29

Rumah yang didominasi dengan kayu itu membuatku menarik napas dalam-dalam. Aroma kayu dari Williamstone bercampur dengan aroma danau yang tak jauh membuatku seperti sedang terlolosi satu persatu beban yang ada di kepala.

Mungkin lebih tepatnya ini adalah tempatku berlari sejak dulu. Menyendiri di sudut kota Berkshires bagian utara, Williamstone. Sampai pernah aku dengan konyolnya ingin menghabiskan masa tua di sini. Aku berlari ke sini ketika orangtuaku pergi bersama-sama dari dunia ini tanpa memikirkanku. Aku pun berlari ke sini ketika Treyvor mengkhinanatiku. Dan sekarang aku ke sini untuk mengakhiri sendiri.

Aku melangkah pelan mengamati rumah yang nyaris tidak ada perubahan. Mereka mengurusnya dengan baik.

"Anak nakal! Beraninya kau kembali setelah menghilang tanpa kabar!"

Seorang wanita tua menyambutku dengan alis menukik sambil menyeret kaki menghampiriku. Ya, lebih dari dua tahun aku menghilang tanpa kabar setelah merasa kehidupanku mulai membaik. Wanita tua yang mengurus rumah ini, teman dari ibuku.

"Bibi Lana," sapaku meringis kaku.

Yang kudapati ketika wanita itu berjarak satu jengkah adalah tumpukan air mata yang siap jatuh. Seketika rasa panas menjalar di pelupuk mataku. Aku mulai memahami rangkaian kejadian-kejadian yang berakhir membawaku pada rumah masa kecil. Bahwa Tuhan menegurku karena sudah melupakan orang yang seharusnya kupedulikan seperti dia adalah pengganti ayah ibuku. Wanita yang masih melajang hingga rambutnya penuh uban dan kulitnya mengeriput.

Kurasakan tangannya gemetar terulur ingin memelukku. Aku tahu itu rasa rindunya. Lututku jatuh bersamaan dengan tangis ketika pelukannya terasa dalam.

"Apa yang membuatmu kembali? Mereka kembali menjatuhkanmu? Tak apa. Tak apa aku masih di sini. Aku tidak akan kemana-mana dan kau akan segera baik-baik saja."

"Apa aku terlambat pulang?"

"Kau masih mendapatiku di sini. Artinya kau belum terlambat benar. Ayo, kau tidak merindukan kamarmu, eh?"

Aku meringis tipis, mengekori langkah Bibi Lana menapaki lantai kayu yang berlapis karpet abu-abu. Ada banyak kenangan yang kukubur di sini. Dan semuanya dalam bentuk luka. Sialnya, kali ini pun aku kembali dengan hal yang sama. Sebentuk kekecewaan dari harapan yang kubiarkan tercipta sendiri, berdiri megah pada jenakanya orang itu. Pada seseorang yang salah tujuan.

"Kuharap kau tak akan pernah pergi lagi, Amme. Sudah cukup kau membuatku lelah menjulurkan leherku setiap sore kali-kali kau akan datang seperti kali ini," gerutu Bibi Lana sembari membukakan pintu bercat putih. Macrame yang tidak lagi berwarna putih bersih itu, masih tergantung di depan pintu kamarku.

Semua masih sama, seperti saat sebelum aku melangkah pergi beberapa tahun silam. Aku menarik napas panjang, membiarkan udara yang dulu pernah menjadi bagian napasku memenuhi rongga pernapasan.

"Di sini memenangkan," lirihku mulai melangkah masuk, menatap sekeliling kamar. Aku menghampiri jendela, membuka gorden lebar-lebar dan berdiri di sana. Aku pernah sangat menyukai ini di saat-saat terpuruk itu. Embusan angin danau, aroma airnya dan pemandangannya adalah keterkaitan yang selalu menjadi obat.

Tidak ada suara lagi. Aku tahu, wanita itu sudah meninggalkanku. Membiarkanku kembali berbaur dengan semua hal itu. Atau lebih tepatnya memberiku ruang untuk sendiri. Ah, wanita itu selalu tahu kalau aku selalu datang dengan ketidakbaikan hati.

***

Pagi ini, seharusnya aku memberi kabar pada Ashley. Tidak, seharusnya kemarin ketika aku sampai. Akan tetapi sama sekali tidak kulakukan. Bahkan menyentuh barang canggih itu pun tidak. Dia masih tersimpan di tas. Entah masih hidup atau sudah kehabisan daya.

Tanganku merapatkan cardigan sembari berjalan di tepi danau tanpa alas kaki. Kali ini kubiarkan rumput-rumput hijau itu bergesekan langsung dengan telapak kaki. Bibirku nyaris tersenyum ketika tengadah menatap langit. Aku ingin merelakan semuanya. Aku ingin memaafkan dia. Juga memaafkan diriku sendiri yang sudah lancang membiarkan harapan itu begitu jumawa menguasai diriku.

"Di suatu hari nanti, baik kau maupun aku, akan mengerti mengapa kita berada di situasi seperti ini," gumamku dalam hati. Sial, sesak itu kembali merayu hatiku untuk membiarkannya seperti nyata.

Jika saat ini kau di sana sedang bertanya mengapa aku pergi, atau kau merasa menyesal mengapa kau tidak berhenti saja waktu itu saat tahu tujuanmu salah, dengarkan aku, karena mungkin Tuhan ingin memberitahu kisah kita di masa depan. Di suatu hari nanti agar kau ingat untuk tidak pernah mengecewakan seseorang lagi. Begitupun aku, agar di suatu hari nanti, lebih bisa memilih seseorang yang tulus mau membangun kisah.

Miguel, kisah kita manis. Tapi sayangnya tidak nyata. Apa kau tahu caranya memberi maaf pada diri sendiri?

Aku tahu hidungku sudah merah kali ini, menahan air mata yang sudah merebak sekaligus sesak di dada. Lucu memang, pagi ini aku tanpa bra namun entah masih saja sesak itu menyelimuti dadaku.

"Kau membuatku berdebat dengan Kendrick untuk mengubah tujuan bulan maduku!"

Sebuah suara bernada kesal hadir dari belakang. Aku tahu itu Ashley. Yang tidak kutahu, bagaimana dia bisa ke sini? Aku masih berdiri menatap luasnya danau itu tanpa membalikkan badan atau menolehkan kepala.

"Aku baik-baik saja," lirihku.

"Kau baik-baik saja kalau kau datang ke pesta pernikahanku menjadi bridemaid seperti rencana awal."

"Dia datang?" tanyaku tanpa berbasa basi.

Samar terlihat dari sudut mataku, Ashley mengangguk lalu menundukkan kepala. Tangannya kurasakan menyentuh pundakku, memberikan usapan di sana. Tidak lama, kepalaku sudah bersandar di pundaknya.

"Dia membuat pengakuan juga penyesalan. Dia merengek agar aku memberitahu kemana kau pergi. Dia kehilanganmu."

Benarkah kau kehilangan aku, Miguel? Sementara aku bukan merasa kehilangan kamu. Atau merasa senang kau kehilangan. Tidak, ini murni sebentuk rasa kecewa. Hanya saja sakitnya luar biasa.

"Kau akan memaafkannya jika dia ada di hadapanmu?" tanyanya membuatku terdiam. Lalu terdengar tawa lirih dari Ashley, "Tentu saja tidak. Aku mengenalmu sangat jauh, Amm."

Aku mengangkat bahu. Mengapa dia harus datang ke hadapanku? Bukankah lebih baik seperti ini saja dulu? Suatu hari itu tidak harus ada di bayangan saat ini juga bukan?

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance