2 | celebrity sexolog?

Jadwal post kuganti jadi Senin dan Kamis.

mamakgalak27Emilia02MiniSajachocolatechezicutiicutgiftme5, & dandelionbee, yang udah komen di part sebelumnya, check pesan ya. Thank you for being a kind reader. ❤️




2 | celebrity sexolog?



"GUS, kita bikin janji ketemu Mbak Zoya kapan?"

Iis baru selesai mandi. Memanggil Gusti yang sedang bermeditasi di lantai, untuk menurunkan tekanan darahnya yang melonjak drastis setelah kehilangan banyak duit pasca membayar DP venue, bayar cetak undangan, DP souvenir, DP jahit kebaya dan beskap pengantin, DP ber-roll-roll batik untuk keluarga besar mereka—belum lagi beli kain seragam untuk para bridesmaid dan groomsman. Oh, shit. Cincin kawin yang udah di-keep sama Iis belum dia bayar pula, keburu diambil orang lain nggak tuh?!

"Guuus!" Iis memanggil lagi, sambil mendudukkan pantat di sofa. Mencolokkan hair dryer dan mulai mengeringkan rambut.

"Iya, Sayang?" Gusti akhirnya membuka mata, pasang senyum legowo untuk dirinya sendiri.

Nyenengin calon istri, harusnya dia dapet ganjaran surga juga, kan, ya?

Pria itu lalu menoleh, mencari-cari keberadaan sang wanita.

Mendadak jadi merasa semriwing saat melihat calon istrinya itu sudah duduk di sofa. Cuma pakai bathrobe.

Seumur hidup kenal Iis, cewek itu nggak pernah lepas jilbab, bahkan saat mantai sekalipun, di saat kawan cewek-cewek mereka yang lain pada pakai bikini buat renang atau sekadar sunbathing. Kemarin-kemarin saja, waktu pertama kali melihat wanita itu tidak berjilbab di dalam rumah, jantungnya sudah dibuat kocar-kacir, apalagi harus melihatnya berpenampilan inappropriate begini.

Cakep banget sih, asli. Mana itu rambut alus banget kayak rambut bayi waktu nggak sengaja kesenggol. Berasa harus sujud syukur tiap hari karena yang sebening ini nggak dilirik duluan sama si bangsat Zane atau Bimo. Juga bersyukur karena kemarin mendadak semesta memberinya ide brilian untuk mengambil alih sang wanita dari dekapan mantan.

Tapi di sisi lain, rada merasa berdosa juga sih, karena memang belum halal ngelihatnya. Plus khawatir, berhubung sekarang Gusti sudah mulai ada rasa, gimana kalau sampai akhir dirinya tetap gagal membuat Iis balik menyukainya yang serba limit ini? Kan nggak lucu kalau selamanya Iis tetap merasa terpaksa menikah, karena nggak ada calon lain sampai umur dua sembilan gini. Khawatir juga nantinya dia akan bisa membahagiakan anak orang ini apa enggak, mengingat proses mereka menuju pernikahan bisa dibilang super kilat. Nggak banyak persiapan, dilihat dari segala aspek.

"Kapan maunya?" Iis mengulang pertanyaannya.

Gusti berdiri, mengambil botol minum yang tadi dia geletakkan di lantai. Lalu menghampiri tempat duduk lawan bicaranya.

"Mbak Zoya yang kita omongin ini, siapa?"

"Sexolog yang kemarin gue bilang itu lho. Yang di podcast Bridestory."

Bridestory? Sexolog? Alis Gusti bertaut. Otaknya auto mengingat-ingat kembali sisa digit di rekening, karena kedua kombinasi kata barusan agak ngeri untuk dibayangkan tagihannya.

"Buat apa kita ke sexolog?"

"Premarital counseling, lah." Lagi-lagi, Iis menyahut seolah pertanyaan Gusti nggak perlu dijawab.

"Iya, buat apa? Kan kemarin udah premarital check-up. Hasilnya juga udah keluar. Kita berdua sehat wal afiat—siap untuk beranak pinak."

Iis memutar bola mata. "Ya menurut ngana buat apa? Kita ini nggak pacaran, langsung mau nikah lho. Sampai dua bulan lalu, lo cuma temen biasa buat gue. Nggak ada sedikit pun terlintas di otak bakal nikah kayak gini. Ya kali, gue dengan naturalnya bisa langsung nyaman berbagi ranjang, padahal kita ciuman aja kagak pernah."

Gusti terdiam sejenak. Mencerna.

Btw, soal mereka nggak pernah ciuman, itu valid, sih. Gusti juga nggak pernah kepikiran ke situ, karena semuanya berjalan terlalu cepat belakangan. Lagian ini tuh Iis gitu loooh. Ya kali Gusti mau nyium-nyium temen sendiri! "Gue nggak akan maksa lo buat langsung having sex di malam pertama kali—kecuali emang sama-sama pengen. Gue nggak nikahin lo cuma buat tujuan itu."

"I know. Tapi tetep aja. Emang lo nggak aneh, bayangin mulai dua bulan ke depan, kita tinggal seatap dan sekasur?"

"Enggak tuh. Dua bulan ini kan udah latihan, tiap weekend gue satronin apart lo mulu."

"Have you ever imagined we would do more than that? Bukan sekadar ngobrol dan makan bareng kayak biasanya?"

"Ya iya, lah. Kita udah mau kepala tiga. Nggak perlu malu-malu tai, kali."

"Dan lo B aja?"

"Emang harusnya gimana? Elo lumayan cakep, kok. Nggak susah buat ngebayangin bakal ngapa-ngapain lo ke depannya. Gue ngajak nikah juga bukan karena se-desperate itu, masih jomblo di saat yang lain udah pada gendong bayi. Gue tau apa itu married, dan apa yang akan suami-istri jalani seumur hidup."

"Tapi gue nerima elo karena emang se-desperate itu, sih. You already know my history, lah."

Kontan Gusti melotot, walau sejak awal Iis nggak berniat menutup-nutupi alasan kampret tersebut. Bahwa dia menerima tawaran Gusti untuk menikah sebagai last choice, setelah digantung enam tahun lebih oleh pasangan yang terdahulu.

"Oh, jadi dari tadi masalahnya di gue? Karena gue cuma ban serep lo, jadinya susah buat lo bisa natural aja hidup sama gue sebagai suami istri? Emang gue seburik itu? Astagaaa, gue ama Chicco Jerikho juga beda tipis tampangnya! Atau bukan tampang gue yang lo raguin? Oke, gue emang masih perjaka, nggak punya pengalaman kayak mantan lo yang baji—"

"Apaan sih, Gus!" Iis menggetok kepala calon suaminya pakai hair dryer yang baru saja dia matikan.

Gusti mengaduh sekilas. "Mau dicek sekarang? Biar nggak berasa beli kucing dalam karung?"

"Apanya yang mau dicek?"

"Senjata biologis gue."

"Hahaha, funny." Iis speechless.

Kemarin memang dia lagi galau-galaunya saat Gusti tiba-tiba datang dan nyeletuk soal tawaran untuk menikah.

Saat itu, entah bagaimana Iis merasa seolah-olah sedang diberkati secercah cahaya dari langit. Tapi sekarang jelas sudah padam.

Kayaknya, nikah sama Gusti justru jaminan ambyar marriage dream zaman ABG-nya. Nggak ada harapan.

"Jadi, conclusion-nya gimana, Mas Gusti Prawirodiprodjo?"

Gusti berdehem, sok berwibawa.

"Mbak Zoya kayaknya mehong, ya kan? Sampai bisa masuk ke podcast Bridestory gitu. Gimana kalau kita omongin berdua aja dulu? Kalau nggak nemu jalan tengah, baru ke sexolog, tapi jangan celebrity sexolog juga."

Iis mengibaskan rambutnya yang sudah kering, lalu bangkit berdiri. Lanjut menggerutu sambil berjalan masuk kamar.

"Hmm. Kirain setelah dapet promosi kemarin, lo bakal sedikit lebih royal. Ternyata sama aja. Padahal ini buat kebutuhan bersama. Gimana nanti kalau gue udah jadi istri dan minta yang aneh-aneh buat kebutuhan pribadi? Kayaknya lo cuma bakal bilang, 'gaji lo kan lebih gede dari gue!'"

"Nyenyenyenye." Gusti menirukan gerak bibir wanita itu. Tersenyum tipis, karena memang tingkah temannya—eh, tunangannya—semenggemaskan itu. "Nanti kalau udah sah, surga juga gue kasih!" 



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top