CHAPTER 1 - Flowers, flowers, flowers

Dua tahun yang lalu.

Pukul delapan kurang lima, namun semua orang sudah bersiap bangkit dari kursi masing-masing, menuju satu titik yang sama: ruang rapat.

Akhir bulan, dan kami belum bisa mencapai target untuk menjual sejumlah unit rumah sesuai kesepakatan akhir tahun lalu.

"Anton bakal ngamuk."

"Semoga nggak perlu ada adegan nendang dinding. Ngilu lihatnya."

"Mampus kita, gimana nih?"

Masih banyak keributan, umpatan, dan makian yang tertahan sepanjang langkah kami menuju ruang rapat. Akupun menjadi salah satu di antara mereka, minus "cemas" menghadapi Anton sang manajer Pemasaran, karena mood-ku saat ini sedang berada di atas awan.

Semua ini gara-gara buket bunga calla lily yang kutemukan di mejaku pagi ini. Rasanya semua hal mengerikan di dunia ini sirna sudah saat aku melihat bunga cantik itu tersimpan manis di mejaku. Belum lagi sebuah kartu ucapan berwarna merah muda, ditulis tangan dengan rapi.

Nggak bisa nulis gombal. Pokoknya bunga ini buat kamu. Sampai ketemu nanti malam. A.

Sengamuk apapun Anton hari ini, tidak akan mempan padaku. Sudah kuniatkan, aku akan membiarkan amukan Anton masuk telinga kanan-keluar telinga kiri, walaupun seandainya namaku yang dikata-katai olehnya.

"Mar, berhenti senyam-senyum sendiri," Desi mendesis, menyikut lenganku saat kami sudah sampai di bibir pintu ruang rapat.

Aku meringis tanpa suara, hanya memasang tampang kecut. "I'm happy, you know. Ngerusak kebahagiaan orang aja deh, lo," bisikku manyun.

"Ntar lagi aja senengnya kalau kita selamat dalam keadaan hidup setelah rapat ini beres."

"KALIAN HANYA BISA MERANGKAK, TIDAK BISA BERJALAN CEPAT, HAH?!"

Suara menggelegar membuat kami semua tersentak kaget, beberapa orang terjajar selangkah ke belakang, termasuk aku yang langsung melotot kaget mendengar Anton memulai amukannya dari dalam ruangan.

Astaga, aku heran. Bagaimana dulu HRD perusahaan ini memilih manajer macam Anton yang teriakannya seperti harimau itu?

Kami semua seperti anak ayam yang manut pada induknya: duduk di kursi yang mengelilingi meja oval di ruang rapat, dan mulai menjalani eksekusi yang akan berjalan selama berjam-jam ke depan. Masih untung, bila kami bisa keluar sebelum jam makan siang. Kalau tidak, siap-siap menghadapi malam dengan perut kosong.

Saat aku baru duduk—di pojok terjauh dari Anton, syukurlah aku mendapatkannya setelah saling sikut tanpa suara terlebih dahulu dengan Desi, sahabatku—ponselku bergetar. Jantungku sempat mencelus saat kukira ponselku itu belum di-silent. Bisa tambah ngamuk Anton kalau tahu ada anak buahnya yang masih sibuk dengan HP sementara rapat sudah akan berlangsung.

Kubuka kunci ponselku tanpa melihat layarnya, hanya digeser ke kanan. Aku menundukkan kepala, pura-pura merapikan rok pendekku, padahal mataku melirik ponsel yang kupegang di atas paha.

Dari Arman. Pacarku. Lelaki yang sudah membuat hatiku terbang ke awan.

Makan malamnya masih lama. Padahal aku ingin nyium kamu. Sekarang.

Membaca pesan itu, aku langsung terkekeh. Pipiku memanas.

BRAAAKKK!

Terdengar suara dinding dipukul oleh suatu benda berat! Jantungku nyaris copot! Ponselku sampai jatuh meluncur dari genggamanku dan mencium lantai begitu saja!

