5


Caption dalam foto itu, aku tidak tahu kenapa dia tidak mau lari dari pikiranku. Malah rasa penasaran itu semakin kuat. Entah siapa yang sudah meninggalkannya. Seorang pria bisa merasa angat kehilangan seperti itu. Dia kekasihnya atau istrinya?

Aku menghela napas di antara otakku yang bekerja mencoba menebak-nebak pemilik pusara itu. Sesekali tanganku mengetuk-ketuk bulatan kemudi. Kupikir dia adalah seorang pria yang dulu memiliki dunia yang sempurna. Aku sempat melihat beberapa postingan tulisan milikny tadi. Dia berkata bahwa apa yang dia sudah miliki saat itu adalah sudah sangat cukup untuk disebut sempurna. Beberapa foto perjalanan dengan senyum lebar sangat menjelaskan bahwa dia sangat bahagia.

Begitu sampai, aku langsung melangkah lebar menuju flatku. Tanganku meraih laptop sambil bersila di sofa single tanpa melepas sepatuku. Jariku mulai mengetikkan nama pria itu pada jejaring sosial yang tadi kutemukan akunnya. Aku menjelajahi hingga ke beberapa tahun ke belakang. Melihat satu persatu yang tersisa di sana. Sayangnya aku tidak mendapati seseorang wanita yang bisa kuasumsikan sebagai kekasih atau bahkan istrinya. Hanya foto tentang dirinya juga satu foto bersama sepasang orang tua berlatar gunung salju. Kupikir dia adalah seseorang yang menyukai perjalanan. Tapi aku tidak menemukan apa yang menjadi profesinya kala itu.

Aku terdiam, mengingat bagaimana ekspresi wajahnya, sorot matanya juga gesture tubuhnya. Dia yang kuajak bicara tadi pagi, aku bisa menyimpulkan sementara bahwa pria itu keras dan kaku. Sorot mata kelabunya datar, tidak menunjukkan ekspresi apapun. Meski terkadang kilat marah hadir tertuju padaku. Gesture tubuhnya tidak menunjukkan bahwa dia ingin segera pulih, setidaknya, sekalipun tahu bahwa dia tidak akan bisa berjalan lagi. Karena yang kutahu seseorang pada umumnya akan berusaha keras untuk survive sekalipun tahu bahwa kemungkinan itu tidak ada. Tapi ini tidak menunjukkan hal itu. Dia seperti ada banyak hal yang sengaja dia pendam begitu saja. Tidak melepaskan, tidak juga dia biarkan larut untuk dirasakan, entah apa itu. Kupikir itu adalah sesuatu yang besar. Mungkin ada kaitannya dengan si pemilik pusara itu. Bisa jadi kan?

Aku baru akan melanjutkan mengorek akun itu lagi ketika bel pintu terdengar dipencet seseorang dengan brutal. Yang kutahu satu-satunya pelaku yang sering hampir membuat bel pintu flatku rusak hanya Ashley. Tapi bukannya dia sedang menunggui pria itu. James, teman kerjaku tidak mungkin. Aku tahu dia sibuk dengan wanita-wanitanya. Treyvor? Kupikir pria itu sudah tenggelam bersama kapalnya di Antartika sana. Aku sudah lama tidak berhubungan dengannya lagi.

Aku beranjak dengan sangat malas membukakan pintu untuk si tamu yang sungguh tidak tahu sopan santun. Tapi sebelumnya aku memutuskan untuk melihat dari layar di dinding yang sengaja kupasang untuk melihat siapa yang datang. Aku menegang dalam diam ketika melihat dua orang di depan pintu. Hal yang tak pernah kubayangkan akan terjadi secepat ini dan aku sama sekali tidak menduga sebelumnya. Sejenak aku hanya menatap layar itu. Terlihaat jelas satu di antaranya sudah menampakkan wajah kesalnya. Aku kembali tersadar ketika tangan itu kembali memencet bel pintu. Kali ini dengan segenap kesalnya.

Hal yang kulakukan tidak langsung membukakan pintu untuknya. Tapi kembali berlari ke dalam, menutup laptopku dan meletakkannya di meja sudut kamar, tempat biasa kusebut meja kerja. Setelah itu baru aku kembali untuk membuka pintu.

