8

Entah. Aku tidak pernah sekonyol ini sebelumnya. Memikirkan pria itu hampir membuatku kehilangan konsentrasi bekerjaku. Setelah tadi pagi sedikit berselisih dengannya karena dia tetap bersikukuh ingin check up sendirian. Hingga siang ini dia tidak ada kabar sama sekali. Padahal aku sudah membawakan satu ponselku untuknya.

Aku menghela napas, menyudahi pekerjaanku ketika waktu istirahat datang. Aku mencoba menghubunginya tapi dia mengabaikannya.

"Ada masalah?"

Aku menoleh, mendapati pria di samping meja kerjaku menatap serius. Aku meringis tipis, segera menggelengkan kepala. Kuharap James tidak akan secerewet biasanya. Karena aku sedang tidak ingin berdebat dengannya.

Aku masih menunggu Miguel menjawab telfonku untuk yang kesekian kalinya. Tapi sepertinya itu sia-sia. Mungkin aku perlu menelpon rumah sakit langsung untuk mengetahui apa dia sampai di sana atau dia hanya di rumah.

"Amme?" Oh, dia masih seperti biasanya. Penasaran. Kali ini dia memanggilku dengan nada memperingatkan.

"Tidak ada, Jammy. Aku hanya mencoba menelpon Ashley," jawabku dengan nada meyakinkan lalu beranjak meninggalkan kursi kerja sekaligus menjauh dari James sebelum dia bertanya lebih jauh lagi.

Aku masih berharap pria itu mau menjawab telfonku. Tapi ternyata sia-sia. Apa yang kuputuskan untuk menggunakan waktu jam istirahatku selama satu jam ini? Aku kini melangkah cepat menuju ke mobil. Tujuanku siang ini adalah rumah sakit. Aku berpikir barangkali dia masih di sana. Lagipula jaraknya tidak begitu jauh. Aku tidak akan memerlukan waktu melebihi jam istirahatku. Itu perkiraanku dan kuharap demikian.

Aku melajukan mobilku dengan cepat tanpa mengurangi konsentrasiku. Benar. Tidak membutuhkan waktu lama. Begitu sampai aku segera menemui receptionist berbicara beberapa saat. Dan aku mendapati bahwa pria itu memang datang tapi sudah meninggalkan rumah sakit beberapa jam yang lalu.

"Oh, tapi... Apa aku bisa menemui dokternya? Aku perlu bicara mengenai keadaannya," tanyaku sopan.

"Kau datang untuk Tuan Miguel?"

Aku terlonjak ketika mendengar sebuah pertanyaan dari arah belakangku. Kepalaku menoleh dan aku mendapati seorang pria muda berkemeja tapi tanpa kelengkapan seragam dokternya. Pria yang menangani Miguel.

"Ah, ya. Aku perlu bicara dengan dokternya." Aku berujar pelan.

"Kita bisa bicara di luar. Kebetulan aku lepas dari jam dinas. Itu pun kalau kau tidak keberatan."

"Tapi...,"

Dia mengedikkan bahu. Sikapnya begitu santai.

"Aku tahu kau menyempatkan waktu dari kesibukanmu. Pria itu bilang kau sibuk bekerja jadi tidak punya banyak waktu untuk mengantarnya ke sini," ucapnya sontak membuatku membeliakkan mata.

Apa katanya? Bahkan dia sendiri yang bersikeras menolak tawaranku untuk mengantarnya ke rumah sakit.

"Oh, baiklah. Sepertinya memang aku butuh bicara denganmu. Mari," ucapku akhirnya.

Pria, dokter muda itu tersenyum menjajari langkahku menuju ke sebuah cafe. Tapi beberapa langkah meninggalkan meja receptionist itu, aku berhenti, sedikit menimbang-nimbang.

"Kenapa?" tanyanya.

Aku terdiam, menggerakkan telunjukku membentuk pola lingkaran tanda ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Tapi aku ragu untuk mengatakan.

"Tidak masalah. Jangan terlalu banyak berpikir yang tidak-tidak. Kita bicara di luar jam kerjaku. Aku mengerti kau sulit membagi waktu. Antara kewajibanmu di kantor dan menemani pria itu sebagai tanggungjawabmu. Aku bersedia membantumu jika kau menginginkan."

Sekali lagi, aku kembali menimbang-nimbang sebelum akhirnya mengangguk setuju. Lagipula kondisinya memang benar.

