22
"Kupikir kita butuh tempat tinggal baru," ujarku membuka suara begitu memasuki flat.
"Memangnya kenapa?" tanya Miguel mengangkat wajahnya untuk menatapku.
"Dia pasti akan menemuimu. Kau sendiri saat aku bekerja," jawabku tanpa bisa menyembunyikan rasa khawatirku terhadapnya.
"Aku laki-laki," katanya meyakinkan.
Aku terdiam. Seorang Brittany sudah pasti akan bersikap lebih setelah Miguel menolaknya tadi. Aku takut wanita itu akan bersikap nekat, membuat Miguel menjadi kacau karena trauma-trauma itu kembali muncul.
"Aku akan baik-baik saja, Amme. Percaya padaku," ucapnya meraih lembut tanganku.
Mataku kini berkaca-kaca. Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk kemudian luruh di lantai. Aku mencemaskan keadaannya. Semantara dia malah meyakinkanku bahwa dia akan baik-baik saja. Aku tidak tahu kenapa harus ada orang seperti dia.
"Amme,"
Aku menggelengkan kepala, menatapnya samar karena air mata yang sudah menggenang. Dia membuatku cengeng. Aku tidak pernah seperti ini sebelum kedatangannya.
"Kau tahu apa yang kutakutkan? Jika sikapnya tadi membuatmu hampir hilang kendali, lalu bagaimana nanti jika dia bersikap lebih dari ini?" tanyaku tersengal-sengal.
"Aku sudah berjanji tidak akan menyakitimu. Jika nanti dia datang, aku akan lebih siap dari ini untukmu."
Jangan untukku, batinku berteriak. Aku menatap lekat-lekat ke dalam matanya. Tidak kutemukan apapun. Selain kesungguhan dari manik abu-abunya.
"Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Tidak perlu berlari. Kita akan tetap di sini. Dan aku tidak akan kemana-mana."
"Miguel," panggilku serak. Aku menangkap tangannya yang terulur merangkum wajah basahku. Dia menggelengkan kepalanya, meyakinkanku.
"Sepertinya aku harus membatalkan tiket liburan," kataku menarik napas panjang.
"Kenapa?"
"Menghabiskan akhir pekan di rumah denganmu lebih menarik. Kau bisa membuat banyak masakan untuk kita habiskan."
Dia terkekeh. Tangannya mengusap kepalaku. Lalu terdiam. Seperti sedang menimbang sesuatu. Aku tahu, seseorang seperti Miguel pasti membutuhkan liburan untuk menghilangkan penat karena seharian penuh di rumah. Tapi aku mempertimbangkan untuk memperkecil kemungkinan Brittany menemuinya.
"Kau harus siap berat badanmu akan naik," katanya menyeringai.
Seketika aku berdiri, dengan tangannya yang masih di genggamanku. Kalimatnya membuatku tertantang. Aku melupakan apa yang menjadi kekhawatiranku terhadapnya. Dia benar-benar bisa mengganti topik pembicaraan dengan sangat baik.
"Jangan berpikir aku takut," sahutku tidak mau kalah.
"Wow, keberanianmu membuatku semakin semangat. Aku akan banyak mengumpulkan resep nanti," katanya dengan senyum lebarnya.
"Kau mengalihkan perhatianku dari wanita itu," dengusku kembali mengingat.
Dia tertawa kecil, menarik tangannya dari genggamanku. Tapi berganti menarik pinggangku hingga aku terduduk di pangkuannya.
"Apapun untukmu, Amme," katanya tepat di telingaku.
Suara merdunya berbisik lembut membuatku terdiam, menahan napas tanpa dia tahu. Sesaat mataku bertatapan dengannya. Aku tidak tahu, tatapannya membuatku tersesat, enggan beranjak. Dan kehilangan kendali, tidak tahu apa yang harus kupikirkan.
Aku merasakan tangannya kini melingkar penuh, memeluk tubuhku. Pelukannya kali ini, membawa sebuah rasa nyaman. Lalu seulas senyuman tipis di bibir merahnya sebelum dia mendekat untuk mencium pipiku.
"Aku boleh meminta sesuatu? Ya, aku tahu. Mungkin aku tidak tahu diri, membuatmu terjebak menanggung hidupku."
"Katakan," sahutku cepat, menahan senyum. Tanganku melingkar di lehernya. Aku sendiri tidak menyadari kapan aku melingkarkannya.
"Aku tidak tahu. Aku hanya tidak ingin ada seseorang yang lain. Aku tahu ini konyol, maaf."
Aku menelengkan kepala, menatapnya dengan senyum samar yang tercipta. Kalau saja dia tahu, aku juga menginginkan hal yang sama. Ini benar-benar konyol. Tidak tahu perasaan apa yang mendasari. Tapi aku merasa tidak rela jika nanti ada seseorang yang membawanya pergi dariku. Maka dari itu aku selalu berusaha membuatnya nyaman. Untuk tidak mencari kenyamanan yang lain.
"Tentu saja tidak ada yang lain. Kau akan selalu berada bersamaku, hidup bersamaku. Mengerti?" ujarnya tertawa kecil, menatapnya lebih dekat hingga nyaris menyentuh kulit pipinya.
"Aku senang mendengarnya. Amme,"
"Ya?"
"Aku tidak butuh kau berjanji."
"Tidak. Aku akan melakukannya dengan senang hati. Apapun itu."
Asal jangan menyuruhku merelakanmu untuk pergi dari hidupku, lanjutku dalam hati. Tidak akan.
Tidak peduli jika dia tidak bisa berjalan lagi. Kali ini bukan tentang sebuah pertanggungjawaban. Tapi aku merasakan hal yang lain. Semangat menggebu-gebu menyambut hari esok bersamanya. Rasa ingin untuk cepat pulang. Juga kenyamanan yang diam-diam terbentuk. Sekalipun dulu sempat ada kecanggungan ketika dia pertama datang.
Aku semakin merapatkan tubuhku padanya ketika dia meluncurkan kursi rodanya. Mataku hanya melihat gurat bahagia di wajahnya. Senyum lebar yang membuatku selalu ingin pulang cepat dari kantor. Sikap hangatnya yang dengan mudah melunturkan kelelahanku. Juga keberadaannya yang membuatku tidak memikirkan jika gajiku akan habis untuk menanggung hidupnya. Malah kedatangannya membuatku semakin semangat untuk mengumpulkan gaji.
"Kuharap kau melupakan yang tadi. Kau memaafkanku kan?" ujarnya sambil membawaku memasuki kamar.
"Maka jangan membahasnya," sahutku mengacak rambut coklatnya.
"Baiklah, Nyonya."
"Hei!"
"Dan aku Tuan di rumah ini," sambungnya menghadirkan rasa membuncah dalam dadaku.
Bagaimana nanti kalau aku ingin kau menikah denganku? Selintas pikiran itu membuatku terdiam. Tapi tidak menyurutkan senyum di wajahku. Ah, Miguel.
***
Tbc
23 Juli 2018
Dikittt.. Nanti kalau ada waktu luang pengen edit. Tapi pas udah kelar😄😄😄
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top