"MARA! APA YANG SEDANG KAMU LAKUKAN?! KAMU INGIN KELUAR DARI RUANGAN INI SEKARANG DAN HAHA-HIHI DENGAN PUAS DI LUAR, HAH?!"

Ruangan lantas hening seperti pemakaman. Semua orang menatapku. Tatapan kasihan, karena sepanjang rapat hari ini, aku yang akan menjadi "maskot" sebagai target amukan Anton. Oh, sial.

***

"Lagian lo juga, cekakak-cekikik kayak gitu. Ya abislah jadinya, " Desi mengoceh saat menungguku membereskan tas. Kami baru selesai rapat menjelang pukul empat sore tadi. Dan benar saja, aku yang habis dimaki oleh Anton hari ini.

Pria berusia awal empat puluh tahunan itu ngamuk seperti hyena yang kelaparan. Aku harus mengebalkan hatiku agar tidak babak belur karena dimarahi terus-terusan. Padahal kan, kesalahan tidak hanya datang dariku!

"Gila ya, tuh orang. Bisa gitu karakternya. Nggak banget! Gimana orang-orang bisa betah kerja di sini," dengusku.

Namun, ketika melihat calla lily pemberian Arman, perasaanku jauh lebih baik. Kuambil bunga iiu setelah sebelumnya menghirup aromanya sepuasnya—Desi berdiri di sampingku sambil mengernyitkan kening dalam-dalam. Baginya, mendapatkan bunga di kantor adalah satu hal yang norak.

"Gue nggak setuju dengan bagian cinta-cintaan lo tentang bunga ini ini, ya. Tapi, gue setuju dengan niat Arman merayakan lima tahunan kalian dengan makan malam... dan who knows, ends up in a same bed, mungkin?" dia cekikikan, lalu mengibaskan rambut hasil karya salon langganannya yang bisa menghabiskan seperdelapan dari gaji bulanannya.

"Shhht, jangan bahas gituan di sini!" aku menyergah, tapi malah ikut-ikutan tertawa. "Malu nih gueee..."

"Atau jangan-jangan... lo mau dilamar?"

"Ah, Desiii," aku makin merona. Membayangkan Arman yang mengenakan kemeja rapi, menyodorkan cincin dan bilang, "Kamu mau nikah sama aku?" membuat jantungku seperti mau mencuat dari rongga dada! "Desss...!"

"Ya ampun! Kok jadi gue yang pengen dilamar! Hah, sejak kapan gue pengen kawin?!"

Aku mengenakan tasku dan bangkit berdiri. "Sorry yah, di kamus hidup gue, nikah dan kawin nggak sama. Beda sama lo yang menyamaratakan nikah dan kawin!" Aku tergelak, lalu disambut cubitan kecil di tangan kanan yang membuatku memekik kesakitan.

Hampir pukul tujuh malam, aku masih tertawa-tawa bersama Desi saat keluar dari gedung kantor.

Hatiku masih saja berbunga-bunga walau sudah dihajar truk besar (baca: makian Anton). Aku sudah tidak sabar bertemu Arman yang akan melamar—eh, makan malam romantis denganku.

***

Aku sampai di Blue De Frence, salah satu hotel bintang lima yang ada di Jakarta Pusat ini, lebih dulu dibandingkan Arman. Tempat pertama yang kutuju adalah toilet wanita, tentu saja. Setelah memastikan kantung kemihku kosong, aku merias wajahku agar tampak lebih segar. Kutepuk lembut wajahku—masih sambil senyum-senyum. Lipstik merah yang senada dengan blazer yang kukenakan pun sepertinya membuat dunia tahu kalau aku sudah siap—SANGAT SIAP—menyambut malam ini.

Ah, bunga cantik di pagi hari, makan malam romants di hotel bintang lima untuk merayakan hari jadiku dan Arman yang kelima, lalu menutup malam dengan...

Astaga! Aku tidak bisa menyuruh diriku untuk berhenti tersenyum!

"Cowok yang semacam itu, biasanya cuma memanfaatkan cewek cantik."

Aku melirik, melihat melalui kaca, ada dua perempuan yang baru saja masuk. Mereka berbincang dan saat menyadari keberadaanku, langsung menghunjamkan tatapan sinis kepadaku.

Bisa kutebak, usia mereka menjelang empat puluh tahun, masih lajang, dan iri bila melihat ada wanita lain yang lebih muda dan segar penampilannya dibandingkan mereka.

"Ya, biasanya cowok sempurna itu cuma buat cewek bodoh. Atau cowok itu adalah gay."

"HAHAHAHA"

Entah hanya perasaanku saja, mereka tertawa keras sembari melirik padaku, membuat mood baikku menurun levelnya. Apa mereka bermaksud mengatakan kalau aku ini adalah cewek bodoh, seperti yang mereka sebut?

Sialnya, omong kosong dua perempuan itu mengusik pikiranku juga. Arman memang seorang cowok sempurna. Penampilannya maskulin, pekerjaannya mapan di bidang perbankan, dan sangat gentle.Dia sangat memahami bagaimana caranya memperlakukan seorang wanita.

Seingkali bila Arman sedang tidak di sampingku, aku bertanya-tanya, apa yang Arman sukai dariku?

Penampilanku memang tidak bisa dibilang buruk, tapi aku juga bukan tipe wanita jetset yang selalu menghabiskan puluhan juta per bulan untuk mempercantik diri.

Aku memang membeli tas atau pakaian atau sepatu branded, tapi aku juga realistis untuk menyisihkan gajiku untuk membayar apartemen tempatku tinggal, juga untuk mengirimi uang bulanan untuk Amak di Padang.

Kalau Desi bilang, hidupku balance. Jadi, itu poin yang Arman suka dariku.

Karena Desi sering memberikan penjelasan panjang lebar lainnya terkait ini, aku mengamini saja.

Pokoknya yang penting, Arman mencintaiku. Begitu, bukan?

Setelah kurasa penampilanku jauh lebih baik dibandingkan saat baru masuk hotel ini tadi, aku menyemprotkan parfumku, kemudian mengabaikan dua wanita tadi. Mengacuhkan dan berjalan santai, melenggang keluar dari toilet wanita. Semoga aku tidak dipertemukan lagi dengan manusia-manusia semacam itu.

Tidak lama kemudian, ponselku bergetar. Kurogoh tasku dan mengecek pesan yang baru saja masuk.

Aku sudah sampai.

Senyumku kembali mengembang membaca pesan dari pacarku. Sepertinya malam ini aku adalah perempuan yang paling bahagia di dunia!

"Ehem," aku berdeham, berusaha menguasai diri sendiri. Santai, Mar. Santai aja.

Aku melewati lorong menuju resto, lalu mengedarkan pandangan. Seandainya boleh, aku ingin membawa calla lily-ku kemari, tapi Desi ngotot agar aku tidak norak-norak amat dan menyuruhku menitipkan bunga itu padanya—tadi dia juga yang mengantarku ke sini dengan mobilnya.

Oh ya, apartemenku dan Desi bersebelahan. Karena alasan kami adalah tetangga pula lah yang membuat pertemanan kami semakin dekat.

And now, there he is. Arman-ku, duduk di bagian tengah resto. Dia melambaikan tangan padaku, tersenyum penuh cinta.

Ah, aku benar-benar jatuh cinta pada Arman Pratista.



[Catatan Penulis]

1. Ternyata udah dua minggu saya nggak lanjutin cerita after prolog ini. Berencana nge-update tiap minggu. Enaknya tiap hari apa, ya? Any idea? :)

2. Nulis bab ini dalam sekali duduk, pas lagi ngantuk banget setelah jam bubaran kantor tapi belum beranjak dari kantor (kok ribet, ya penjelasannya? LOL).

Cheers,

P.

2016-06-28

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top