9
"Satu jam, empat puluh sembilan menit," ucapnya dengan tatapan bosan ketika aku datang dengan tas di tanganku.
"Aku bilang tidak sampai dua jam kan?" tanyaku meringis lebar.
Dia menanggapi hanya dengan gumaman singkatnya. Aku berpendapat, dia sangat menggemaskan hari ini. Itu membuatku tertawa kecil sebelum menggantungkan tasku di dorongan kursi rodanya.
"Jadi, kau sudah memutuskan apa yang ingin kau lakukan untuk menghabiskan sore ini?" tanyaku seraya mendorong kursi rodanya.
Dia menengadahkan wajahnya, menataku sekilas. Aku memberinya mimik muka bertanya ketika mataku bertemu dengan matanya. Dengan cepat dia mengalihkan tatapannya lalu mengedikkan bahunya.
"Terserah kau saja," sahutnya singkat.
"Atau kau ingin pulang? Aku memberimu banyak pilihan. Ayolah," ujarku.
"Terserah kau. Kau kan kakiku," sahutnya lagi.
"Oh? Begitu? Baiklah. Sekali lagi aku bertanya, apa matamu atau mulutmu tidak menginginkan sesuatu untuk kau nikmati? Ini akhir pekan. Aku pulang lebih awal dan besok akan libur dua hari. Jadi?"
Aku bersenandung lirih, menunggu jawaban darinya. Kakiku melangkah ringan.
"Jadi besok kau libur dua hari?" tanyanya pelan.
"Ya. Kau mau apa?" tanyaku cepat.
Dia kembali terdiam. Itu membuatku mengerutkan kening. Terlebih ketika terdengar helaan napas berat darinya. Aku menghentikan langkah juga menahan kursi rodanya. Dia mengangkat wajahnya hingga dapat menatapku.
"Ada apa?" tanyanya.
"Seharusnya aku yang bertanya demikian. Ada apa?" dengusku.
Dia mengedikkan bahunya. "Tidak ada."
"Kau mencoba menyembunyikan sesuatu?" Aku menatap menelisik, membuatnya tak nyaman oleh tatapanku.
"Tidak ada. Ayo, sebaiknya kita pulang. Aku tahu kau lelah!"
"Jalan-jalan sore?" tanyaku menaikkan alisku sebelah.
Dia kembali menggeleng, "Tunggu moodku dalam keadaan baik."
Aku melebarkan mataku. Aku harus menunggu mood nya baik hanya untuk sekedar jalan-jalan? Aku baru akan membuka mulut ketika dia kembali bicara. Entah hari ini aku lebih sering mendengar suaranya. Dan aku menyukai itu.
"Tapi menghabiskan sore di cafe sepanjang Berkshires bukan sebuah hal yang buruk. Itu kalau kau bersedia," ucapnya.
"Berkshires?" Aku mengeja pelan.
Sebuah tempat kecil dimana dia mengakhiri kehidupan sempurnanya melalui tabrakan itu. Bibirku bergetar dalam diam. Aku tidak bisa berkata apapun. Saat ini aku merasa tubuh ini bergetar. Untuk apa dia ingin pergi ke sana? Aku memasang kewaspadaan di dalam diriku.
"Aku tahu jalannya jika kau tidak tahu. Nanti aku akan mengarahkanmu," ucapnya lagi.
"Kau ingin ke sana?" tanyaku memastikan.
"Memangnya itu sebuah masalah?" Dia mengangkat wajahnya, sedikit memutar ke belakang dia mendapatkan wajahku.
Kepalaku tergeleng cepat sebelum dia memberikan tatapan menyelidik. Aku kembali melangkah, kali ini membukakan pintu mobil untuknya. Aku tidak berminat bertanya lagi. Bagiku lebih baik menuruti apa yang dia inginkan agar tidak merusak suasana yang sudah terbangun cukup baik.
"Okay, mari kita bersenang-senang. Kuharap kita akan menemukan minuman favorit di sana," ucapku begitu selesai membantunya duduk di kursi penumpang.
"Kau akan terkesan dengan sunset di sana," ucapnya antusias.
Wow! Aku menemukan sosok Miguel yang lain di sini ketika membahas Berkshires. Nadanya seakan menyimpan kerinduan. Mungkin dia memiliki banyak kenangan di sana.
"Oh? Kau membuatku tidak sabar untuk menikmati sore di salah satu cafe di sana," ucapku.
"Aku punya tempat langganan. Dan ayolah, kau harus segera melajukan mobilmu."
Ada raut tak sabar di sana. Aku mengulum senyum sebelum memutuskan untuk melajukan mobil dengan segera. Sekilas aku melirik dan aku mendapati matanya berbinar ketika mobil ini mengambil arah menuju ke Berkshires.
Sejenak aku berpikir apa ini jalan yang Tuhan berikan untuk memudahkan aku dan dia menjalani hidup berdampingan? Yang kutahu Miguel tidak sehangat ini. Mulutnya bicara tak pernah dengan nada sewajarnya. Matanya juga tidak berdansa seperti saat ini.
"Kau menyukai kopi?" tanyaku membuka suara ketika sudah mencapai setengah perjalanan.
"Ya. Tapi tidak kopi murni. Aku punya masalah di lambung. Belakangan aku menyukai latte. Kopinya tidak terlalu keras."
"Oh? Jadi itu alternatif agar kau tetap bisa menikmati kopi?"
Dia terkekeh lalu membuang tatapan ke luar jendela. Aku mengamati setiap gerak-geriknya dari sudut mata.
"Tapi terkadang aku memesan kopi hanya untuk kuhirup aromanya. Itu sangat membantuku menenangkan pikiran."
"Begitu? Bukan hal buruk. Setiap orang punya cara untuk mengatasi setiap masalahnya sendiri-sendiri kan?"
"Ya. Aku lebih menyukai suasana yang tenang. Bahkan sunyi. Entah. Aku bisa merenungi semuanya." Dia kembali terkekeh.
Aku jadi sedikit lebih tahu tentangnya tanpa kuharus mencari tahu. Aku tidak akan membiarkan ini berhenti atau apapun yang bisa merusaknya. Biarkan seperti ini agar aku mudah mensejajarkan diri untuk menghadapinya pada hari-hari ke depan. Karena aku kakinya. Bukan untuk seminggu dua minggu atau sebulan kedepan. Tapi janjiku untuk selamanya.
"Kita akan segera sampai," ucapnya memberitahu.
Aku melihat bangunan-bangunan berderet cukup apik. Plang-plang bertulis nama-nama restoran. Semakin menampakkan keindahan dengan berbagai desain ketika mobilku mulai melintasi jalanan deretan restoran itu.
"Letaknya tepat di belokan itu. Aku menyukai tempat itu. Letaknya di sudut membuat kita bisa melihat ke penjuru Berkshires," jelasnya.
Mataku mencari cafe yang dia maksud. Aku mengurangi kecepatan mobil demi mencari cafe yang dia maksud. Hingga beberapa detik kemudian aku mendapatkannya. Letaknya pas di belokan dengan nuansa kayu.
"Kau sering ke cafe ini?" tanyaku seraya memarkirkan mobil.
"Ya. Aku sering. Kau tahu? Aku sangat merindukan tempat ini," ujarnya seraya menengadah menatap cafe berlantai dua itu.
"Kita bisa menghabiskan waktu libur dua hari di sini jika kau mau. Baiklah, kita masuk untuk mencari minuman favoritmu. Nanti malam kita akan mencari penginapan," ucapku memutuskan.
"Tidak. Kita nanti pulang saja. Menginap hanya akan menghabiskan uangmu."
"Hey, kau perlu di sini lebih lama untuk mengobati rindumu. Tidak perlu memikirkan tentang uangku. Baiklah, aku akan mengambil kursi rodamu. Kita akan bersenang-senang selama dua hari ke depan." Aku mengedipkan mata kemudian melepas seatbelt.
Dia membuka mulut akan menyanggah kalimatku. Tapi tidak jadi ketika aku dengan cepat keluar dari mobil untuk mengambil kursi rodanya di bagasi mobil.
"Amme,"
"Terima kasih kau sudah bersedia menyebut namaku," sahutku cepat dengan senyum lebarku.
Aku terkekeh ketika dia mengembuskan napas. Aku tidak ingin mendengar kalimat sanggahannya. Tanganku kini mendorong kursi rodanya memasuki cafe yang masih cukup lengang.
"Kau biasa duduk di mana?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan.
"Dekat jendela. Kita di bawah saja. Kalau di atas, itu akan menyusahkanmu dengan keadaanku." Dia mengambil tangannya untuk mengusap punggung tanganku.
Sejenak aku terdiam dengan sikap tiba-tibanya. Dengan cepat aku mengendalikan diri.
"Tidak masalah. Kita akan ke sana."
"Amme,"
"Ayolah, aku juga ingin menikmati sore sebagaimana kau dulu melakukannya. Kita akan ke sana dan mungkin kita butuh bantuan pelayan."
