32 | pending business

Pemenang voucher Karyakarsa chapter sebelumnya: yul_nda giftme5 2k, ciVelan22 1k




32 | pending business



PERNAH ngerasain capek tidur? Iis pernah beberapa kali. Sewaktu kena tipus dulu—waktu opname selama seminggu penuh dan tidak ada hal lain yang bisa dia lakukan selain tidur, sampai-sampai dia merasa seluruh badannya jadi tambah sakit, dan yakin kalau dia nggak akan butuh tidur lagi hingga kurun waktu yang cukup lama begitu keluar dari rumah sakit. Juga setiap saat harus melakukan penerbangan belasan jam—seperti sekarang.

Bahkan kali ini, kalau ditotal, durasi penerbangannya lebih dari belasan jam. CGK-DXB delapan jam lebih. Cuma layover tiga jam, lanjut DXB-JFK empat belas setengah jam. Untungnya, setelah ini ada jeda enam belas jam sebelum lanjut ke UVF, yang untungnya lagi, hanya berdurasi terbang empat jam lima belas menit.

Capek? Sangat.

Kayaknya seumur-umur Iis belum pernah terbang selama ini.

Dan lagi, capeknya tuh bukan hanya karena langsung berangkat sehari setelah kelar urusan pernikahan. Tapi juga karena bosan setengah mampus.

Iis hates flying, especially when the one sitting next to her was Gusti.

"I think I'm fully energized to tour NYC this afternoon." Iis berbisik ke pria yang akhirnya melek juga setelah mati suri, siang hari di antah-berantah.

Suaminya itu benar-benar merealisasi ucapannya tadi—atau kemarin—untuk tidur sepanjang penerbangan mereka, membuat Iis mati kutu di kursinya karena tidak ada teman ngobrol dan tidak menemukan film atau web series yang menarik perhatiannya di inflight entertainment.

Pria itu cuma melek tiga jam di DXB, itu pun hampir ketiduran lagi di lounge-nya Emirates saking nyaman dan tenangnya, setelah makan kekenyangan.

"Good." Gusti mesem, mengulurkan tangan untuk mengelus belakang kepala istrinya dengan lembut, membuat Iis jadi batal cemberut gara-gara udah disayang-sayang duluan. "Aku juga udah nyiapin mental, kalau jalan-jalan kali ini khusus buat nyenengin istri tercinta—nggak bakal laper mata di Fifth Avenue."

Iis tertawa melihat muka sok serius suaminya. Mengulurkan tangan dan menjetikkan jari ke jidatnya yang lebar.

"Dasar shopaholic!"

Gusti meringis. "Kan udah tobat."

Iis ketawa lagi. Lalu diam. Menopang dagu di armrest.

Gusti menggeser duduknya supaya bisa merengkuh dan mencium pelipisnya. "Capek ya?"

Iis menggeleng. "Bosen. Ditinggal tidur sama kamu dari kemarin."

"Ya kan gantian, kemarin aku dicuekin di apart, bongkar koper sedirian, bersih-bersih rumah sendirian." Gusti balas menjitak. "Lagian nanti bosennya bakal terobati kalau udah nemu store-nya Hermes."

"Hahaha. Sayangnya istrimu ini bukan tante-tante penggila barang branded."

"Hmm, kalau gitu kulineran aja. Karena kamu nggak terlalu suka masakan western, bisa ke K-Town, jajan street food ampe perut buncit."

Iis mencubit perut suaminya. Gemas. Kesal.

"Jauh-jauh ke NYC, yang dicari tteokbokki juga."

Tapi ternyata, lain di mulut, lain di hati.

Gusti berani menjamin, dalam hal belanja, sebenarnya semua cewek sama aja. Yang selama ini sok-sokan hemat dan bersahaja, kalau ditraktir belanja, apalagi sama suami sendiri, tanpa limit pula, pasti nggak akan ada yang nolak, karena ternyata, sorenya Iis langsung menggila di Manhattan.

Hand bag, sepatu, scarf, perhiasan. Well ... kayaknya cukup sekali ini Gusti bilang nggak ada limit, kecuali mendadak dia dapat durian runtuh dan jadi milyader—yeah, nggak usah diungkit-ungkit soal dirinya sebenarnya udah jadi milyader seandainya nggak mengadakan resepsi besar-besaran, karena bagaimanapun juga, tabungan segitu worth it buat diikhlaskan demi mendapatkan istri kayak Iis.

