29 | malam ini gak diitung
Pemenang voucher Karyakarsa: ripgianti dan yul_nda masing-masing 3,5k
29 | malam ini gak diitung
KALAU akad tadi siang cenderung kacau balau dan sebentar-sebentar bikin jantung Gusti nyaris copot saking nervous, resepsi pada malam harinya terhitung lancar.
Alih-alih merasa jadi wayang yang sedang dipertontonkan di atas pelaminan, akhirnya dia bisa lebih merasakan sensasi jadi 'tuan rumah' berkat pembawaan Mail sebagai MC yang super santuy. Bahkan saking santuynya, Gusti dan Iis masih sempat ngemil canape sepanjang malam sambil ngegosipin para tamu yang semua tindak-tanduknya terlihat jelas dari atas pelaminan. Seperti menghitung polling untuk Tim Zane atau Tim Jerry. Menduga-duga apakah Sabrina atau Karen yang akan menyusul mereka lebih dulu. Atau bertukar asumsi, sejak kapan Bimo dan Rachel pacaran.
Jujur, Gusti merasa puas melihat semua orang yang hadir tampak senang, biarpun harus bayar mahal. Terutama melihat wanita yang sedari tadi berada di sisinya tidak henti-hentinya mengembangkan senyuman lebar. Tabungan seumur hidup yang mendadak ludes seperti tidak ada apa-apanya dibanding status baru yang kini dia sandang. Suami, man! Finally!
"Senyam-senyum mulu si Agus." Iis menegurnya beberapa jam kemudian, setelah butler mereka meninggalkan suite sehabis membereskan bekas in-room dinner di honeymoon suite-karena sesantuy-santuynya resepsi tetap nggak membuat mereka jadi punya waktu untuk makan berat di venue tadi.
Gusti mengacak-acak gemas rambut istri yang duduk di sofa di sebelahnya. Ngeles. "Makanannya enak, soalnya. Udah lupa kapan terakhir kali bisa nafsu makan begini."
Iis mendengus pelan sambil menahan tawa. Mengulas pandangan ke seluruh penjuru kamar yang super rapi dan wangi, tidak seperti saat ditinggalkannya setelah selesai makeup tadi sore.
Sekarang benar-benar seperti honeymoon suite-biarpun nggak ada kelopak bunga bertebaran di kasur atau dekorasi sok romantis lain. Mungkin hanya karena penerangannya yang diatur jadi agak redup setelah makan tadi. Atau bahkan hanya perasaannya saja. Berduaan dengan Gusti, setelah rangkaian acara seharian tadi, entah bagaimana membuat ambience suite-nya auto jadi honeymoon vibes.
Setelah ngobrol beberapa saat dan merasa telah memberi jeda yang cukup pasca makan malam, Gusti lalu bangkit dan bersiap-siap untuk pergi mandi. Mengambil piyama tidur yang sudah disiapkan di lemari.
Tadinya dia sudah membayangkan bakal mengekspos tubuhnya sepanjang malam, minimal topless, biar lebih kerasa intimate. Tapi karena Iis sudah memberi tahu bahwa piyamanya ada di lemari-yang berarti imajinasinya nggak ada harapan untuk jadi nyata-dia nggak ada pilihan lain selain ngikut saja pada skenario sang istri.
"Nggak, Gus. Thanks." Iis lagi-lagi mendahuluinya saat tidak lama kemudian dia berdiri di hadapan sang wanita, menaik-turunkan alis, bertanya tanpa suara. "Mandi sendiri-sendiri."
"Dih!" Gusti nyengir karena guyonannya ditolak mentah-mentah. "Siapa juga yang mau ngajakin mandi bareng? Orang aku cuma mau nanya, mau kamu atau aku duluan yang mandi."
"Kamu." Iis sekali lagi menjawab cepat. Kemudian berlalu ke wardrobe, sok sibuk memeriksa isi tas skincare.
Gusti menghela napas. Tanpa sadar mengulas senyum lagi.
Well, biarpun judulnya udah married, tampaknya nanti dia masih harus berurusan dengan istri yang malu-malu kucing. Tapi itu justru membuatnya jadi makin bersemangat, karena ternyata Iis nggak akan mempermudah dirinya mendapatkan apa yang diinginkan.
Gusti lalu mandi dengan cepat.
Tidak sampai setengah jam kemudian dia sudah rebahan di kasur, menunggu sang istri tercinta.
"Kalau nanti aku kelamaan, tidur duluan aja, ya." Iis berujar sebelum masuk ke kamar mandi.
"Nggak, lah." Gusti menggeleng. "Aku tungguin. Take your time. Mau berendam juga silakan. Pasti kaki pegel semua abis berdiri berjam-jam pakai heels gitu."
Dan sejam kemudian barulah Iis keluar dari kamar mandi dalam balutan kimono satin pendek warna putih tulang, couple dengan piyama yang saat ini Gusti kenakan, yang-lagi-lagi-tanpa sadar membuat sang pria menelan ludah.
Panjang kimono itu hanya sebatas ujung jari istrinya, hanya setengah paha, tampak berkibar-kibar saat wanita itu berjalan. Bagian lehernya berpotongan rendah. Tidak cukup rendah untuk memberi insight bagaimana rupa yang tersembunyi di baliknya, tapi sudah cukup membuat Gusti merasa pening. Overdosed.
Nggak pernah melihat Iis tampil seksi, sekalinya dikasih lihat kimono, yang sebenarnya B aja, cenderung terlalu sopan untuk wedding night, ternyata damage-nya luar biasa.
She was already sexy in her own way. Nggak perlu nunggu pakai lingerie, Gusti udah klepek-klepek duluan.
"Apa sih Gus!" Iis salah tingkah. Malu dipelototin begitu, biarpun tadi saat bercermin di toilet, dia sudah yakin penampilannya cukup appropriate.
"Cakep, Is. Nggak boleh ngelihatin istri sendiri?"
Iis tidak menyahut. Beringsut ke atas kasur, ke sebelah suaminya. Menarik selimut sampai menutupi bahu.
"Official nih, kita. Akhirnya." Gusti menggumam. Memandang sang istri lembut.
Muka Iis merah padam. "Duh, mati gaya gue sekarang, sumpah."
Gusti menaikkan sebelah alis. "Tadi aku kamu, sekarang balik gue elo lagi."
"Eh, sorry, sorry. Masih rada belum terbiasa ini mulut." Iis langsung merasa tidak enak hati. Terutama karena mendadak berbaring sekasur bersama Gusti jadi terasa aneh. Padahal sebelumnya mereka sudah pernah melakukannya-berpelukan di tempat tidur-saat Gusti sakit dua minggu lalu. Tapi tetap saja rasanya berbeda karena batas yang harus mereka jaga waktu itu sudah tidak ada lagi sekarang. Dan ternyata ijab kabul tidak serta merta membuatnya awkward-nya hilang. "Malem ini kita nggak ada mau ngapa-ngapain, kan?" tanyanya kemudian, agak ragu.
Gusti tertawa melihat wajah cemas sang istri. "Enggak, Iiiis. Sini, deh."
"Ngapain?"
"Sini ke pelukan Abang."
"Geli!"
"Lah? Udah sering peluk-pelukan, juga."
"Tapi kan nggak di atas kasur."
Tapi tetap saja Iis pasrah saat Gusti mengulurkan lengan untuk memeluk. Menjadikan satu lengan Gusti sebagai bantal untuk kepalanya, sementara lengan yang lain merengkuh punggungnya erat.
"What?" Gusti bertanya saat beberapa lama kemudian Iis masih belum tampak tenang, setelah dia sudah berusaha keras jadi suami super sopan malam ini.
"You smell different." Iis menggumam tak yakin. Menghirup napas dalam-dalam.
Gusti tersenyum kecil. "Yang ini katanya paling recommended buat malam pertama. Does it work?"
Iis mencebikkan bibir dengan tampang memelas, berharap tidak digoda lagi sampai besok pagi. "Nope."
Gusti mesem lagi karena tahu betul istrinya lagi denial, merengkuh punggungnya lebih erat, kemudian perlahan memagut bibirnya.
Lembut. Sembari menunggu respon sang istri, lalu berangsur-angsur lebih dalam dan intens. Dalam hati mengagumi rasanya ciuman halal pertama. Hangat dan tanpa beban.
"Capek, Gus." Iis menjauhkan diri lebih dulu sambil mengatur napas. Wanita itu memandangnya dengan wajah merasa bersalah. "Jangan malem ini ya, apa pun itu yang lagi kamu rencanain."
Gusti tersenyum maklum, mengecup dahi istrinya dengan sayang.
"Good night, Is. Nggak ada agenda apa pun kok, malem ini. Cuma pengen nemenin istriku tidur nyenyak setelah diforsir tenanganya beberapa hari belakangan."
Iis menenggelamkan wajah di dadanya, menghirup wangi yang mulai malam ini jadi wangi favoritnya. "Selamat malam pertama, Gus."
Gusti mendesah pelan. "Nggak diitung ini mah."
... to be contnued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top