"Umh, baiklah. Aku hanya takut itu akan menyalahi peraturan. Kau akan terancam dari tempatmu bekerja," ujarku tersenyum tipis, memberikan alasan.

"Tidak. Jadi, mari kita bicara," sahutnya seraya kembali melangkah.

***

"Secara umum keadaannya membaik. Tapi sekali lagi, aku sudah pernah mengatakan bukan jika hidupnya tidak akan sesempurna dulu? Tapi satu hal yang sama sekali tidak pernah kusangka. Dia tidak menunjukkan reaksi apapun. Pada umumnya seseorang akan terpuruk. Tapi tidak dengannya. Tapi dia juga tidak memiliki semangat untuk melanjutkan hidupnya. Itu yang kutangkap selama tadi aku berhadapan dengannya."

Penjelasan dokter yang menanganinya tadi membuatku terdiam. Pikiranku buntu dan hanya berkutat pada permasalahan apa yang menyebabkan pria itu bersikap demikian. Apa ini menyangkut masa lalunya? Jika dia memang enggan melanjutkan hidupnya, dia bisa melakukan sesuatu. Lagipula saat ini sudah banyak kasus yang membuat seseorang pada akhirnya memilih mengakhiri hidupnya. Bunuh diri.

Tapi apa yang dikatakan dokter itu benar. Pada umumnya seseorang akan bereaksi membuat semacam tindakan penolakan atas apa yang menimpa dirinya. Dan yang kulihat memang pria itu tidak menunjukkan itu.

Aku menghela napas, sebelum memutuskan untuk melajukan mobilku, kembali ke tempat kerja. Aku membiarkan pikiran mengenai Miguel terus berkelebat di benakku. Bahkan hingga aku sampai di tempat kerja tepat waktu, sesuai dengan jam istirahatku.

"Tapi jika aku boleh memberimu saran, aku ingin kau bukan sekedar menjalankan tanggungjawab. Mungkin kau bisa membuatnya kembali mendapatkan gairah hidupnya. Aku percaya kau memiliki empati yang tinggi sekalipun kau terlihat tidak peduli."

Kalimat terakhir dari dokter itu atas nama kemanusiaan ketika aku ingin berpamitan dengannya, kini kembali terngiang. Dan entah, seperti ada yang menyentuh hatiku di sana. Aku memikirkan pria itu sekarang. Dia di mana dan apa dia sudah makan siang? Karena sungguh tadi pagi aku melupakan untuk menyiapkan makan siang dan beberapa hal yang dia butuhkan agar dekat dari jangkauannya.

Aku mengusap wajahku menyadari kecerobohanku. Aku melangkah cepat memasuki gedung perkantoran. Dalam hati aku bertekad untuk pulang lebih awal. Aku berharap dia sudah di rumah dan dalam kondisi baik-baik saja, termasuk moodnya.

Langkahku seperti tertanam di tempat ketika memasuki Lobi. Aku melihat seseorang duduk di atas kursi rodanya. Entah disadari atau tidak, entah memang benar atau tidak, tapi dadaku kini berdebar keras. Mataku berpendapat bahwa orang itu adalah Miguel.

Dan itu membuatku melangkah pelan, menghampiri pria yang hanya bisa kulihat bagian belakangnya saja. Tapi aku berharap itu bukan Miguel. Miguel tidak akan mau bersusah payah mampir ke kantorku.

Sayangnya itu hanya harapanku saja. Apalagi ketika aku mencium harum parfum yang mulai kuhafal. Tanpa pikir panjang, aku menghampirinya. Aku mendapati dia dengan wajah kakunya. Beberapa orang kulihat melirik kami. Tapi itu tidak masalah. Aku sekarang bernapas lega. Setidaknya aku melihat dia dalam kondisi baik- baik saja.

"Miguel?"

Dia menaikkan alisnya sebagai responnya. Sudah bukan hal yang aneh.

"Kau ke sini? Kau baik-baik saja?" tanyaku menatap dirinya.

"Ya," jawabnya singkat.

Aku tersenyum, meremas jemariku. Entah melihatnya ada di kantorku, membuat hatiku tersentuh. Aku tahu aku sudah lama tidak merasakan hal yang seperti ini. Hingga membuat aku bersusah payah untuk menahan tanganku agar tidak menyentuh dirinya.

"Okay, aku menelponmu sejak tadi. Dan kau tidak mengangkatnya. Kau membuatku sempat berpikir buruk tadi," ucapku jujur.

