35 | last courses

Pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya: Rfty97 5k, aishaNurull dan yul_nda 2k.




35 | last courses



ONE of the best things about their honeymoon destination is the food.

Dan seperti rencana Gusti semula, malamnya mereka berdua mengadakan private dinner di sanctuary. Candle light.

Setelah awkward dan malu-malu sepanjang siang menjelang sore tadi, setelah masing-masing kelar mandi, jalan-jalan sebentar ke pabrik cokelat yang berada tidak jauh dari situ, dilanjut menghabiskan waktu sambil duduk-duduk menghadap puncak Piton lagi, syukurlah vibes honeymoon mulai terasa. Iis tidak menjauh sedikit pun dari sisinya. Memeluk pinggangnya. Merebahkan kepala di dadanya, sambil melihat sunset, sementara meja makan mereka sedang disiapkan.

Romantis seperti yang Gusti bayangkan. Six courses dining. Di bawah bintang-bintang, di ruangan yang dibiarkan remang-remang, dengan backsound suara-suara serangga di hutan hujan di bawah, juga debur ombak di kejauhan.

Tadinya Iis sudah pesimis saja, nggak bakal kuat menghabiskan tiga menu utama plus tiga menu pelengkap mereka. Tapi begitu amuse bouche mereka datang dan merasakan betapa smoked salmon mousse dan caviar yang disajikan berasa meleleh di lidah, Iis langsung nampak happy.

"Nggak kalah sama yang di lounge-nya Emirates, kan?" Gusti menanyainya sambil menikmati menu ketiga mereka, salad dengan goat cheese, sekitar setengah jam kemudian, setelah sebelumnya menyantap scallop sebagai second course.

Iis manggut-manggut sambil mengunyah.

Sebenarnya selera Gusti soal makanan nggak perlu diragukan, sih. Karena sama-sama nggak bisa masak, sejak pertama kali mendirikan Relevent dulu, mereka memang hobi kulineran. Bertiga dengan Zane, tapi Zane nggak perlu, lah, dimintai preferensi.

Lidah Zane itu mati rasa, kebanyakan minum kopi panas. Jadi dikasih masakan rumah sakit yang kurang garam, kurang gula, tanpa micin juga bilangnya enak-enak aja. Sementara Gusti, seleranya sebelas dua belas dengan Iis—tapi Iis rada lebih rewel dikit.

"Kan belum tahu first class-nya gimana." Iis meringis sambil menusuk-nusuk baby beetroots di piringnya yang dihidangkan dalam potongan kotak-kotak agak besar.

Business class lounge yang mereka singgahi dua hari yang lalu sudah terbilang super nyaman dan enak-enak banget sih, menu makanannya. Tapi pasti yang first class lebih berasa di surga kan? Apalagi di Dubai gitu. Vibes-nya sultan banget.

"Tahun depan gimana? Umroh?" Gusti membuat penawaran, yang langsung disambut mata berbinar-binar oleh istrinya.

Gilaaa, ini janji manis apa beneran, sih? Btw, gaji Gusti di Bank onoh nggak gede-gede amat lho sebenarnya. Dan Iis juga sampai sekarang belum tahu-menahu soal sumber-sumber penghasilannya yang lain. Jadi tetep aja rada-rada sangsi, biarpun tentu saja dia nggak akan menolak diberi hidup nyaman.

"Kalau gitu kita program hamilnya abis itu aja, ya." Iis tiba-tiba nyeletuk, membuat Gusti ternganga karena memang pembicaraan serius soal anak belum pernah ada di antara mereka—selain Iis yang pernah bilang kalau nggak mau terburu-buru dan Gusti yang mengatakan akan menyerahkan semua keputusan kepada pihak wanita.

Sekali lagi, bayangan Iis si mungil yang kayak anak SMP ini jalan-jalan di PP dengan perut besar membuat Gusti rada ngeri. Takut brojol di jalan.

Tapi sebelum dia sempat menyahut, abang-abang waiter sudah keburu datang lagi dengan intermezzo mereka—passion fruit sorbet—sebelum masuk ke menu utama berikutnya, fillet mignon dan giant prawn.

Setelahnya, keduanya lalu terhanyut dalam obrolan tentang makanan khas pulau yang mau mereka jelajahi besok, hingga hidangan penutup mereka tiba. Emerald Farm Chocolate Trilogy, yang pabriknya mereka datangi tadi sore—Dark Chocolate and White Chocolate Truffles, Chocolate Soufflé Cake, dan Raspberry Chantilly Créme yang semuanya sukses menggoyang lidah.

"Thank you, Gus. This is one of the best dining experiences in my life." Iis berterima kasih pada Pak Suami setelah enam courses tandas tak bersisa di perutnya yang ternyata melar seperti karet itu.

Gusti cuma mesem sambil menggiringnya kembali ke sofa, menunggu meja mereka dibereskan seperti semula.

"Mau minum?" tawarnya, melirik sekilas ke mini bar yang sudah sempat dia lirik isinya tadi siang, yang semuanya non alcohol, tepat sesuai dengan request-nya.

Iis menggeleng.

"Udah penuh banget, nggak ada space. Duduk-duduk aja, sambil nunggu lambung rada longgaran dikit."

Gusti lalu duduk di sebelahnya.

Malam ini kebetulan langit cerah. Jadi duduk-duduk di teras galaxy sanctuary mereka berasa lagi di galaxy beneran.

Okay, Gusti mulai lebay. Skip.

"Kayaknya berenang malem-malem kalau lagi cerah gini enak, deh. Sambil nyalain heater-nya." Gusti tiba-tiba ngide sambil memperhatikan infinity pool mereka yang airnya beriak-riak pelan kena angin, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Iis.

Okay, malam memang masih panjang. Tapi Iis mending jalan-jalan di pantai daripada berendam dingin-dingin begini. Bisa masuk angin yang ada. Basah-basahan dengan angin laut menerpa.

"Kenyang, Gus. Nggak kuat berenang," kilahnya, lalu beringsut mendekat. Merebahkan diri di dada suaminya, biar nggak ngajakin yang aneh-aneh lagi. Lanjut mengobrolkan apa pun—selain berenang, berendam berdua di jacuzzi, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan air.

"Dingin?" Gusti bertanya setelah hampir sejam mereka ngobrol ngalor ngidul.

Iis masih berpakaian lengkap dengan jilbabnya, tapi wanita itu serasa menciut di pelukan Gusti.

"Lumayan. Rada drastis soalnya, perubahan suhunya. Tadi siang panas banget."

"Mau diambilin selimut?"

"Enggak. Kamu udah anget, kok."

Gusti tertawa kecil seraya mempererat pelukannya.

"Puas-puasin istirahatnya malam ini. Besok kita snorkeling."

Pria itu lalu mencium pelipis sang istri, membuat yang dicium menoleh heran.

"Lah? Disuruh istirahat? Bukannya mau diajak lembur?"

Gusti berdehem pelan.

Tentu saja dia mau. Ya kali, dari kemarin malam-malamnya cuma diisi dzikir biar nggak kelepasan menerkam sang istri yang kayak kelinci polos, tidur dengan nyenyaknya di kandang singa lapar, dikira apalagi yang dia butuhkan malam ini? Main course-nya! Jelas.

"Yakin, mau?" Gusti bertanya basa-basi, selembut mungkin biar nggak ditolak.

Dan muka Iis auto merah padam lagi. "Ya mau lah, Gus."

"Yes! Kirain bakal disuruh nahan-nahan lagi." Gusti bersorak, menyentuh dagu istrinya, menengadahkan wajahnya supaya bisa menciumnya sampai puas. Membantunya melepaskan jilbabnya. Juga outer yang dikenakan. Meletakkan keduanya hati-hati di punggung sofa biar nggak lecek, biar besok pagi bisa dipakai lagi buat keluar jalan-jalan. Lalu ngode untuk pindah ke kasur setelah yakin pemanasannya cukup.

"Aku cuci muka dulu." Iis minta izin.

Gusti mengangguk, bangkit berdiri sambil mencopot kemeja pantainya, memperhatikan punggung istrinya berjalan menjauh, lalu menggantung baju mereka berdua ke dalam wardrobe.

Dia naik menyusul Iis untuk cuci muka dan gosok gigi juga. Tapi tetap saja, dia yang selesai duluan dan berakhir menunggu istrinya di atas kasur.

Sepuluh menit kemudian Iis turun. Naik ke sebelahnya.

"Nggak akan ada yang videoin pakai drone, kan?" Iis bertanya lagi, cemas, sambil menatap ke belakang punggung Gusti. Ke batas antara ruang kamar dan udara bebas di atas hutan hujan.

Kasur mereka letaknya memang tepat di pinggir sanctuary, dekat pagar besi, dan kalau ada drone lewat, sudah pasti bisa tertangkap dengan jelas semua aktivitas di atas kasur.

"Nggak bakal, Is. Lagian ketutupan jaring nyamuk gini, mana kelihatan?"

Tetap kelihatan, pasti.

Tapi nggak tahu jelas apa enggaknya.

Iis menghela napas tiga kali, memantapkan diri.

Toh nggak ada gunanya juga menahan-nahan. Nggak ada yang diuntungkan.

Tak lama kemudian dia mengangguk. Membiarkan Gusti menggulung perlahan camisole-nya.

Iis melesakkan perut dengan tegang seiring sentuhan jemari suaminya.

"Kalau masih takut, bisa kita tunda besok-besok." Gusti berbisik dengan penuh pengertian.

"Takut?" Sebelah alis Iis terangkat. "What am I? Twelve? Malu aku tuh, bukan takut. Boleh nggak sih ngelakuinnya sambil merem aja?"

Gusti tertawa geli. Mendekap kepala sang wanita dan mencium keningnya. Lalu turun untuk mematikan lampu kamar, menyisakan satu di hallway, biar nggak susah kalau nanti tengah malam tiba-tiba terbangun, mau ke kamar mandi. "Problem solved, then."



... to be continued

PS. Ternyata di era nulis WB ini, w cukup berbudi luhur dan bijaksana dalam mempublish adegan dewasa di Wattpad. Wkwk.

Tapi berhubung sekarang w udah dewasa betulan, dan otak ini udah agak terkontaminasi, jadi barusan eke bikinin lanjutannya yang eksplisit di Karyakarsa.

Yang mau unlock, please pastiin kalian udah 18+ yaa. Yang belum, sabar dulu. Tolong dengerin onty. Jangan ngebantah. Duit kalian buat jajan seblak aja. 😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top