Kau tahu? Meninggalkannya di taman sendirian membuatku kehilangan fokus. Padahal yang kutinggalkan malah merasa nyaman dengan tempatnya. Aku hanya khawatir jika tiba-tiba wanita itu menghampiri Miguel.
"Buru-buru sekali," kata James memberikan komentar.
"Seseorang sudah menungguku!" seruku bergegas cepat meninggalkan meja kerjaku.
"Amme!"
"Bye, Jammy!" balasku tanpa menghentikan langkah. Masih kudengar kicauan dari James kalau aku sudah melupakannya. Teman yang selalu ada untuknya. Aku tidak lagi punya waktu untuknya. Kakiku melangkah tergesa bukan karena semangat. Tapi aku lebih mencemaskannya.
Apa yang kudapati membuat tanganku mengepal keras. Napasku tersengal-sengal. Aku melangkah seperti orang kesetanan. Tidak peduli dengan stiletto di kakiku.
"Sampai kapan kau akan berlari, Elgra? Kalau takdir selalu berpihak pada kita, hm?"
"Pergi dariku, Britt!" kata Miguel dingin. Terdengar begitu tajam.
"Tidak akan. Aku benar-benar memiliki rasa itu, Elgra. Sekalipun kau tahu bagaimana buruknya aku dulu. Juga keluargaku yang memperlakukanmu lebih rendah dari seorang pelacur," ujar Brittany.
"Tidak ada Elgra lagi!"
"Aku bicara sungguh-sungguh. Aku mencintaimu. Ingin memperbaiki apa yang dulu pernah kulakukan, Elgra."
"Tidak ada yang perlu diperbaiki. Semuanya sudah berakhir. Pergi dariku!"
"Elgra, kumohon,"
Wanita itu berlutut di hadapan Miguelgra. Meraih tangan itu kemudian mengecupnya. Aku memang melihat adanya perasaan itu. Tapi aku meragukan kenangan buruk untuk Miguel. Dia memiliki kelainan seks.
"Pergi dariku, Brittany!" seru Miguel terdengar mulai tidak baik lagi.
"Tidak! Tidak akan. Aku sudah mencarimu kemanapun. Aku tidak akan melepaskanmu. Elgra, aku mencintaimu. Mencintaimu," katanya gemetar penuh dengan gelegak emosi. Tangannya kini meraih wajah Miguel, merangkumnya. Aku juga tidak melewatkan gemetar di tangannya.
Bahasa tubuh Miguel bisa kupahami. Tubuhnya menegang. Aku tahu hal-hal buruk itu kembali terngiang di kepalanya.
"Jangan memaksanya!" kataku tegas menghampiri mereka.
"Kau?!"
"Dia milikku. Kau tidak bisa memaksanya untuk pergi bersamamu."
Brittany bangun, memberikan tatapan marahnya padaku. Tapi jangan berharap nyaliku akan menciut. Aku membalas tatapannya dengan sinis. Aku tahu, apa yang kulakukan akan membahayakan diriku. Memancing kemarahan orang yang mengidap penyakit jiwa.
"Elgra hanya mencintaiku! Dia hanya untukku. Takdirnya bersamaku! Tidak untukmu!"
Aku tersenyum miring. Ketika melihat Brittany mulai marah tidak terima. Tanganku dengan cepat mencengkeram lengannya yang bersiap untuk menyerangku. Membuatnya merintih. Matanya berkaca-kaca menatapku.
"Kau," desisnya tidak percaya.
"Sudah kubilang, Miguelgra Lynch adalah milikku. Dia bukan takdirmu. Dan, hey, jangan harap aku tidak tahu tentang masa lalumu," desisku tajam tepat di depan wajahnya sebelum aku menghempas lengannya dengan senyum sinis dariku.
Aku melihat dia berdiri sedikit oleng. Wajahnya linglung. Mungkin tidak percaya dengan apa yang dia dengar. Kediamannya menjadi sebuah celah untukku membawa Miguel pergi dari tempat ini.
Apa yang menjadi ketakutanku tidak pernah salah. Wanita itu pasti menunggu celah untuk menemui Miguel.
"Kau tidak apa-apa?" tanyaku membuka suara di antara langkah cepatku.
"Tidak," jawabnya singkat.
"Benar tidak apa-apa?" tanyaku memastikan.
"Tidak!"
Nadanya keras tidak bisa menahan gelegak emosi. Aku mengerti jika dia gagal mengendalikan diri. Meski tidak bisa kupungkiri ada sesak yang tiba-tiba menghampiri. Bibirku hanya bisa mengulum senyum mencoba untuk memahami.
"Okay. Kita akan pulang," ujarku menarik napas dalam-dalam.
"Kau pulanglah sendiri," katanya menatap lurus ke depan.
"Miguel,"
"Berhenti mempedulikan aku! Aku tahu kau akan seperti dia! Aku tahu," sentaknya menatapku dengan tatapan liarnya.
"Hei,"
"Tinggalkan aku," katanya membuang wajahnya.
"Aku akan menemanimu. Aku tahu kau hanya butuh waktu," sahutku masih bersikap lembut.
