15 | sekali seumur hidup sebelum married




15 | sekali seumur hidup sebelum married



BESOKNYA, setelah pagi-pagi menurunkan Iis di depan Relevent seperti biasa, seharian Gusti sama sekali nggak ada kabar.

Memang sih, mereka nggak ada agenda apa pun untuk persiapan pernikahan. Hanya siangnya tadi Iis harus ke Ritz Carlton bersama Mama dan delapan orang—tante dan teman-teman dekat sang Mama—untuk food testing.

Tapi karena sudah kebiasaan tiap hari ketemu, atau minimal dikabari jika pria itu sedang tidak bisa mampir ke apartemennya sepulang kerja, Iis jadi khawatir juga.

Dia sampai menghubungi Sabrina.

Iis paham sih, Gusti dan Sabrina belum tentu ketemu di kantor biarpun katanya masih satu tower. But she just can't help it.

"Waduh, gue sih nggak lihat sama sekali tadi. Siang juga doi nggak nimbrung buat makan bareng. Bentar ... gue coba tanya yang lain dulu ya, Mbak."

Dan tidak sampai setengah jam kemudian, Sabrina mengabari bahwa tadi siang Gusti dilarikan ke rumah sakit.

Iis langsung ganti baju dan memakai jilbab secepat kilat.

Tapi tepat sebelum dia turun ke lobby apartemennya, untuk kemudian menuju rumah sakit yang dimaksud, calon suaminya itu akhirnya menelepon.

Gusti ada di Setiabudi. Di apartemen Zane. Dan mengatakan kalau dirinya nggak perlu dikhawatirkan. Semuanya aman terkendali.

"Kasih tau ID lo, biar minimal kalau nggak bisa ngangkat telepon, gue masih bisa nge-track iPhone lo di mana."

Iis langsung cemberut sewaktu Gusti turun menjemputnya di lobby Setiabudi Sky Garden.

Thank God, pria itu tampak tidak sesakit yang ada di bayangan Iis, meski tetap saja pucat dan lusuh dengan kemeja kantor kusut: bagian depannya mencuat keluar dari sabuk, serta dua kancing teratas tidak dikaitkan.

Gusti tersenyum masam. Menoleh sekeliling. "Mau peluk tapi rame."

Iis mencubit pinggangnya, membuat Gusti mengaduh. Tapi kemudian wanita itu duluan merangkulnya sambil mereka berjalan ke lift.

"Jauh-jauh ke sini nengokin orang sakit, nggak bawa makanan gitu?" Gusti berbisik saat keduanya sudah berada di dalam elevator dan sedang bergerak naik. Waspada bahwa mereka tidak sedang berduaan, jangan sampai volume obrolannya mengganggu yang lain.

Iis mendongak, menatap sang pria dengan wajah kesal. "Lo berharap gue masih inget beli makan begitu tau lo sakit setelah seharian nggak bisa dihubungi?"

Gusti tidak menyahut lagi sampai mereka tiba di lantai unit yang dituju.

Gampang, lah. Nanti mereka masih bisa delivery—biarpun sekarang dia sudah merasa kelaparan karena asupan makan siangnya sudah dikeluarkan semua dari lambung.

Dan selesai makan sejam kemudian, pria itu langsung beringsut kembali ke kasur.

Iis berjalan mengikutinya.

"Katanya sebelum married, harus pernah ngerasain ngerawat pacar sakit, setidaknya sekali." Gusti menggumam sambil menarik selimut sampai bahu.

"Nggak di minggu-minggu menjelang acara juga kali, Gus, sakitnya." Iis masih cemberut, tapi agak lega, terutama setelah tadi melihat Gusti masih lahap makannya, serta mulai sekarang dirinya bisa melacak keberadaan ponsel sang pria.

"Peluk, kek. Ngomel mulu." Gusti ikut ngedumel. "Sabrina yang bangsat gitu aja perhatian banget ke pacar-pacarnya kalau mereka lagi sakit. Udah kayak ibu koala ke anak-anaknya, nggak bisa jauh sedikit pun."

Iis bergeming di sisi tempat tidur. Mendengus pelan. Ingin balas menyulut, tapi urung.

"Peluk, Iiiis." Gusti mengulangi permintaannya. Lebih manja dan lebih nyebelin.

"Nggak mau, nanti gue ketularan." Iis masih bergeming.

"Gue cuma keracunan makanan, bukan lagi flu."

Benar juga.

Akhirnya Iis beringsut mendekat, terpaksa membiarkan dirinya dipeluk erat.

"Terus apa bedanya kita sama Zane kalau kayak begini, peluk-pelukan di kasur, belum halal juga?"

"Beda, lah. Kita udah jelas dua minggu lagi mau married, Zane boro-boro. Lagian lo nggak tau aja, Zane kalau berduaan ama Sabrina dulu gimana nggak senonohnya. Masa ya, pas gue sama anak-anak yang lain tiba-tiba inspeksi ke sini malem-malem, tuh cewek tiba-tiba keluar kamar nggak pake—"

"Diem atau gue tinggal pulang?"

Gusti langsung mingkem. "Jangan. Di sini aja. Oke, gue diem."

Dan setelah Iis nggak lagi bersuara, setelah ruangan jadi hening cukup lama, Gusti buka mulut lagi.

"Nginep sini aja ya malem ini. Jangan pulang. Lo bisa tidur di kamar Sabrina."

"Orangnya udah nggak ada, masih aja disebut kamar Sabrina." Iis heran karena bahkan Gusti pun ikut-ikutan belum move on, padahal bukan dia yang pacaran.

"Ya gimana, di lemari isinya masih sempak Sabrina."

Iis akhirnya ketawa. Paham.

Dirinya kalau sampai masih nyimpen sempak mantan bertahun-tahun—which is nggak mungkin karena pacarnya yang terdahulu nggak ada yang pernah nginep di apartemennya—mungkin juga bakal gagal move on.

"Fosil sempak Sabrina," ujar wanita itu akhirnya, mengoreksi.



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top