"Kenapa lama sekali?!" dengusnya kesal begitu aku muncul membukakan pintu. Aku melihat satu tas di pundak Ashley. Dia tidak pernah berubah lembut mengenai memencet bel pintu flatku sekalipun aku sudah sering menegurnya.

"Ini? Sekarang?" Aku menatap dua orang itu secara bergantian dengan cukup bingung. Entah apa yang sudah terjadi. Yang kutahu hari ini bukanlah saatnya pria itu keluar dari ranjang rumah sakit itu. Sekarang dia ada di hadapanku, menatapku malas di atas kursi rodanya.

"Dia memaksa untuk pulang hari ini. Tapi sebelumnya biarkan kami masuk," jawab Ashley sambil mendorong Miguel, berlalu di hadapanku seperti ini juga rumah mereka berdua. Aku bahkan sempat terbengong, tergeser dari tempat berdiriku.

"Ash! Setidaknya kau bisa menelponkku lebih dulu kan?" seruku sambil menutup kembali pintu itu lalu menyusul dua orang itu.

Tidak ada sahutan dari salah satupun. Aku mengembuskan napas kasar,


sedikit menghentakkan kaki dalam langkahku. Tapi sesaat kemudian bahuku merosot. Entah melihat kedatangannya, membuatkku sedikit merasa asing dengan reaksiku sendiri. Bukan tidak menyukai kedatanngannya. Hanya saja kupikir waktunya kurang tepat. Karena aku sedang mencari tahu siapa dirinya.

"Aku berniat memberitahumu. Tapi kupikir dia sama kerasnya denganmu. Dia meninggalkanku dengan kursi rodanya. Aku ingin mengantar ke rumahnya tapi sepertinya aku ingat aku harus membawanya kemana. Setelah ini jika kau akan mengantarnya ke rumahnya, tidak apa-apa. Kau bisa bicara dengannya bagaimana baiknya. Tapi kupikir setelah dia istirahat. Dia masih harus banyak istirahat. Rumah sakit membuatnya bosan." Ashley menjelaskan kronolgi bagaimana dia bisa membawa pria itu kepadaku dengan suara pelan setelah dia menutup rapat pintu kamarku, meninggalkan pria itu di dalam.

Aku meraup wajah dengan satu tangan. Bagaimana ini bisa terjadi secepat ini? Setelah sepagi tadi aku baru saja membuat sebuah kesepakatan dengannya. Aku meninggalkannya menuju ke dapur, menghampiri lemari pendingin, mengambil satu botol kecil juice lalu meneguknya. Aku mendengar langkah kaki mendekat.

"Kau marah dengan apa yang kulakukan? Amme, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah tadi aku mendapati dia berdebat dengan dokter ingin segera keluar dari rumah sakit pagi ini juga. Dokter membolehkannya pulang dengan syarat rawat jalan. Amm,"

Aku menarik napasku dalam-dalam sebelum membalikkan badan, menghadap pada gadis itu. Aku menemukan tatapan putus asa darinya. Aku masih diam, meletakkan botol di atas meja, masih tersisa setengah. Dan dengan cepat Ashley mengambilnya, meneguknya hingga habis.

"Aku tidak marah. Hanya saja ini membuatku sangat terkejut. Ini terlalu tiba-tiba. Kupikir kalau kau menelponku dulu, aku bisa menjemput kalian. Kita bisa membicarakan bagaimana baiknya. Lagipula... bagaimana bisa aku membiarkan dia tinggal di kamarku dengan kondisi kamar memprihatinkan. Seharusnya kau bilang dulu, aku akan membersihkannya dulu. Paham?"

Aku melemparkan tatapan sebalku pada gadis itu ketika dia dengan lancang mentertawakan keburukanku. Aku mengakui cukup jorok. Karena mungkin aku hanya merapikan kamarku hanya paling banyak empat kali dalam sebulan. Saat akhir pekan tiba dan aku memiliki waktu bebas dari pekerjaanku. Aku mengakui memang sangat payah.

Tapi menyadari kepayahanku, bagaimana aku bisa menawaarkan diri untuk menanggung hidup seseorang? Aku menelan ludahku susah payah tanpa Ashley menyadari.


"Kamarmu tidak terlalu buruk. Kau hanya perlu membuang buku-bukumu dari tempat tidurmu. Memangnya kau tidur di dalam rak buku? Sampai buku-bukumu pindah ke tempat tidur. Anyway, tempat tidurmu cukup untuk berdua. Tubuhnya tidak terlalu besar. Jadi kau tidak perlu khawatir akan tidur di mana. Sudah lama kan kau tidur sendirian tanpa Treyvor?" ledeknya hampir membuatku terjerembab.

Aku memang sengaja membeli tempat tidur yang lumayan besar untukku sendiri. Saat membelinya aku tidak pernah terpikir akan menggunakannya untuk berdua. Aku mengatupkan mulutku, mengutuk pikiran sialan milik Ashley. Entah bagaimana bisa dia berpikir sampai sejauh itu.

"Aku masih bisa tidur di sofa. Tapi kupikir bukan ide yang buruk untuk berbagi tempat tidur selagi dia mengijinkan. Bisa jadi kalau aku terlalu percaya diri tidur di sampingnya begitu saja, dia akan mendorongku hingga jatuh. Kau paham bagaimana arti tatapannya." Aku tersenyum masam. Mata kelabu itu tidak lepas memberikan tatapan marahnya. Aku berusaha memahami itu karena aku adalah teman dari orang yang sudah membuatnya lumpuh seumur hidupnya.

"Aku membutuhkan air untuk minum."

Aku terbungkam, segera menoleh ke sumber suara. Aku mendapati tatapan datar dari pria itu. Sedang aku memberikan tatapan waspada. Bukan apa-apa, aku hanya berharap dia tidak mendengar apa yang kami bicarakan. Aku tidak ingin dia merasa tersinggung dan sejenisnnya.

"Ada. Aku akan mengantarnya. Kau melanjutkan istirahatmu. Apa kau butuh sesuatu yang lain?" tanyaku sedikit gugup.

Dia hanya menggeleng samar lalu meninggalkan kami. Aku melihat kedua tangannya masih kaku ketika ingin menggerakkan kursi rodanya. Keadaannya jujur saja menarik rasa iba juga bersalah dari dalam hatiku. Sekalipun aku tahu ini bukanlah kesalahanku. Juga postingan gambar pusara ikut melengkapi kecamuk pikiranku.

"Semoga dia tidak mendengar apa yang kita bicarakan," gumam Ashley.

Aku berharap demikian. Tapi aku tidak menyahuti gumaman Ashley. Aku segera mengambil satu teko air putih lengkap dengan gelas dalam satu nampan lalu membawanya ke kamarku. Aku mendapati pria itu termenung di depan jendela kamarku. Kupikir aku akan mendapatinya sudah istirahat kembali di tempat tidurku, tetapi tidak.

"Kau butuh bantuan untuk kembali ke tempat tidur?" tanyaku ragu, takut dengan reaksi yang akan kuterima.

"Terima kasih," ucapnya datar tanpa menoleh kepadaku sedikitpun. "Kau bisa meninggalkannya di meja. Aku akan mengambilnya sendiri nanti."

"Miguel,"

"Kalau aku membutuhkan sesuatu aku akan memanggilmu lagi."

Oh. Baiklah. Ini kuanggap isyarat halus bahwa aku harus segera meninggalkannya sendirian. Aku mengangguk-angguk lalu beranjak meninggalkannya. Saat aku hampir menutup pintu kamar, dia kembali membuka suaranya. Juga tanpa menoleh kepadaku sedikitpun.

"Kau bisa menempati tempat tidurmu nanti malam. Aku tidak mungkin tidur bergerak dengan liar dengan keadaanku yang seperti ini. Lagipula ini akan memudahkanku saat nanti aku membutuhkan bantuanmu malam-malam."

Aku ternganga dalam diam. Apa mungkin dia mendengar apa yang kami bicarakan tadi? Aku baru akan membuka mulut ketika dia kembali berkata.

"Kau bisa menutup pintunya sekarang."

"Apa kita bisa membicarakan ini dulu?"

"Mungkin nanti."

***

Kamis 27 Juli 2017

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance