7

"Kau mau kemana?" tanya James dengan kening terlipat disertai dengan tatapan karyawan lainnya ketika aku dengan cepat memberesi pekerjaanku saat jam pulang tiba.

Aku mengedikkan bahuku dengan santai. Aku memang selama ini jarang sekali pulang tepat waktu. Biasanya aku akan bergabung dengan mereka untuk sekedar minum kopi di cafe seberang jalan. Atau terkadang mengelilingi pusat berlanjaan yang tidak jauh dari tempatku bekerja. Tapi kali ini aku berkemas dengan cepat dan siap beranjak tepat pukul 5 sore.

"I guess, you... Have new boyfriend," ucap James pelan dan sontak membuatku terkekeh geli.

"Sepertinya kau tidak rela teman jomblomu mengakhiri masa lajangnya," sahutku di antara sisa tawaku.

"Bukan begitu," elaknya sambil mengusap dagunya, dia memutar-mutar kursi yang dia duduki. Matanya mengamatiku seolah mencari keanehan di sana. Kernyitan di dahi melengkapi ekspresinya.

"Then?" tanyaku acuh di sela kesibukanku memasukkan charger dan tempat make upku ke dalam tas.

"Ini serius. Kau punya pacar baru? Ah, kau payah!"

"Apanya yang payah?"

"Kau tidak akan menghabiskan sisa waktumu bersama kami lagi. Kau hanya akan memikirkan pacar barumu. Tapi lebih dari itu, aku kalah start." Dia berkata dengab nada sendu yang dibuat-buat. Itu membuatku segera melemparnya dengan gulungan tissu bekas lap tanganku.

"Amme! Astaga, kau ini wanita. Tapi tidak ada lembut-lembutnya!" pekik James dengan mata melebar. Dia sudah hafal tapi dia masih saja histeris. Aku hanya menjulurkan lidah lalu beranjak meninggalkannya.

Aku harus segera sampai di rumah. Karena sejak semalam, akan ada orang yang membutuhkan aku untuk segera pulang. Ini tentang janjiku padanya. Menggantikan kakinya yang tidak bisa berfungsi lagi.

Beruntung jalanan sore ini mendukungku untuk segera sampai di rumah. Tapi sebelumnya aku menyempatkan diri untuk berhenti di sebuah restoran, memesan beberapa makanan untuk makan malam kami. Begitu selesai, aku segera melajukan mobilku lebih cepat dari biasanya.

Langkahku tercipta lebar-lebar menelusuri koridor menuju ke flatku. Tanganku memencet sederet angka password kemudian melangkah masuk. Tujuanku langsung pada kamarku. Kuharap tidak terjadi masalah dengan pria itu.

"Hai," sapaku menjulurkan kepalaku ke dalam. Aku mendapati dia tengah berbaring dengan bantal tinggi, menonton TV. Dia menoleh kepadaku sekilas lalu kembali pada layar TV.

"Kau baik-baik saja?" tanyaku sambil melangkah masuk, meletakkan tasku di sebuah rak. Aku menoleh padanya ketika dia tak kunjung menjawab.

"Aku masih hidup kan?" ucapnya datar.

Aku menghela napas. Sudah biasa dengan responnya. Tidak perlu kusahuti lagi. Aku mengedikkan bahuku lalu beranjak ke kamar mandi untuk mengganti pakaianku juga membersihkan diri dari debu dan make-up.

Adalah sebuah hal yang mustahil ketika aku mendapatkan respon hangat darinya. Dia pernah mengatakan ini sebelumnya. Bahwa jangan mengharapkan sikap hangat darinya karena aku tidak lebih dari pengganti kakinya. Awalnya kupikir dia becanda. Tapi ternyata ini sebuah kesungguhan. Jadi, apapun itu sudah menjadi sebuah resiko dari apa yang sudah kuputuskan. Aku hanya perlu mengambil sikap sewajarnya.

Aku mengembuskan napas, menatap diriku di cermin. Masih basah dengan air. Aku tersenyum tipis pada bayanganku. Sekali lagi aku menatap diriku di sana lalu mengambil handuk, mengelapnya perlahan.

Aku baru akan meletakkan kembali handuk kecil itu ketika pintu kamar mandi terbuka. Untung saja aku sudah selesai segalanya. Aku melihat dia duduk di kursi rodanya, menatapku dari ambang pintu.

"Kau membutuhkan sesuatu?" tanyaku mendekat.

"Ya. Aku ingin mandi."

"Kau bisa menunggu sebentar. Biar kusiapkan airnya." Aku bersiap berbalik kembali.

"Aku tidak bisa mandi di bathup. Kau akan kesulitan untuk mengangkatku."

Aku menahan napasku. Sejenak aku terdiam. Hanya menatapi bathup. Benar-benar kacau. Aku bahkan tidak pernah berpikir jika kehidupanku akan mengalami jungkir bali se-ekstrim ini.

Aku mengusap wajah, pelan, sebelum kembali menoleh padanya. Sedang dia tengah duduk termangu menantiku di atas kursi rodanya. Aku berputar ke belakangnya, mendorong kursi rodanya.

"Kau bisa duduk di kepala bathup tanpa harus terjun ke dalamnya. Kau masih bisa mandi. Okay, sepertinya aku perlu merenov sebagian kamar mandi untuk memudahkanmu bergerak," ucapku dengan selintas ide konyol, menyuruhnya untuk duduk di kepala bathup. Sungguh hanya itu yang terlintas di kepalaku sekarang.

"Kau pikir ini lelucon?" dengusnya.

"Aku serius. Hanya ini cara yang terlintas di kepalaku. Kau ingin mandi kan? Nah ini cara yang paling baik."

Aku tidak mempedulikan bicaranya lagi. Yang kulakukan saat ini adalah mengalungan lengannya di leherku, menariknya untuk bangkit lalu mengarahkannya untuk duduk di kepala bathup yang kebetulan menyisakan sedikit ruang. Setelahnya aku menyiapkan segela peralatan mandinya. Lalu menyalakan shower untuknya. Aku membiarkan dia yang setengah telanjang basah oleh air.

"Kau bisa melanjutkan mandimu. Ketika kau selesai, segera panggil aku. Kau mau pintu kututup rapat atau biarkan terbuka sedikit?" tanyaku seraya meletakkan handuk di tangan kursi rodanya. Aku beruntung kali ini ketika memilih flat dengan kondisi kamar mandi yang cukup luas.

"Sisakan sedikit. Itu akan memudahkanmu mendengar panggilanku," sahutnya.

Seperti biasa. Dia yang selalu ingin benar. Itu pendapatku mengenai dia. Aku hanya bergumam meng-iyakan kemudian meninggalkannya.

Aku meneliti kamarku, lebih tepatnya apa yang kusediakan untuknya sebelum tadi pagi aku berangkat bekerja. Di sebuah meja kecil di samping tempat tidur, aku menemukan teko air yang hampir habis padahal tadi pagi aku mengisinya penuh. Juga beberapa piring kotor.

Aku tersenyum kecil. Terima kasih untuk kerja sama yang baik, gumamku dalam hati. Dia tidak begitu merepotkan. Apa yang kusediakan sudah dia habiskan. Hanya tersisa beberapa buah. Aku segera memberesi perangkat kotor itu.

Kau datar. Kau tidak ramah. Tapi aku tahu, hatimu tidak mungkin seangkuh ekspresimu, batinku. Aku hanya percaya suatu saat dia akan mengubah sikap dinginnya. Entah dengan siapa.

"Aku sudah selesai!"

Aku mendengar suaranya samar dari dalam kamar mandi saat aku ingin mengemasi perangkat makan yang kotor ke luar kamar. Itu membuatku meletakkan kembali di tempatnya.

"Aku datang," seruku seraya menyambar tissu untuk mengelap tanganku lalu melemparnya ke tempat sampah di bawah meja samping tempat tidur.

Aku bergegas menuju ke kamar mandi sebelum dia berseru lagi. Juga sebelum dia memasang wajah kakunya. Aku mendapati dia sudah berbalut handuk, masih dengan sedikit sisa air di tubuhnya. Sementara celana boxernya yang basah dia letakkan di sudut bathup. Kerja yang bagus, batinku tersenyum demikian.

"Sudah selesai?" tanyaku basa-basi.

"Menurutmu?"

Aku tersenyum lebar, "Sepertinya sudah. Baiklah, kemarikan tanganmu."

Kali ini dia sendiri yang mengalungkan tangannya padaku. Kullihat dia berusaha mengangkat tubuhnya demi meringankan bebanku.

"Aku sudah menyiapkan pakaianmu. Setelah itu kau bisa kembali beristirahat. Atau kau butuh sesuatu?"

"Tidak. Tapi besok jadwalku untuk check up. Meskipun aku tahu itu tidak akan mengubah keadaan," ucapnya, membuatku terdiam ketika -entah ini hanya perasaanku saja atau memang benar- suaranya terdengar sendu.

Tapi ekpresi wajahnya tetap dingin. Itu membuatku menahan napas selama beberapa saat. Hingga kemudian tanganku menepuk pelan satu sisi bahunya dan memberinya usapan lembut di sana.

"Aku akan mengantarmu pagi-pagi."

"Tidak. Kau tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Kau bekerjalah seperti hari ini."

"Miguel,"

Dia tidak menyahutiku, malah berlalu dari hadapanku. Tangannya sedikit bersusah payah menggerakkan kursi rodanya.

"Baiklah, kita akan bicarakan ini setelah aku menyelesaikan pekerjaanku," ucapku memutuskan seraya melangkah mengejarnya.

"Tidak perlu. Kau bisa bekerja seperti hari ini. Itu keputusanku. Kau kakiku. Tapi juga orang yang akan menanggung hidupku. Jadi, anggap saja aku sedikit meringankanmu. Sekalipun itu bukan hal besar. Aku bisa ke sana sendiri."

Aku terdiam menatapinya yang kini sedang mengenakan pakaiannya, masih di atas kursi rodanya. Tidak lama dia mengisyaratkan agar aku membantunya untuk berpindah ke tempat tidur.

"Okay. Kalau begitu kau bawa ponselku. Aku punya dua meskipun bukan barang mahal. Jika kau ada apa-apa segera telfon aku. Juga jika kau sudah selesai. Aku akan menjemputmu."

"Tidak. Berikan saja alamat kantormu," ucapnya sambil membenahi letak tubuhnya bersandar di kepala ranjang.

"Kau butuh bantal tambahan?" tanyaku.

"Ya. Satu saja."

Aku segera beranjak menuju ke lemari, mengambil bantal cadangan yang sengaja kusimpan di sana. Tanganku sedikit menahan tubuhnya sambil menyelipkan satu bantal di punggung atasnya. Dia bergerak kecil mencari titik ternyaman untuknya.

"Aku akan memberikannya juga. Tapi tolong, kabari aku begitu akan selesai. Aku akan menjemputmu. Ini tentang janjiku," ucapku mengingatkan.

"Lebih baik kau istirahat. Aku akan memanggilmu nanti jika aku membutuhkan sesuatu," sahutnya menghindar. Dia bahkan lebih memilih menatap layar datar yang sedang menayangkan sebuah movie thriller.

"Okay. Panggil aku jika kau membutuhkan sesuatu," ucapku kembali mengalah lalu beranjak pergi. Tapi sebelumnya aku mengambil perangkat makan kotor.

"Masakanmu enak," ucapnya tiba-tiba begitu aku mencapai pintu.

Aku berhenti seketika, menoleh kepadanya. Tapi tidak ada reaksi selanjutnya. Dia terlihat fokus pada TV.

"Kau bicara sesuatu?" tanyaku memastikan.

Dia mengedikkan bahunya, menatapku sekilas. Lalu kembali menatap layar TV. Ekpresi tanpa dosanya, kembali membuatku mengatupkan mulut. Bahkan tanganku kini mencengkeram nampan.

"Filmnya bagus. Itu saja. Kenapa? Ada yang salah?"

Bahuku merosot dalam diam. Aku mengembuskan napas. Bukan kecewa. Tapi menahan geram. Bagaimana mungkin aku bisa terjebak untuk hidup bersama dengan seorang pria berkarakter aneh seperti dia. Aku baru menjumpainya sekarang.

"Ini salahmu, Ash. Kalau saja kau tidak berkeliaran tanpa Kendrick, mungkin kau tidak akan melakukan kesalahan ini," gerutuku seraya bergegas.

Tapi baru saja beberapa langkah keluar dari kamar, aku mendengar suara benda jatuh dari kamar. Apa lagi yang terjadi? Aku segera berbalik kembali ke kamar. Tanganku mendorong pintu, lalu menjulurkan kepalaku ke dalam.

"Apa yang jatuh?" tanyaku.

"Tidak ada. Hanya remote TV."

"Astaga, kupikir kau jatuh," desahku menghela napas.

"Kau berpikir aku jatuh karena ingin mengejarmu? Dalam mimpimu, Nona," sahutnya sinis.

Miguel!!! Erangku dalam hati sebelum menghentakkan kaki, bergegas meninggalkannya. Untuk apa pula aku berharap dia akan mengejarku? Lenguh batinku.

***

Tbc
21 agustus 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance