. Tapi dia diam saja, tidak berniat menolak ketika kemudian Gusti mengulurkan lengan untuk merangkul pinggangnya. Memaksanya untuk bergeser lebih dekat.
Setidaknya, sekarang dia sudah mulai terbiasa dengan rangkulan—meskipun kalau mau bayangin bakal dipeluk-peluk apalagi dicium Gusti masih rada-rada bikin perut mual. Juga matanya yang sebenarnya nggak biasa melihat pemandangan tidak senonoh ini sekarang sudah mulai santuy kalau malem-malem pulang kerja melihat cowok itu keluar dari kamar mandinya cuma pakai handuk.
Beruntung, penampilan Gusti yang sekarang super duper rapi dan jauh berbeda dengan saat masih kuliah atau kerja di Relevent dulu. Sekarang potongan rambutnya cepak. Rajin cukur tiap pagi. Wangi. Dan kalaupun nggak sedang kerja dan memakai kemeja slimfit serta setelan jas, dia cukup enak dipandang dengan berbagai pilihan warna kaos dan celana pendek. Jadi biarpun belum cinta, Iis nggak merasa ngenes-ngenes amat jatuh ke pelukan temannya itu.
Kesehatan kulit juga Gusti lumayan concern, dengan rutin pakai pelembab wajah dan bibir, juga sunscreen, meski yang terakhir ini cuma dipakai tiap mau keluar rumah.
Dan selain penampilan, alhamdulillah Gusti juga sudah mulai menjaga pola hidup dengan mengurangi makan junk food. Setiap kali delivery atau mampir makan di luar, pria itu akan berusaha memilih menu yang rada sehat untuk mereka berdua. Dan soal olahraga, sepertinya banyak faedahnya juga si Zane keluar negeri dan membiarkan Gusti tinggal di tempatnya yang punya fasilitas gym lengkap. Meski masih cenderung kerempeng dan butuh bulking sedikit lagi biar Iis nggak perlu melirik-lirik cowok seksi lain yang banyak berseliweran di kompleks apartemennya, setidaknya kalau nggak sengaja melihat Gusti lagi topless pun, wajah Iis masih bisa dibikin bersemu merah.
Damn Agus. Cowok kampret kembar siamnya Zane. Now he has become a grown-ass man. Calon suami Iis Jamilah, yang sekarang lagi wondering how her life with this man will be.
"Nanti kalau udah married mau dipanggil apa?" Gusti mendadak nyeletuk.
Iis menoleh dengan alis bertaut. "Suka-suka lo, sih. Asal sopan aja kalau lagi di luar, terutama di depan keluarga masing-masing."
Gusti manggut-manggut. Mengulurkan tangan satu lagi ke pinggang sang calon istri dan menggeser posisi duduknya sehingga Iis jadi bisa menyandarkan punggung ke dadanya. "Sayang, norak nggak?"
"Norak." Iis menjawab jujur.
"Terus maunya apa?"
"Norak juga nggak apa-apa, sih. Cocok ama muka lo."
What the—
Gusti hampir saja menggampar wanita di pelukannya itu kalau nggak inget muka Iis dalam waktu dekat bakal jadi asetnya juga, yang harus dia jaga baik-baik.
"Ckckck. Kapan bisa jatuh cintanya kalau tiap hari hati gue dilukai sama mulut tajem lo begini?"
Iis terkekeh pelan, dan menoleh ke belakang sehingga kedua mata mereka bertemu. Tapi tidak mengucapkan apa-apa.
Bisa dibilang, ini adalah momen paling intimate mereka berdua, sih. Di tempat yang privat dengan posisi sedekat ini.
Yeah, dari awal memutuskan menikah, Iis memang nggak pernah berniat menolak didekati secara fisik. Asal alus aja mainnya, biar nggak berasa kayak lagi dilecehkan sama temen sendiri.
"Mau dicium sekarang nggak?" Sekali lagi, pertanyaan mendadak Gusti membuat Iis tegang dan menelan ludah. "Di kening aja dulu, atau di pipi. Waktu kita masih ada beberapa minggu lagi buat berhenti awkward-awkward-an gini sebelum nikah. No need to hurry."
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top