Aku memanggil pelayan untuk membantuku membawa Miguel ke lantai dua. Cukup sulit dan membutuhkan dua orang pelayan pria. Tidak masalah. Karena aku mendapati pemandangan menakjubkan setiap penjuru kota Berkshires. Aku tersenyum lebar berdiri di balkon.
"Kau melakukan banyak hal untukku hari ini. Bagaimana aku bisa membayarnya?"
Kalimat Miguel menyadarkanku dari suasana yang sedang kunikmati. Aku menoleh dan kembali ke meja. Ada dua cangkir kopi lengkap dengan kepulan di atasnya.
"Ya. Kau benar, kau harus membayarnya," ucapku sedikit angkuh, duduk di hadapannya dengan tegak.
"Jadi, okay. Kau bisa menghitung berapa banyak yang harus kubayar?" Dia memberikan mimik muka seriusnya. Tangannya mengusap dagu.
Tawaku pecah. Dia sangat menggemaskan saat ini. Sejak kapan aku menuntut ganti rugi?
"Kau harus membayarnya dengan...," Aku sengaja menggantungkan kalimat, membuatnya memasang tampang waspada.
"Apa?"
"Kau, tetap seperti ini."
Dia terdiam seketika. Aku mengerutkan kening, apa aku salah bicara? Dia malah mengambil cangkir kopinya dan menyesapnya seolah tidak peduli dengan ucapanku.
"Tapi kau kakiku," ucapnya setelah sekian menit berlalu.
Aku mengangkat wajah, menatap dirinya. Huh, dia kembali menjadi Miguel yang menyebalkan. Tatapannya sangat kukenali. Datar.
"Aku tahu. Tidak perlu kau ingatkan," sahutku sedikit tercekik. Secepat itu dia berubah? Astaga.
"Tapi jika kau menginginkan itu, tidak masalah. Lagipula ini akan memudahkan kita menjalani hari-hari ke depannya. Hanya saja aku tidak ingin seseorang menyalahartikan keadaan ini."
"Maksudmu?"
"Kekasihmu akan cemburu padaku," sahutnya santai kemudian terkekeh.
Itu membuatku menyemburkan kopi di mulutku. Dengan cepat aku mengambil tissue. Untung saja aku tidak menyemburkan ke hadapannya.
"Kalau aku memiliki kekasih, aku tidak perlu repot-repot membiarkanmu tinggal bersamaku. Tapi, terima kasih kau sudah bersedia bersikap hangat padaku."
"Aku yang seharusnya berterima kasih. Kau mau menanggung hidupku. Padahal kau bisa menolaknya. Kau baik."
Ada nada tulus yang menyentuh telingaku. Kuharap dia akan bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Bersikap hangat seperti ini untuk hari-hari berikutnya.
"Dan bertemu denganmu, secara tidak langsung aku tidak hidup sendiri lagi. Aku tidak memiliki siapapun. Mungkin aku harus berterima kasih pada temanmu yang sudah menabrakku," lanjutnya.
"Kau? Hidup sendiri?"
Dia tertawa kecil, "Memangnya kenapa? Bukan sebuah hal aneh ketika seorang pria hidup sendiri. Kau pun hidup sendiri bukan?"
Aku terdiam. Memang bukan hal aneh ketika seseorang hidup sendiri. Tapi kalimatnya mengingatkanku pada caption foto yang kutemukan di media sosial itu.
"Memang tidak ada. Hanya memastikan," sahutku berkelit.
"Tapi kau benar. Ada hal yang meragukan. Kau tipe wanita yang kritis dan cerdas. Meskipun kau sedikit ceroboh."
Aku melebarkan mataku. Apa dia sedang mencoba menilai seorang Amethys Linn?
"Oh? Kau mencoba menilaiku, Tuan Miguel?" tanyaku jenaka.
Dia mengedikkan bahu. Lalu kembali menatapku kali ini serius.
"Tidak. Aku hanya membicarakan fakta. Apa kau tidak terima?"
"Tidak. Aku tidak menangkap nada itu. Tapi itu bagus. Kau dengan cepat beradaptasi dengan beberapa sifatku," sahutku percaya diri.
"Benar-benar. Kau wanita yang menarik," gumamnya membuang tatapannya ke luar sana.
"Apa?"
"Tidak ada. Aku tidak bicara sesuatu," sahutnya cepat membuatku mengulum senyum dalam diam.
***
Tbc
S Andi
Kamis 12 okt 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top