Seperti halnya para penggila belanja pada umumnya, Iis yang semungil itu ternyata punya otot kaki ngalah-ngalahin atlet sepak bola. Jalan kaki sepanjang Madison Avenue, keluar masuk dari satu store ke store lain. Keliling Central Park. Lanjut foto-foto di Times Square—untungnya skill fotografi Gusti lumayan mumpuni biarpun cuma pakai mirrorless jadul yang jadi andalannya ke mana-mana sejak zaman kuliah dulu. Lalu lanjut kulineran sampai nyaris tengah malam, sesuai wishlist Iis—yang anehnya sanggup makan lebih banyak dibanding Gusti—sebelum akhirnya terpaksa kembali ke airport hotel.

Harusnya mereka berdua bisa menghemat akomodasi dengan numpang di apart Zane atau Bimo, bisa minta dianter ke mana-mana juga daripada ngabisin duit buat naik Yellow Taxi, tapi sayangnya itu kampret dua masih ketinggalan di Jakarta.

"Hmm, tidur lagi. Perasaan tidur mulu dari kemarin."

Iis merebahkan diri di kasur, selesai mandi.

Gusti hanya meliriknya sekilas sebelum gantian dirinya yang bersih diri.

Dan saat keluar setengah jam kemudian, ternyata istrinya itu masih berbaring di posisi yang sama. Masih melek lebar-lebar. Tanpa melakukan apa pun.

Gusti merebahkan kepala ke dadanya.

"Capek, Pak?" Iis nanya, dengan nada songong—tapi tangannya bergerak juga untuk mengelus-elus belakang kepala suaminya yang menguarkan bau shampo hotel.

"Hmm." Gusti menyahut tanpa menoleh, dalam hati nyumpah-nyumpah. Siapa juga yang bikin dia pegel!? Keliling kota kayak orang kalap, takut nggak sempet ke mana-mana karena cuma punya waktu dari sore sampai malam. Udah gitu masih harus menenteng belasan tas belanja kayak kacung nemenin nyonya.

"Ya maaf. Ada yang belum pernah ke New York soalnya." Iis meringis.

Tapi masih untung, istrinya itu nggak ngotot maksa ke Liberty, karena memang sudah kemalaman, meski Gusti sempat rada-rada kasian juga melihat wajah kecewanya tadi.

Iis nggak pernah liburan jauh selain rame-rame dengan keluarganya. Wajar sih kalau sekarang heboh dan norak banget.

Gusti lalu mengulurkan tangan untuk mencubit pipi sang istri.

Kesal tapi sayang adalah kombinasi yang sungguh membuat dirinya kalah telak.

"Belum ngantuk?" tanyanya kemudian.

Iis menggeleng. "Kenapa?"

Gusti mengangkat wajah. Menaik turunkan alis beberapa kali saat memandang sang istri, mendadak punya ide, membuat Iis ternganga karena langsung berpikiran negatif, tapi mau nolak juga kayak nggak tau diri, abis ngerampok dompetnya begitu.

"Bapak yakin mau ngelakuinnya di sini? Nggak mau ditahan sampe St. Lucia? Di sini nggak romantis, lho."

Gusti menimbang-nimbang sejenak, lalu menghela napas.

Bener juga, sih. Udah jauh-jauh dia merencanakan malam pertama di Jade Mountain, dibawah bintang-bintang sambil ngelihat laut dan puncak Piton di kejauhan. Masa nunda semalem lagi nggak sanggup? Malam pertama di airport hotel begini mana keren?

"Ya udah deh, tahan aja." Gusti menggumam dengan berat hati.

Iis ketawa lagi. Geli melihat tampang polos sekaligus mesum yang ditunjukkan sang suami padanya. Tapi ngeri juga membayangkan apa yang sedang mereka tunda-tunda dari kemarin kalau sampai akhirnya tiba saatnya untuk direalisasi.

Bukan ngeri konyol karena takut sakit atau malu setengah mati karena harus melakukannya dengan teman sendiri. Simply terrified kalau ternyata nggak sesuai ekspektasi aja. Apalagi mereka berdua nggak sempat ke sexolog juga, kan?

Duh, Iis jadi menyesal kenapa batal ke Mbak Zoya.

Padahal setidaknya, kalau nggak sempat datang langsung, atau nggak kebagian jadwal konsultasi, dia masih bisa mendengarkan podcast-nya selama gabut di pesawat tadi. Atau membaca-baca threads di berbagai portal khusus cewek.

Gusti lalu tiba-tiba menggulingkan tubuh mereka berdua hingga Iis jadi berada di atas perutnya.

"Kenapa mendadak jadi serius gitu mukanya." Gusti memandangnya lekat-lekat. "What are you thinking about?"

Iis mesem sembari menggeleng kecil. Lalu pasang muka jahil. "Btw, yang tadi itu bukan penolakan lho, Pak. Kalau mau sekarang ya ayok, mumpung mood lagi bagus."

Malah Gusti yang jadi ngeri. "Enggak. Fix besok malem aja."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top