30

Sepasang telapak tangan seperti menghalangi sinar matahari dari wajahku. Entah sudah berapa lama aku berbaring terpejam di atas rumput menghadap ke danau. Tubuhku menegang dalam diam mengetahui aroma parfum dari seseorang itu memenuhi penciumanku. Alih-alih membuka mata, aku lebih memilih menepis tebakan yang terlintas di kepala. Itu tidak mungkin. Ya, sangat tidak mungkin dia berada di sini. Ini adalah tempat persembunyian paling aman seumur hidupku.

"Kau di sini? Aku mencarimu kemana-mana. Kau pergi begitu saja," katanya membuka suara.

Ya Tuhan. Seketika tubuhku seperti dihempas keras. Aku remuk. Pelarianku kali ini sia-sia, untuk yang pertama kalinya aku gagal menyelamatkan jiwaku untuk tetap baik-baik saja. Entah darimana dia tahu aku berada di sini. Mungkin Ash yang memberitahu? Bagaimana mungkin pengantin baru itu menjadi penghianat?

"Amme?" panggilnya saat aku masih saja terdiam.

Perlahan aku membuka mata. Menemukan dia entah sialnya dia begitu tampan. Aku mendengkus, lebih kesal pada diriku sendiri yang masih saja lemah.

"Pulanglah. Aku sedang ada urusan kecil. Kau, tunggulah di sana," lirihku memalingkan wajah darinya.

Kudengar dia menghela napas panjang. Keberadaannya memaksaku untuk bangun, terduduk menjaga jarak. Sepasang tongkat menyangga tubuhnya. Aku ingin berdecak sinis dengan fakta kepura-puraannya. Tapi tidak ada yang keluar sedikitpun. Yang ada hanya kediamanku.

"Aku... Aku tahu, Amm. Aku datang untuk mengakui, bahwa mungkin aku sudah sangat menyakiti hatimu," ujarnya menatap lepas ke danau.

Udara segar yang sejak beberapa saat lalu kunikmati seolah kini berubah cepat. Menghimpit dadaku, menimbulkan sesak bahkan tenggorokanku seperti tercekik. Sesakit ini? Aku mengerti dan tidak menyalahkan diriku sendiri yang belum bisa menerima kekecewaan ini. Mungkin terdengar lucu, mengapa aku harus merasakan sakit kalau diingat ingat dia tidak pernah mengikatku dalam sebuah hubungan normal. Dia hanya mengikatku dalam sebuah sumpah. Yang aku tahu bahwa sumpah itu penuh kepura-puraan, agar rencana yang tersusun berjalan sesuai rencana. Dalam hati aku meringis, menyadari semua yang kulakukan untuknya selama ini membawa serta perasaan dalam sebentuk harapan. Harapan di suatu hari nanti kami akan bersama bukan karena sumpah. Menerima dia apa adanya. Sungguh manis bukan?

"Kesalahan apa sampai kau bersedia datang ke sini untuk meminta maaf?" sekilas mataku serasa berkilat seiring dengan gemuruh di dadaku.

Terdengar helaan napas darinya. Akan tetapi aku enggan untuk meliriknya meski hanya sedikit. Aku terlalu sibuk menata diri menutupi kesesakan itu.

"Aku tahu hari itu kau datang. Petugas menanyaiku apa aku sudah bertemu denganmu? Apa kau mendengar kami?"

Aku menundukkan kepala. Tersenyum tipis, ingin mentertawai keadaan ini tapi semua lenyap begitu saja. Tidak ada lagi tenaga untuk mengeluarkan tawa.

"Ya," jawabku parau.

"Dan karena ini pula kau meninggalkan semuanya bukan?"

"Ya. Kau boleh tersenyum lega. Kau boleh pergi setelah ini. Sebaiknya begitu, ya, begitu," ucapku nyaris terbata.

"Kalau aku tak ingin pergi?"

"Menunggu kematianku?" sinisku.

"Kau terdengar sangat membenciku," ujarnya menohok tepat ulu hatiku. Ya! Seratus persen dia benar. Itu kenyataan yang tidak bisa kuhindari.

Kepalaku menolah seketika, disertai napas memburu. Semua kemarahan itu menguar tak terbendung.

"Untuk orang sepertiku, adalah sangat wajar. Kau membohongiku berkepanjangan. Aku tidak tahu motif apa dan keuntungan apa yang kau inginkan dari keadaan ini. Yang harus kau tahu, orang-orang sepertimu adalah pemicu orang-orang baik berubah menjadi kejam. Apa kau menginginkan itu sekarang? Apa kau...,"

Napasku tersengal-sengal. Untuk beberapa saat kemarahan itu keluar dengan sangat lancar. Selanjutnya terhalang dengan kediamanku. Tidak tahu, melihat dirinya tepat di manik mata itu, semuanya lenyap. Entah alasan apa, aku seperti membiarkan diriku merasakan semuanya sendiri.

"Kau tak berniat memukulku? Melampiaskan kemarahanmu?"

Tanganku mengusap wajah yang sudah basah bersamaan dengan kemarahan itu menggelegak. Pertanyaan yang semakin memojokkanku dalam kebodohan.

"Untuk apa? Apa memukulmu bisa mengembalikan keadaan? Miguel, aku membelamu dari mereka yang katamu ancaman bagimu. Menemanimu, mendorong-dorong kursimu, membayar semua biaya terapi. Bahkan menggelontorkan uang untuk keamanan ekstra. Yang nyatanya kau tidak benar-benar dalam kondisi itu. Mereka-mereka yang kubayar bahkan orang-orangmu sendiri. Aku memang sebodoh itu. Aku mengerti kalian pasti tertawa keras sekarang.  Lalu untuk apa kau datang? Menjadi pahlawan untuk siapa? Aku perlu mengeluarkan uang berapa dollar lagi?"

Masih teringat jelas. Semua yang pernah kami lalui dulu. Ah, bukan. Tepatnya aku. Tidak peduli berapa banyak yang harus kukorbankan.  Semua demi dia agar bisa kembali baik-baik saja. Itu dulu. Saat aku belum tahu mengenai kebodohan ini.

"Kau tidak perlu berkorban banyak lagi. Tapi setelah ini, aku benar-benar meminta, aku ingin kau pulang. Kita bersama-sama lagi. Kali ini aku tidak berbohong..."

"Kau berharap aku percaya? Pulanglah. Jangan mempersulit keadaan. Aku tidak akan menuntut apapun darimu. Aku mencoba untuk menerima. Tapi biarkan sampai di sini. Perlahan aku akan belajar melupakan semuanya. Suatu hari nanti, pasti akan kembali baik."

Aku beranjak, merapatkan sweater. Berjalan cepat tanpa menoleh kembali. Bahkan tidak memberikan Miguel kesempatan untuk menjawab. Aku hanya tidak ingin semakin terberai. Mendengar suaranya, melihat dirinya, menghirup aroma tubuhnya, hanya membuat sakit dan rindu itu bergelut di dalam diriku. Rasanya benar-benar menyakitkan. Sudah, kupikir memang sebaiknya cukup sampai di sini saja.

***

Tbc.
28 Juli 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance