25

Kekasihku. Aku menyebut kata itu meluncur begitu saja tanpa memikirkan hal lain. Dan ketika kuingat kembali, tubuhku bergetar tanpa bisa kukendalikan. Batinku mentertawakan keberanianku yang lancang. Wah, bagaimana bisa? Mengakui dia sebagai kekasihku dengan alasan yang tidak mendasar.

Ah, tidak. Saat itu aku hanya ingin menegaskan pada Brittany untuk menjauh dari Miguel. Sedikit bernapas lega ketika pihak kepolisian mengeluarkan surat perintah perlindungan untuk Miguel. Wanita itu tidak akan bisa menyentuh Miguel lagi.

Tapi yang menjadi bebanku sekarang adalah sebuah kata yang terlanjur terucap. Bahkan beberapa kali Miguel menanyakan mengapa aku menggunakan kata itu. Mengapa tidak sepupu saja? Tahukah apa reaksiku ketika dia menanyakan itu? Ada sesak ketika aku mulai menyimpulkan Miguel tidak menyukai kata yang kugunakan. Memang hal wajar. Mana ada yang menyukainya? Seseorang mengakui dirinya sebagai kekasih tanpa persetujuan itu namanya ketidakwarasan. Hal gila.

"Kau tidak bekerja?" tanya Miguel membuka suara memasuki kamar kami dengan kernyitan penuh tanya.

Aku menoleh, mengulas senyuman tipis untuknya lalu beranjak turun dari tempat tidur. Berjalan menghampirinya yang segera menyambutku dengan uluran tangannya. Sementara aku segera membungkukkan sedikit tubuhku memudahkan dia meraih wajahku memberikan kecupan ringannya di pipiku. Ucapan selamat pagi spesial darinya katanya yang sialnya sudah menjadi rutinitas wajib di antara kami entah sejak kapan aku lupa.

"Tidak. Aku mengambil cuti sambil menemukan orang untuk menemanimu. Ashley atau Kendrick sekarang sedang sibuk mengurus pernikahannya yang sempat tertunda," jawabku sambil menegakkan kembali tubuhku.

"Tapi kau harus tetap bekerja. Aku akan baik-baik saja. Lelaki harus selalu menepati janji kalau ingin wanita tidak pergi kan?"

Aku menjatuhkan tatapan padanya tersenyum simpul. Sementara dia menatapku dengan kerlingan matanya.

"Oh, tentu saja. Kau selalu menepati janji dan kau akan baik-baik saja. Tapi," aku terdiam menarik napas panjang. Bukan meragukannya tapi lebih pada perasaanku. Ah, aku merasa dia terlalu banyak menyita ruang di dalam hidupku, "Aku hanya ingin memastikan. Lagipula, apa kau tahu caranya menghilangkan rasa khawatir itu?"

"Aku tahu," jawabnya cepat.

Mataku terbelalak. Wah, dia benar-benar membuatku ingin tertawa. Semangatnya begitu menggebu-gebu. Entah memang dia benar-benar sudah bisa bertahan atau hanya bersembunyi di balik semangatnya yang menggebu-gebu. Aku masih meragukan itu. Tapi binar matanya terus bekerja keras meyakinkanku.

"Oya? Beri tahu aku kalau begitu?"

"Kau harus mengakui aku dulu kalau aku kekasihmu," sahutnya tertawa menyeringai.

Ya Tuhan! Dia masih membahas itu lagi. Sementara aku berusaha keras untuk melupakan itu. Atau dia memang berniat meledekku? Benar-benar!

"Apa kau sedang meledekku, Tuan Miguel?" tanyaku menyipitkan mata, melipat tangan di dada. Memberinya tatapan menantang.

Aku hampir saja luruh ketika mendengar derai tawa renyahnya. Matanya nyaris terpejam karena tawanya. Dan kalau saja dia tahu aku sangat menyukai ekspresi wajahnya saat ini, bukan hanya suara derai tawanya.

"Ah, tidak, Nyonya Miguel. Hanya sedang mengajakmu untuk berkoalisi," jawabnya sambil meredakan tawanya. Matanya kini bahkan berair karena tawa.

"Ya!!! Kau meledekku saat ini!" Sahutku serta merta kali ini berkacak pinggang tidak terima.

"Ya sudah. Aku tidak akan memberitahu," jawabnya tidak mau kalah.

"Miguel!" erangku kesal saat dia melewatiku.

Aku mendengkus melihat tangannya terangkat melambaikan tangannya meraih remot di nakas untuk menyibak gorden. Ya, aku memutuskan untuk menghabiskan sebagian uang untuk merenovasi apartemenku dengan hal yang memudahkan Miguel. Ini tidak gila kan?

"Kekasihku. Kekasihku," sahutnya seperti bersenandung.

"Oh, baiklah. Baiklah aku mengalah. Kau kekasihku," sahutku membuatnya menoleh padaku dengan alis naik sebelah. Seperti dia meminta ulang untukku mengucap.

"Kau menang kali ini," dengusku kemudian mencebikkan bibir.

Ada senyum kemenangan di sana sebelum akhirnya dia meluncur menghampiriku. Tangannya menarik diriku untuk duduk di pangkuannya. Tidak mengerti mengapa dia selalu berhasil dengan hal-hal manis seperti ini.

"Kau hanya perlu mengubah kode passwordnya," bisiknya membuatku nyaris ingin mencekik dirinya.

Mengapa otakku jadi sedangkal itu? Hal gampang seperti ini bahkan tidak terpikirkan olehku. Sekali lagi dia menang kali ini.

"Kau tidak bisa marah padaku, Nyonya," katanya jumawa sambil membawaku meluncur keluar dari kamar.

"Tapi lain kali aku akan mengalahkanmu," sahutku menyimpan dendam.

"Coba saja kalau bisa," katanya terbahak.

Dalam diam aku mengamatinya dengan jarak yang begitu dekat. Tanganku kini sudah mengalung di lehernya. Kupikir dia akan marah ketika aku lancang menyebutnya sebagai kekasihku.

Untuk sesaat aku terdiam kaku dan segera menegakkan wajahku, membuang pandangan darinya ketika dia berhenti menoleh padaku. Menjatuhkan tatapannya padaku. Siapapun kalau diperhatikan secara intens pasti akan merasakan kan? Ya, aku tertangkap basah sedang mengamatinya.

"Apa yang baru saja kau lakukan dengan matamu?"

"Tidak ada!" sahutku cepat menahan gugup.

"Apa sulitnya bicara terus terang. Dasar wanita!" cibirnya sambil kembali meluncur.

Aku tersenyum masam. Tidak mau mendebat. Memang pada kenyataannya wanita sulit untuk bicara terus terang. Atau mungkin terlalu gengsi makanya selalu banyak menciptakan kode yang seringnya selalu menimbulkan salah paham. Miguel selalu menekankan ini. Tapi memang kuakui. Bicara terus terang itu sulit sekaligus gengsi. Sudah menjadi sifat dasar wanita jika mereka selalu ingin dimengerti bahkan tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Meski terdengar konyol tapi memang benar kan?

"Kekasihku," bisikku menyeringai di telinganya.

"Aku tahu. Kekasihmu akan segera menyiapkan sarapan untukmu. Kau harus bahagia untuk itu," katanya kemudian mengecup pundakku.

Terdengar lucu. Tanpa sesuatu hal, kata kekasih itu tersemat. Hanya karena insiden Brittany mengacaukan apartemenku. Entah aku harus memaki wanita itu atau malah berterima kasih untuk apa yang sudah dia akibatkan. Sebuah komitmen dadakan bernada lelucon.

***

Tbc
26 Februari 2019
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance