31 | otw midnight flight

Pemenang voucher part sebelumnya: yul_nda 2k




31 | otw midnight flight



SELESAI brunch, Iis dan Gusti ikut-ikutan checkout, langsung pulang ke apartemen. Nggak jadi menikmati spa dan segala macam privileges dari wedding package mereka—sementara orang tua Gusti dan keluarganya yang lain diantar ke bandara oleh Haikal.

Tadinya, sebenarnya Mama Iis sudah menyuruh mereka berdua extend satu malam lagi—kalau bisa—daripada capek bolak-balik ke apartemen, biar koper untuk honeymoon mereka nanti diantarkan ke hotel oleh Pak Djani, supir Papa Iis.

Well, seperti seharusnya, Iis hanya bisa memutar bola mata.

Honeymoon suite yang mereka tempati memang available sih, kalau mau extend. Tapi kok ya manja amat! Orang sebelum tengah malam nanti mereka berdua sudah harus berada di Soetta—karena flight pertama ke DXB berangkat pukul 00.15. Lagipula, apartemen Iis cuma tiga kilo jaraknya dari Ritz Carlton gitu loh. Capek bolak-balik? Kayak anak sultan aja!

Dan begitu tiba di dalam unit apartemen mereka, lewat jam makan siang, Iis langsung ambruk di sofa—karena mau ambruk di kasur ngeri dibilang jorok, belum mandi langsung ngorok.

"Dan diriku pun ditinggal tidur lagi." Gusti ngedumel sambil mendorong koper besar Iis masuk ke ruang laundry. "Sumpah loh, aku baru tau kamu tukang molor."

Iis tertawa pendek tanpa membuka mata. "Tiga hari di rumah tuh aku nggak bisa tidur sama sekali tau, Gus. Rame banget kayak pasar."

Selesai menyeret koper, Gusti ganti menghampiri sang istri. Duduk di pinggiran sofa, di sisinya.

"Kalau gitu tidur yang bener. Abis ini we'll fly like hell. Jangan sampai sakit di jalan, malah nggak jadi liburan."

Iis memeluk lengan yang sedang menangkup pipinya itu.

"Aku tidur nggak pakai mandi, jangan dihina tapi ya."

Gusti hanya menggumam.

Iis lalu bangkit, menyeret diri ke kamarnya—hmm, ke kamar mereka berdua mulai hari ini. Tapiii ... kok kayaknya interiornya terlalu menyedihkan untuk ditempati suami-istri. Terlalu girlie.

Nevermind. Diurus nanti saja, pulang honeymoon. Pelan-pelan. Bertahap.

Iis menguap. Menjatuhkan diri di kasur setelah menarik lepas jilbab, outer, serta kaos kakinya. Melemparnya ke kursi rias.

Gusti menyusul masuk dan menyalakan AC untuknya.

"Aku nggak sejorok ini biasanya, sumpah deh. Ini minggu tercapek seumur hidup kayaknya." Wanita itu menggumam sambil merem, membuat Gusti cuma bisa geleng-geleng kepala karena heran pada kelakuannya.

"Kamu nggak mau tidur juga? Masih siang, nih. Bisa istirahat dulu sampai sore—sampai malem, malah." Iis bersuara lagi saat Gusti hendak keluar.

"Nggak ngantuk." Pria itu mengambil pakaian kotor istrinya dari kursi—well, kurang bucin gimana coba?

"Aku tidur ya, Gus."

"Hmm. Nanti aku bangunin."

Iis kemudian balik badan, membelakangi sang suami yang tak lama kemudian meninggalkan kamarnya. Menutup pintunya dari luar.

Sore-sore, sekitar jam empat, barulah pria itu masuk lagi untuk membangunkannya.

"Ashar dulu. Abis itu tidur lagi."

Iis yang masih setengah mengantuk auto trenyuh hatinya.

Kalau biasanya dia bablas karena nggak ada yang membangunkan tiap kali hibernasi pasca kerja rodi di project-project besar Relevent, mulai sekarang dia punya suami yang biarpun rada kampret, nggak pernah kelewatan menjalankan kewajiban lima waktunya.

Selain soal ibadah, Iis juga nggak perlu khawatir harus berurusan dengan cewek-cewek lain sebagai cobaan rumah tangganya kelak. Seumur-umur kenal Gusti, mantan temannya itu nggak per-nah dekat dengan cewek mana pun dalam konteks 'romansa'.

Gusti nggak pernah srek dijodohkan dengan siapa pun—dan sekarang Iis masih rada-rada shock, karena sejak dulu dia sering bertanya-tanya, seperti apakah tipe cewek yang disukai pria itu, dan ternyata tidak lain tidak bukan adalah dirinya sendiri.

"Kamu nggak tidur sama sekali?" Iis membuka suara. Membuka mata juga. Dan lalu menemukan suaminya sudah duduk di sisinya. Mengenakan kaos dan celana pendek. Wangi Versace Eros, seperti semalam, membuat indera penciuman Iis sedikit tergelitik.

Gusti mesem. "Nanti aja di pesawat. Kalau sekarang udah tidur duluan, nanti bingung mau ngapain."

Iis manyun karena masih mengantuk, tidak kuasa menahan diri untuk tidak menguap lagi.

"Aku tau, biar kamu cepet melek harus gimana." Gusti tiba-tiba ngide.

"Gimana em—?" Dan sebelum Iis sempat menutup mulut, bibirnya sudah terpagut oleh bibir suaminya.

Iis tertawa dalam hati. Antara senang dan geli karena dimodusin suami sendiri.

And she thought she loved the way he pleased her already.

Lagian udah halal ini. Ngapain juga ditolak?

Iis menyesap rasa mint dari breath freshener Gusti, yang menunjukkan bahwa suaminya itu sudah selesai mandi, gosok gigi, pakai obat kumur. Membuatnya mendadak jadi merasa bersalah karena dia sendiri terakhir kali gosok gigi tadi siang selesai brunch.

"You win. I'm awake." Iis mendorong dada suaminya menjauh.

Gusti tersenyum geli, kemudian membantu menarik lengannya sampai duduk.

"Selain jasa ngebangunin, aku buka jasa mandiin juga lho, Is."

"Thanks, Gus. Aku masih hidup. Masih bisa mandi sendiri."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top