"Aku tidak membawa ponselmu."

"Tapi kau bisa sampai di sini? Bagaimana bisa?" tanyaku mengernyit.

"Ya. Aku bisa. Ingatanku tidak terlalu lemah. Aku juga ingat kau lupa menyiapkan kebutuhanku," ucapnya bermakna sindiran keras terhadapku. Dan aku tahu itu, bagaimana cerobohnya aku.

"Kau sudah makan siang?"

"Aku sudah melakukannya jika aku memiliki banyak uang di tanganku."

Aku terbungkam. Sekali lagi dia menjabarkan kecerobohanku. Lebih buruknya lagi adalah saat ini jam istirahatku sudah habis.

"Aku akan menelpon Ashley untuk menemanimu makan siang. Aku harus kembali bekerja. Maaf untuk kekacauan hari ini," ucapku cepat. Kupikir aku tidak memiliki cara lain lagi. Dia harus segera mendapatkan makan siangnya sekalipun terlambat demi untuk meminum obatnya.

"Kau merasa malu dengan kehadiranku di sini?" Dia menatapku lurus seakan aku sudah menyinggungnya.

"Tidak. Bukan itu. Jam istirahatku habis. Aku hanya berpikir kau harus mendapatkan makan siangmu. Kau pasti belum meminum obatmu. Kau harus meminumnya secara teratur."

"Kau bukan kekasihku. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu. Aku sudah tahu apa yang harus kulakukan untuk diriku. Kau kembali. Aku di sini."

"Kau? Di sini? Maksudmu?"

Dia mendengus, mungkin menahan kesal. Tapi hal apa yang kulakukan sehingga membuatnya kesal? Aku mengernyit sesaat sebelum melihat dia menggerakkan kursi rodanya, meninggalkanku.

Dia? Di sini?

"Miguel!" seruku ketika menyadari makna yang tersirat dari kata aku di sini. Tidak peduli dengan beberapa orang yang menonton kami.

Aku melangkah lebar, menahan kursi rodanya lalu memeluknya dari belakang. Entah apa yang mendasari aku melakukan hal sekonyol ini. Tapi aku merasa seperti ada yang mendorongku untuk melakukan ini. Aku juga merasakan tubuh pria itu menegang. Aku tahu dia pun terkejut dengan apa yang kulakukan. Sungguh. Aku merasa terkubur malu saat ini.

"Kau?" desisnya tidak bisa menutupi rasa terkejutnya.

"Kau bersedia menungguku? Aku akan ijin pulang cepat hari ini. Kau sudah baik-baik saja kan? Aku akan mengajakmu menikmati angin sore. Jangan menolak. Okay? Tunggu di sini."

Dia menggelengkan kepalanya di dalam dekapanku. Aku mengernyit.

"Kau akan malu kalau aku tetap di sini," ucapnya.

Aku terdiam. Aku tidak menemukan sosok Miguel yang datar kali ini. Tapi sosok pria yang merasa tidak layak untuk keberadaannya. Aku tidak tahu, tiba-tiba aku merasa sesak. Tidak rela mendengar mulutnya bicara seperti itu. Ah, kemana sosok Amme yang tidak peduli? Berada di dekat Miguel aku menjadi merasa asing dengan diriku sendiri.

Aku memejamkan mataku sejenak, menghela napas. Dan sekali lagi aku tidak tahu bagaimana aku bisa melakukan hal sekonyol ini. Aku mengecup pipinya.

"Aku tidak peduli. Kau tunggu di sini, aku akan ijin untuk pulang cepat. Kau suka teh atau kopi? Atau mungkin kau ingin jalan-jalan di taman? Kau tentukan. Dan nanti saat aku kembali, katakan kau mau apa."

Dia menelengkan kepalanya, menatapku dari sudut matanya. Dia melihatku seperti orang asing.

"Apa aku salah bertemu dengan seseorang?"

Aku terkekeh, melepas dekapannya. Tanganku kini singgah di pundaknya.

"Tidak. Aku hanya ingin melakukan sesuatu untukmu. Anggap saja permintaan maaf atas kecerobohanku hari ini. Jadi, kau bersedia menungguku? Mungkin tidak sampai dua jam. Bagaimana?"

"Bukan hal buruk," sahutnya membuatku memekik kecil dan dengan refleks aku mengecup pipinya sebelum aku bergegas pergi.

***

Tbc
14 september 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance