21 | jangan terlalu berharap, gus!
Cek pesan:
ripgianti, thmyra008 masing-masing dapet voucher 2k;
YulianaSari968, aishaNurull, ciVelan22 1,5k.
21 | jangan terlalu berharap, gus!
SEPERTI yang sudah diduga, Iis diam seribu bahasa, bahkan sampai setibanya mereka berdua di apartemen, sekitar jam delapan malam.
Gusti nggak berani ngajak ngobrol duluan, ngeri kena sembur.
Yeah, well, Iis nggak pernah nyembur, sih. Mentok-mentok cemberut doang, dan kalau mau main fisik, palingan nyubit. Kebetulan cubitannya memang rada sakit, but it's okay.
Tapi ada baiknya Gusti berjaga-jaga. Siapa tau Iis tercinta lagi kena sindrom bridezilla.
Kata emak-emak di kantor, biasanya cewek kalau mau married, makin dekat harinya, makin nggak stabil emosinya. Makin nggak yakin, makin overthinking, makin sensitif. Dan kemungkinan terburuknya, bisa membatalkan acara di detik-detik terakhir. Gusti belum pernah melihat yang seekstrem itu, tapi katanya udah banyak kasusnya.
Akhirnya dia melipir ke dapur untuk mengambil minum, sambil mengecek HP, sementara Iis langsung bersiap-siap mandi, bahkan tanpa menanyainya mau mandi duluan apa enggak.
Ada banyak pesan masuk, karena sedari di bioskop tadi, Gusti memang mengatur ponselnya menjadi silent mode.
Yang teratas dari Ehsan.
Setelah membacanya, Gusti berdehem. Melirik Iis yang sedang membongkar tas laundry untuk mengambil handuk bersih. Berhubung nggak mungkin nyuci sendiri akhir-akhir ini, Iis memang jadi rutin menggunakan jasa binatu di apartemen.
"Sayang." Gusti memanggil sang wanita dengan suara selembut sutra. "Malem ini mau ngumpul sama anak-anak, nggak? Mereka ngajakin meet up."
Iis menoleh. Menghentikan sejenak aktivitasnya membongkar tumpukan pakaian bersih mereka biar nggak acak-acakan saat dia mengambil barang yang dibutuhkan, lalu membuang napas pelan.
"Malem ini banget?"
Akhirnya wanita itu menyahut pertanyaannya.
Gusti manggut-manggut. Bersiul dalam hati, merasa mendapat signal positif. "Iya. Besok-besok udah nggak mungkin sempet lagi, kan? Udah dua bulan lebih juga gue nggak bisa mulu tiap diajak ngumpul. Elo malah ... udah berapa lama nggak ketemu mereka?"
Iis hanya mengangkat bahu hingga Gusti berjalan menghampiri di sofa ruang tamu.
"Skip, deh. Kalau lo mau pergi, pergi aja. Pegel kaki gue. Males jalan keluar lagi."
Belum sempat Gusti menyahut, Iis sudah berlalu. Masuk ke kamar mandi dengan setumpuk pakaian bersih.
Gusti mengangguk-angguk maklum.
Pertama, nggak salah Iis bilang capek. Muter-muter mall pakai heels begitu, siapa juga yang nggak pegel? Kedua, sudah jelas pertemuan dengan Catwoman tadi membuat mood-nya jelek, biarpun kalau mau jujur, Gusti nggak bisa menyalahkan temannya juga—karena siapa pun pasti bisa melihat Iis memang seimut itu, kayak anak SMP. Yang ketiga, sayangnya cowok-cowok di circle mereka ke Iis itu cuma sayang sepihak, Iis mah dari dulu kesel sama mereka gara-gara sering digangguin.
Gusti akhirnya duduk-duduk dulu di ruang tamu untuk mengistirahatkan kakinya yang ternyata pegel juga, sekaligus merasa rada kurang pantas kalau main pergi begitu saja saat Iis lagi ngambek di kamar mandi.
Lima belas menit kemudian, Iis keluar.
Gusti menelan ludah.
"Nggak jadi berangkat? Keburu malem, loh."
Gusti tidak menjawab. Memperhatikan Iis berjalan ke pojok tempat mesin cuci berada untuk melempar pakaian kotornya ke keranjang laundry, lalu kembali ke ruang tamu sambil menepuk-nepuk rambutnya yang basah dengan handuk.
Wanita itu seperti biasa, berpakaian santai mengenakan kaos lengan pendek dan celana ... pendek.
Gusti sampai lupa mau menjawab pertanyaannya saking nggak pernah melihat Iis mengekspos kaki begitu. Paling pol selama ini hanya pernah melihatnya pakai bathrobe yang sepanjang setengah betis, bukan setengah paha—biarpun itu paha paling-paling panjangnya juga cuma sejengkal.
Well. Itu wanita yang akan dinikahinya minggu depan.
Mungil, menggemaskan, kayak kelinci.
Gusti memperhatikan Iis mengambil kotak obat dari salah satu kabinet dapur, duduk di sofa di sebelahnya, menyalakan televisi, membalut rambut dengan handuk, dan mulai membongkar-bongkar kotak yang ada di pangkuan.
Kemudian Iis mulai mengoleskan Counterpain ke lutut dan betisnya, membuat bau khasnya menguar ke seluruh ruangan.
Gusti meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Mau dipijitin, nggak?" Pria itu menawarkan diri.
"Nggak perlu repot-repot. Gue bisa sendiri." Iis menolak mentah-mentah.
Tapi Gusti ngeyel. "Serius. Sini gue pijitin. Gini-gini tuh, gue ini family man banget orangnya. Nggak bisa lihat keluarga—atau calon keluarga—gue menderita sendirian."
Iis mengembuskan satu napas panjang. Akhirnya membiarkan Gusti menarik kakinya ke pangkuan dan mulai memijat.
Lumayan. Berhubung Iis memang demen dipijat, jadi sebentar saja dia sudah mulai merasa rileks.
"Gue sambil merem ya, Gus. Kalau jadi pergi, langsung aja. Nggak usah bangunin."
Gusti hanya menggumam, memutuskan untuk memijit calon istrinya itu sampai ketiduran, baru pergi mandi.
Tapi, sebelum berangkat hampir kemudian, saat lewat di depan Iis, dia ragu lagi.
Mendadak jadi malas keluar.
Alih-alih beranjak ke pintu, dia malah duduk di pinggir sofa.
Memperhatikan wanita kesayangannya itu sejenak sebelum berniat menggendongnya ke kamar.
Yeah, kayak film-film bocah banget kan, adegan gendong-menggendong ini? Gusti setuju, apalagi kalau membayangkan Jerry atau Zane atau Bimo yang harus menggendong King Kong macam Sabrina, yang tingginya sebelas-dua belas sama cowok-cowok itu. Tapi berhubung yang harus dia gendong sekecil Iis, yang kayaknya cuma dua pertiga berat Sabrina—terutama karena wanita itu jadi agak kurusan juga selama proses persiapan pernikahan mereka—jadi Gusti sih santuy-santuy saja kalau pun harus menggendongnya bolak-balik ruang tamu-kamar setiap hari.
"Nggak jadi pergi?" Iis mengerjapkan mata, sadar ada yang duduk disebelahnya.
"Nggak, deh. Lupa, besok udah Senin aja. Gawat kalau kebablasan nongkrong sampe pagi."
Iis mesem sambil merem. Mengulurkan tangan untuk memeluk pinggangnya.
"Makasih udah dipijit ya, Gus. Mau peluk lo lima menit, sebelum gue masuk kamar."
Dipeluk begitu, Gusti malah memposisikan diri rebahan di sebelahnya, dalam hati berharap Iis kebablasan tidur sampai pagi.
... to be continued
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top