24

Di tanganku kini sudah ada sebuah pisau dapur dengan ukiran namanya. Sengaja aku memesan ini untuknya. Agar dia lebih semangat menjalani hari-harinya. Dia menjadi daftar prioritas utamaku sekarang sejak aku melihat perjuangannya. Bukan untukku tapi perjuangannya bertahan dari mimpi buruknya dan keadaannya yang sekarang.

Terus terang, keberadaannya perlahan menjadi berarti untukku entah sejak kapan. Masih ingat dulu ketika aku sendiri, dapur hanya kusentuh untuk menghangatkan makanan beku. Atau menyimpan beberapa minuman di kulkas. Tidak banyak aku menghabiskan waktu di sana. Sekarang, semua penuh dengan aroma Miguel. Tidak lagi pengap dan sunyi. Pulang bekerja sudah disambut dengan senyum Miguel dan berbagai makanan kreasinya di meja makan. Bagian dapur itu mendadak hidup bahkan menjadi bagian dari hidupku. Aku tidak mempermasalahkan ikatan. Bagiku dengan Miguel hidup bersamaku itu lebih dari cukup. Dan aku baru menyadari jika apa yang kulakukan tidak lagi mengenai tanggungjawab dan janji.

Aku berjingkat memasuki gedung apartemen itu menuju ke lift. Satu kotak berwarna abu-abu lengkap dengan pita begitu manis di tanganku. Sudah tidak sabar untuk memberikan ini padanya. Sebelum akhirnya langkahku terhenti dengan dering ponsel, mengurungkan niatku untuk masuk ke lift yang sudah terbuka.

"Ya, Ash?"

"Apa kau masih lama? Seharusnya kau sudah sampai di rumah. Bisakah kau cepat sedikit, hah?" Jeritan Ashley dengan isakannya menyambut sapaanku membuat tubuhku menegang kaku.

"Ya. Aku segera datang. Apa? Kau kenapa? Bertengkar dengan Kendrick?" tanyaku segera menekan kembali tombol lift. Aku harus menunggu lagi pintu itu terbuka untuk beberapa saat.

"Bukan aku! Wanita sinting itu berhasil masuk ke sini. Aku sedang menunggu petugas keamanan untuk datang!"

Apa yang dia katakan seperti merenggut seluruh oksigen di sekitarku. Napasku kini tersengal-sengal dan kepalaku berdenyut nyeri. Yang ada di kepalaku ini adalah sosok Miguel. Tidak! Tidak akan ada yang bisa menyakitinya! Tanganku kini menekan-nekan tombol lift dengan kasar. Lift turun seperti begitu pelan. Seperti mengajak becanda di suasana genting seperti ini.

Tidak tahu berapa lebar langkahku saat ini. Begitu keluar dari lift, aku berjalan seperti orang kesurupan. Tapi aku masih merasakan kotak pisau untuk Miguel masih di tangan kiriku. Tepat ketika aku sampai di depan flat, dua orang petugas keamanan dan seorang polisi patroli keluar dari flatku bersama wanita itu. Ada tatapan dengan aroma permusuhan di sana.

"Apa yang kau lakukan?" desisku dengan gigi bergemerutuk.

Dia berdecih, "Kau bertanya apa? Tentu saja mengambil apa yang seharusnya milikku!"

"Oh, kau sudah pulang. Syukurlah. Bisa kau ikut kami? Kau bertindak sebagai walinya kan?" ucap polisi patroli itu.

"Wali?"

"Ya. Pria yang tinggal bersamamu. Aku nyaris putus asa untuk menanyainya. Dia tak pernah menjawab. Temanmu juga akan menjadi saksi mata. Dia...,"

"Oh. Ya, Miguel adalah kekasihku. Dia tidak memiliki siapapun selain aku. Tentu saja aku bisa."

"Sialan!!! Dia milikku! Kau tidak bisa memilikinya!!!" jerit Brittany meronta ingin menyerangku dari dua petugas yang menjaganya.

"Amme! Amm!!!" Seruan dari dalam bernada ketakutan membuatku segera menoleh.

Tangannya terlihat jelas gemetar sambil mengayun meluncurkan kursi rodanya mencariku. Ashley melangkah cepat menyusulnya dengan wajah pias juga sembab. Aku tahu sahabatku begitu panik.

"Bisa kau bawa dia sekarang? Nanti aku akan ke kantor polisi untuk menjadi walinya. Saat ini aku harus bersamanya. Wanita itu pernah melakukan hal buruk yang membuat kekasihku trauma."

Petugas itu mengangguk segera membawa Brittany meninggalkan flatku. Kuharap setelah ini dia tidak berkeliaran lagi. Sangat buruk bagi Miguel jika wanita itu masih berkeliaran. Aku bergegas menghampiri Miguel, berlutut di hadapannya. Seluruh tubuhnya dingin ketika aku menyentuhnya.

"Dia melukaimu? Kau baik-baik saja?" tanyanya gemetar. Kedua tangannya meraup wajahku lengkap dengan kekhawatirannya.

Alih-alih memikirkan keadaannya, dia malah lebih mengkhawatirkanku. Sesuatu di dalam dadaku ingin meledak. Dia menepati janjinya untuk tidak akan membiarkan tersakiti lagi. Tanganku sudah tidak tahan lagi, menarik dirinya dalam pelukanku. Debaran keras di dada kirinya membuat ledakan di dalam diriku itu nyata. Aku menangis memeluknya.

"Kau baik-baik saja? Kau tidak apa-apa?" tanyaku tersengal-sengal oleh tangis.

Aku merasakan gelengan kepala di ceruk leherku. Tanganku kini menepuk-nepuk punggung lebarnya.

"Apa yang dia lakukan?"

"Tidak penting. Aku menepati janjiku kan? Jadi aku masih tetap boleh bersamamu kan?"

Aku menjerit mengeratkan pelukan. Bagaimana bisa Miguel menanyakan hal itu di saat seperti ini? Hal yang tidak mungkin adalah mengeluarkan dirinya dari hidupku yang sudah menjadi prioritasku.

"Selamanya kau akan bersamaku. Kenapa kau masih menanyakan ini? Kau akan bersamaku. Tidak akan ada yang bisa menjauhkanmu dariku."

"Kau yakin kau baik-baik saja?" Lirihnya membuatku merapatkan mata, menggigit kuat bibir dalamku.

Apa yang bisa dikatakan baik-baik saja ketika aku mendengar kabar wanita yang pernah membuatnya hancur itu mendatanginya? Apa dia sedang becanda dengan pertanyaannya? Seharusnya aku yang menanyakan hal ini padanya.

"Kau bawa Miguel ke dalam. Kau beristirahatlah, temani dia. Aku yang akan ke sana dengan Kendrick mewakilimu. Semua akan baik-baik saja," tutur Ashley menyentuh pundakku.

Aku mengangkat wajah demi menatap sahabatku. Ada raut wajah meyakinkan di sana. Sementara senyum samar kini tercipta di bibirku, terima kasih tanpa kata. Tidak tahu kalau Ashley tidak berada di sana entah apa jadinya Miguel saat ini.

"Ayo masuk. Kau harus baik-baik saja," ucapku menguraikan pelukan. Segera berdiri dan bersiap untuk mendorong kursi rodanya.

Namun terhenti ketika tangannya menahan tanganku. Aku menjatuhkan tatapanku padanya.

"Kau bilang aku kekasihmu," katanya membuatku terdiam kaku. Segera membuang tatapanku ke arah lain.

"Amme?"

"Hm?" Sahutku bergumam sedikit membungkuk mengecup kilat pada bibirnya lalu mendorongnya masuk, "Terima kasih karena kau sudah baik-baik saja."

Aku tersenyum samar. Mendorongnya masuk setelah mengunci kembali pintu flatku. Ada kehangatan yang menjalar tiba-tiba ketika tangannya terulur mengusap singkat punggung tanganku. Kekasihku, aku tertawa dalam hati teringat apa yang kukatakan tadi.

***

tbc

lama nggak lanjut ya. Maaf ya. Ini juga belum tentu mengena tapi saya usahakan untuk tetap lanjut. Terima kasih untuk kesabaran kalian.😊😊

25 Feb 2019
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance