13 | after office hours




13 | after office hours



"DIH, ujung-ujungnya pake Mauka juga." Sabrina langsung mencibir begitu undangan dari Gusti sudah sampai di tangan, memandang sekilas ke logo percetakan yang tercantum di sana.

Temannya itu tahu drama undangan yang sempat terjadi. Gusti lupa, mungkin dia sendiri yang keceplosan cerita soal design buatan Iis yang luar biasa bikin sakit mata.

Eh, enggak, ding. Sabrina nggak sengaja melihat sendiri design itu di laptop Gusti beberapa minggu lalu, saat sang wanita bertandang ke ruangannya.

Tenang, Gusti nggak pernah menjelek-jelekkan pasangan di belakang kok. Ngetawain juga nggak pernah. Kalau ngomongin temen, sering.

"Percetakan bagus ya, ini?" Jerry yang duduk di sebelah pacarnya, yang nggak ngerti apa-apa soal printilan nikahan, bertanya.

Sekarang jam sembilan malam, dan mereka bertiga sedang duduk-duduk di Starbucks di ground floor gedung kantor mereka.

Enggak janjian, sih.

Kebetulan tadi pas turun dan mau mampir beli kopi, Gusti nggak sengaja melihat Sabrina.

Sabrina sendiri tadi sedang menunggu Jerry yang baru banget turun. Setahu Gusti, mereka berdua memang saling tebeng menebeng kalau kerja, gantian tiap ganjil-genap.

"Hmm ...." Sabrina mengangguk. "Biasanya buat klien-klien VIP, kita saranin ke situ."

Jerry lalu berdecak-decak, memandang Gusti dengan tatapan mencela yang dibuat-buat. "Udah gitu, gue sama Sabrina pake dikasih sendiri-sendiri, lagi—yang katanya mau ngirit budget. Jerry Arnawama Martohusodo and guest gitu kan bisa. Atau gue yang jadi buntutnya Sabrina juga nggak pa-pa."

"Lo kan emang buntutnya Sabrina!" Gusti mendengus pelan, kemudian mencecap cold brewnya, menyandarkan punggung ke kursi, menoleh ke luar lewat dinding kaca di sebelahnya. Menunggu Iis muncul.

Jerry nggak tersinggung. Cowok itu malah menggeser-geser kursinya biar makin dekat dengan sang pacar. Merentangkan lengan ke sandaran kursi Sabrina. Sesekali menciumi pelipis cewek yang sedang sibuk membaca-baca undangan itu—kayak dunia cuma milik berdua.

"Akadnya pagi banget." Sabrina menggumam lagi.

"Udah mau jam makan siang itu. Pagi dari mana?" Gusti nggak terima.

"Pagi ini Gus, kalo weekend—eh ada brunch-nya?"

"Khusus keluarga doang, tadinya, tapi gue yakin kalian bakal ngisruh kalau nggak dikasih tau."

Lalu pandangan Sabrina turun ke lokasi resepsi, dan mulutnya langsung ternganga.

"Ritz Carlton banget? Nggak bosen lo, setelah spending delapan puluh jam per minggu di sekitaran PP terus?"

"Ya gimanaaa ... tanggalnya baru keluar dua bulan lalu. Untung masih dapet venue. Itu juga sebenarnya venue buat klien Iis yang—untungnya—tanggal acaranya postponed."

"Gak jadi beli apartemen dong." Jerry memandang teman seperjuangannya itu dengan berduka cita, yang lagi-lagi bikin Gusti pengen menendang kepalanya.

Sabrina menyikut lengan pria di sebelahnya. "Bukan apart, Yang. Mau beli Alphard dia."

Gusti mendengus biar nggak makin panjang sesi olok-olokannya. "Udahlah. Nanti ada saatnya lo tekor gara-gara Sabrina juga."

"Oh, santuy, Sabrina mah nggak mau resepsi—foya-foya ngabisin duit setara harga beli satu unit apartemen di SCBD gitu, cuma buat ngundang ribuan orang yang bahkan nggak dikenal-kenal banget. Kita sih yang penting sah aja, tapi honeymoon yang jauh, yang lama."

"Ck. Mau aja lo Sab, diajak ngirit ama Jerry."

Tapi Sabrina nggak berniat menyahut. Memasukkan kembali beberapa lembar kertas yang tadi dia baca-baca itu ke amplopnya, kemudian menyelipkannya ke dalam tas.

"Staycation nih kita?" Jerry menoleh ke pacarnya lagi. Balik ke topik venue pernikahan Gusti. "Sekali-kali ke PP bukan buat kerja."

Sabrina mikir-mikir.

"Please jangan pelit gitu, Sab." Gusti menyambar, sebelum Sabrina menyahut 'Males, ah.' "Nanti lo married di Surabaya, nggak gue samper, loh! Lebih banyak gue padahal, ntar keluar buat akomodasinya!"

"Hmm. Emang siapa bilang gue nikahnya bakal di Surabaya?"

Jerry ketawa-ketiwi melihat ekspresi datar Sabrina ke Gusti. "Btw, jangan lama-lama lo cuti honeymoon-nya. Nanti balik-balik kantor, gue udah jadi VP lo aja!"

"Nggak usah mimpi!"

Dan kemudian mereka lanjut mengobrolkan gosip-gosip kantor, sampai Okinawa brown-sugar latte Sabrina habis.

"Balik sekarang?" Jerry merangkul pundaknya.

"Tungguin, lah!" Gusti cepat-cepat mencegah.

"Elo nggak mau nebeng aja?" Jerry ganti menoleh padanya.

"Iis udah otw."

Dan tak lama kemudian, yang dia tunggu-tunggu akhirnya muncul juga. Cukup energik untuk ukuran orang yang baru pulang kerja di jam segitu.

"Eh, Sabrina. Udah nyampe kan, kain lo?" Iis bertanya setelah dekat.

"Udah kok, Mbak. Cakep warnanya." Sabrina mengacungkan jempol.

Iis manggut-manggut. "Gue takeout kopi bentar ya."

Dan selepas ditinggal Iis ke counter, Jerry cuma bisa berdecak-decak.

"Mau nikah nggak ada mesra-mesranya. Dateng-dateng bukannya nyapa elo—peluk, cium kek—malah nyapa Sabrina duluan." Pria itu meneguk habis caffe latte-nya, songong. "Gimana kalau undangan lo ini namanya diganti gue sama Sabrina dulu aja?"

Gusti segera mengusir keduanya sebelum Iis balik. Udah muak dihina-dina.

Di mobil, Iis buka mulut duluan. "Elo sering digodain gitu ama mereka, Gus?"

"Godain gimana?" Gusti menyahut sambil fokus nyetir.

"Nggak ada mesra-mesranya, yakin mau nikah?" Iis menirukan suara Jerry, dengan kalimat seingatnya saja.

Gusti meringis. "Eh, elo denger, ya, tadi? Nggak usah dipeduliin sih, pasangan jablay gitu mah."



... to be continued

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top