34 | pemecah rekor first time iis
Selamat hari Senin! Semoga Mbak Iis dan Mas Agus bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri untuk memulai minggu ini, wkwk.
Anyway, pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya: oohfaras & yul_nda 3k; ciVelan22 1,5k; berliankristal 1k
34 | pemecah rekor first time iis
DAN ternyata, dibalik kaos masih ada kaos lagi.
Gusti menautkan alis, mendesah, mencoba bersabar karena merasa dikerjai, sementara istrinya malah ketawa-ketiwi. Berkelit menjauh sebelum kena peluk—atau lebih parahnya lagi, kena jitak—ke arah sofa yang tadi diduduki Gusti, kemudian melambaikan tangan dengan centil biar sang suami mengikutinya duduk di sana.
Centil versi Iis tentu nggak sama dengan centil versi Sabrina CS. Jadi nggak bikin gerah. Yang ada malah bikin gemas.
"Sabar kali Gus. Masih keringetan nih, abis jalan lumayan jauh dari lobby tadi. Welcome drink-nya juga belum tersentuh." Wanita itu membujuknya.
Gusti menyeret kakinya mendekat. Menghempaskan kaos Iis yang tadi dia bantu lepaskan ke pangkuan pemiliknya, lalu duduk di sebelahnya sambil menggerutu.
Panas, memang, tapi masih tertolong kipas angin di atas kepala mereka. Lagipula, angin sepoi dari luar, udara sekitar yang masih segar, dan pemandangan yang nggak ada duanya, cukup membuat panasnya layak diampuni.
"Mocktail-nya seger banget lho, Pak. Lebih enak dari yang kita coba di—eh, nggak usah sebut merk, deh." Iis lalu mendorong gelas Gusti dari sisinya ke tengah meja. Gelas miliknya sendiri sudah berkurang sedikit isinya.
Lagi-lagi Gusti hanya menurut. Menyesap mocktail-nya dengan penuh penghayatan. Dan seperti kata Iis, seger banget, memang. Campuran limeade, soda, sama grenadine. Apalagi minumnya sambil melihat air laut yang sebiru Pepsi.
"Lumayan ngurangin gerahnya, kan?" Iis bertanya dengan tampang sok imut. "Santai dulu, lah. Nunggu keringetnya ilang dulu kalau mau mandi."
"Hmm." Gusti mengiyakan saja, lalu mencopot kemejanya dan melemparnya ke kursi lain, bertelanjang dada, sebelum kembali meneguk mocktail-nya lagi.
Kalau mau cepet ilang keringetnya, ya beginilah satu-satunya cara.
Iis meliriknya sekilas. Nampak menimbang-nimbang sebelum akhirnya buka mulut.
"There are still too many clothes on me too." Wanita itu berbisik genit, membuat Gusti auto menaikkan alis karena ogah dikerjain lagi, hingga kemudian istrinya merentangkan lengannya ke atas, meminta bantuan untuk menarik lepas satu layer lagi pakaian yang membungkus tubuhnya. Menyisakan selembar camisole warna putih tulang—yang kayaknya adalah warna favoritnya untuk pakaian dalam dan pakaian sehari-hari di rumah. Membuat Gusti rada-rada merinding dan pusing karena first time banget melihat sang istri pakai atasan minim begini.
Akhirnya dua-duanya pilih mengambil dan meneguk minuman masing-masing biar nggak canggung.
"Kalau di rumah, ngelihat Bapak topless abis mandi biasa aja, di sini kok jadi awkward, ya." Iis menggumamkan isi hati.
Gusti tertawa hambar. "Soalnya dulu kamu belum suka sama si Bapak ini."
Jijik banget nggak sih, dengernya?
Gusti aja jijik sama ucapannya sendiri.
"Mau order makan siang sekarang?" Akhirnya pria itu mengganti topik, ingat terakhir kali mereka makan adalah di pesawat, dan itu pagi tadi.
Iis yang biasanya semangat kalau soal makanan, ternyata kali ini hanya menggelengkan kepala. "Nanggung. Udah mau sore ini, sekalian dinner aja, lah. Sekarang ngemil dulu." Wanita itu menyahut sambil membuka snack box yang tadi didapatkannya sebagai pendamping mocktail, mengintip isinya yang beragam, mulai dari slice cake, sandwich isi daging, aneka biskuit, dan potongan buah-buahan. "Mau?"
"Buahnya aja."
Iis lalu menusuk potongan semangka dengan garpu dan menyuapkannya ke Gusti. "Iiih, first time banget lho ini disuapin sama istri."
Gusti menelan semangkanya. "Disuapin doang, apa bedanya sama ponakan kamu yang masih balita? Maunya dikasih first time yang lain."
Gusti meringis. Dikasih hati minta seluruh organ tubuh emang! Tapi gimana lagi, masa honeymoon disia-siain?
Iis berdecak pelan dan menyipitkan mata dengan tampang merasa tertantang. Mengambil sepotong nanas sebelum beringsut mendekat dan mendaratkan diri ke pangkuan sang suami—dalam hati bersyukur karena Gusti masih saja wangi setelah perjalanan berjam-jam mereka tadi—sementara yang pahanya diduduki langsung speechless. Nggak menyangka istrinya bakal make a move, yang untuk skala Iis pasti butuh effort nggak tanggung-tanggung.
"Mau first time yang mana? Coba bilang." Iis nantangin.
Gusti merasakan jantungnya berdegup kencang. Nggak nyangka kalau ternyata setelah jadi suami-istri masih tetap bisa nervous.
Tapi mungkin ini hanya karena mereka baru empat hari menikah dan belum ngapa-ngapain, sih.
"Gus, dipangku kamu gini bikin aku deg-degan, ternyata." Iis berbisik sambil menahan malu, menahan ketawa.
Gusti berlagak bego, membuat istrinya langsung menyembunyikan muka ke dadanya. Malu banget, karena niatnya mau balas menggoda, malah jadi mati kutu—membuat suaminya ketawa saking gemas.
"Sayang kamu, Is. Kayaknya udah lama nggak bilang." Pria itu merengkuh punggungnya. Merasakan betapa lembut dan tipis kain yang membungkus tubuh bagian atas istri tercinta.
Iis masih belum mengangkat wajahnya. "Sayang Gusti juga. Tapi tetep aja, sayang nggak bikin malunya ilang."
"Kalo segini aja udah malu, mandinya gimana? Masa aku cuma dikasih janji manis lagi?"
"Aaah, Agus. Mau nangis dulu, lah."
Dan wanita itu benar-benar mengeluarkan suara menangis plus buang ingus, di dada telanjangnya, membuat Gusti pengen jitak beneran seandainya serius ada ingus menempel di sana nanti.
"Kayaknya aku belum sanggup kalau harus siang-siang begini, deh." Iis tersedu-sedu—kayak Trinda kalau lagi berlagak nangis biar dibeliin sesuatu.
"Nggak sanggup gimana?" Gusti nanya lagi.
"Malunya itu lho Guuus. Aduuuh, Agus, nih." Iis mencubit pinggangnya, membuat Gusti mengaduh biarpun kali ini nggak sakit-sakit amat. "Kalau pakai bikini sekarang sih bisa aja. Tapi kalau mau mandi berduaan, gimana kalo nunggu gelap dulu? Dari kecil udah jilbaban gini. Jadi berasa aneh banget kalau mau mengekspos diri sendiri, biarpun judulnya udah halal."
Gusti akhirnya ngakak karena godaannya dari tadi dibawa serius sama sang istri. "Cuma bercanda aku tuh. Ya Allah, gitu aja kamu panik, Is."
Iis menjauhkan diri. Memandang dengan bibir mencebik.
"Aku nggak akan maksa kamu ngelakuin apa pun kalau kamu belum siap, lah." Gusti menjelaskan sambil mengacak-acak rambut wanita di hadapannya itu. "Emang aku ada tampang semaniak itu apa? Astagfirullah."
"Nggak lucu, deh, Gus. Aku udah ngerasa nggak enak banget padahal."
"Ya lagian, masa aku bayarin belanjaan kamu, manjain kamu, buat minta payback? Aku nikahin kamu, bukan beli kamu."
Iis tidak menyahut lagi. Merebahkan kepalanya kembali ke dada sang suami. Menghirup wangi Versace Eros-nya. Menyusupkan tangan di antara punggung Gusti dan punggung sofa.
Enak juga ternyata, peluk-peluk suami sendiri, biarpun siang-siang menjelang sore yang panas begini. Plus belum pada mandi.
Another first time bagi Iis.
Udah kayak jablay, minta dipangku, minta dipeluk-peluk.
Udah gitu tangan bergerilya ke mana-mana. Mengelus-elus.
Beberapa hari ini memang banyak rekor first time-nya yang terpecahkan. Dan Iis bersyukur sekali, menjalaninya bersama Gusti, bukan dengan yang lain.
"Entah kenapa aku masih kayak nggak percaya, sekarang ada di sini sama kamu, Gus. Thanks for asking me to marry you five months ago."
Gusti mencium bahu terbuka istrinya. "Aku juga nggak nyangka waktu itu kamu bakal bilang iya."
Iis tertawa pelan. "Mungkin emang udah jodohnya."
"Padahal sehari sebelumnya aku masih nemenin kamu galau di bandara."
"Justru itu kayaknya, curangnya kamu. Selalu ada pas aku butuh."
Right.
Gusti bahkan nggak sadar, sejak ditinggal Zane, praktis teman Iis tinggal dia seorang. Yang mau nggak mau harus selalu ada.
Nggak tega lah, dirinya mau ninggalin juga—biarpun hampir selalu nemeninnya sambil nyumpah serapah.
Dan kalau dulu dia menganggapnya kesialan dan keterpaksaan, bisa jadi kalau dilihat dari sudut pandang mantan Iis yang dia tikung ini, itu adalah kecurangan.
Salah sendiri anak orang enam tahun—hampir tujuh tahun, malah—nggak diseriusin, ya nggak?
"Wah, kayaknya pulang dari sini aku harus ambil kelas boxing." Gusti tiba-tiba nyeletuk.
"Buat?" Iis nggak nyambung.
"Siap-siap kalau tiba-tiba di jalan di cegat dan digebukin sama mantan kamu yang badannya segede King Kong itu."
"Ada-ada aja."
"Eh, mungkin aja, tau."
"Enggak. Aku putus duluan kan, sebelum ngiyain kamu."
"Ya itu kan cuma kita berdua yang tahu. Mana ngerti dia mikirnya kamu udah selingkuh duluan."
"Ih, Gusti. Mana ada aku tampang tukang selingkuh?" Iis mendengus pelan. "Udah ah, nggak boleh ngomongin orang. Udah lewat juga."
"Siap. Lagian harusnya malah aku nraktir dia pulang dari sini. Belum bilang makasih soalnya, udah jagain jodohku bertahun-tahun."
Iis mencubit pinggangnya lagi, kali ini lebih keras karena memang badan Gusti yang rada cungkring ini susah dicubit.
Alih-alih mengaduh kesakitan, Gusti mencuri satu ciuman di bibir yang sukses membuat istrinya melepaskan cubitan tangannya dengan sendirinya, kemudian menurunkan Iis dari pahanya dan mendudukkannya kembali ke tempat semula.
"Aku mandi duluan, ya." Pria itu lalu bangkit berdiri. "Kalau mau ngintip, dipersilakan."
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top