Dia mendengus. Menepis tanganku yang ingin menyentuh kursi rodanya. Sikapnya menunjukkan jika dia benar-benar pada kalimatnya. Memintaku untuk pergi meninggalkannya, berhenti mempedulikan dia.
"Apa aku pernah menyakitimu, Miguel? Padahal aku hanya ingin bersikap baik padamu," ujarku lirih.
Aku menarik napas dalam-dalam. Menatap dirinya yang bergeming. Seakan aku benar-benar tidak ada. Padahal beberapa jam yang lalu dia sangat manis. Sikapnya mampu membuatku merasakan apa itu bahagia dengan cara sederhana.
"Baik. Maaf, aku melupakan kalau aku tidak hanya menyakitimu. Aku melupakan kalau temanku yang membuatmu seperti ini. Membuatmu tidak bisa lagi berjalan."
Mataku mengerjab hingga meloloskan air mata. Kalimat yang sebenarnya tidak ingin kuucap karena ini menyakitkan. Tanganku menyapu pipiku hingga kering tanpa ada sisa air mata. Sekali lagi aku menatap dirinya yang seperti tidak terganggu sedikitpun. Ah, aku juga melupakan bagaimana Miguel yang dulu. Keras.
"Aku pulang, Miguel," kataku kemudian mulai menjauh darinya. Yang aku lakukan bukan meninggalkannya. Aku mengerti dia membutuhkan waktu untuk sendiri.
Keadaan ini menyadarkanku untuk sebuah perasaan asing yang selama ini terabaikan. Karena aku begitu yakin Miguel tidak akan kemana-mana. Dia akan tetap bersamaku. Tapi saat ini, aku menyadari kekeliruanku. Mungkin hal terburuk adalah Miguel benar-benar ingin menjauh dariku. Karena memori masa lalunya.
"Amme."
Suara lirih itu menghentikan langkahku. Aku menoleh ke belakang, memastikan apa yang kudengar. Yang kudapati dia menatapku lurus tak terbaca. Lalu mengangkat tubuhnya.
Entah apa yang dia lakukan. Berdiri beberapa detik lalu terjatuh ketika kakinya mencoba untuk melangkah.
"Miguel!!!"
Aku melupakan apa yang terjadi baru saja. Berlari menghampiri pria itu. Tidak peduli jika nanti dia akan mendorongku menjauh.
"Amm," lirihnya meraup tubuhku ketika aku berjongkok di hadapannya, berniat ingin membantunya bangun.
Bibirnya bergetar tidak luput dari tatapanku. Dia memelukku erat. Sangat erat. Apa yang bisa kulakukan selain membalas pelukannya. Hanya saja pelukanku disertai tangis dariku. Bukan apa-apa. Pelukannya membuatku lupa tentang apa yang menyakitkan tadi.
"Maaf," katanya singkat. Lirih namun masih terdengar jelas di telingaku.
"Aku memaafkanmu," kataku terisak.
"Boleh aku pulang bersamamu?"
Aku menguraikan pelukannya sekalipun aku masih ingin memeluknya. Demi menatap dirinya. Kepalaku mengangguk cepat. Bahkan tanpa dia meminta. Aku senang jika dia kembali bisa mengendalikan dirinya. Senang jika tidak benar-benar memintaku untuk meninggalkannya.
Bahagia itu sederhana untukku. Cukup dia bersamaku. Setelah aku menyadari bagaimana menyakitkan kalimatnya yang memintaku untuk meninggalkannya.
"Jangan bicara yang tidak-tidak seperti tadi," pintaku meraih tangannya, menggenggamnya.
"Aku menyakitimu?"
Aku tertawa di sela tangis. Bagaimana bisa dia dengan konyolnya menanyakan hal ini? Dia mengulurkan tangannya menyentuh wajahku.
"Berarti tadi Elgra. Bukan Miguel. Miguelmu sudah berjanji tidak akan menyakitimu kan?"
Refleks tanganku menepuk lengannya. Lelucon macam apa. Aku mendapati dia tertawa lirih.
"Tidak akan terjadi lagi. Maafkan aku," katanya meyakinkan.
"Kalaupun itu terjadi lagi, kau harus tahu. Sekeras apapun kau menyuruhku berhenti mempedulikanmu, aku tidak akan pernah berhenti."
"Kenapa?"
"Aku tidak mau," jawabku bersikukuh. Karena kehadirannya membawa kembali perasaan aneh yang lama kuabaikan.
Kehadirannya membuat seseorang yang tidak peduli bahkan nyaris dingin setelah kepergian mantan kekasih, sepertiku ini kembali mencair. Aku dengan sukarela mau kembali peduli. Mau menatap dengan perasaan. Dia juga yang membuatku melakukan apapun tanpa memerlukan alasan.
"Kau tidak membenci...,"
Entah apa yang mendasariku untuk membungkam kalimatnya dengan kecupan di bibirnya. Sebelum kemudian berganti dengan lumatan. Yang jelas aku tidak ingin mendengar kalimat lain. Nanti, akan kubuat dia mengerti bahwa dia adalah bagian penting dari hidupku. Tidak peduli jika nanti aku harus jungkir balik. Aku tidak mempermasalahkan keadaannya.
"Ayo, kita pulang," ajakku mengulurkan tanganku padanya.
"Aku bisa berdiri sendiri," tolaknya menepis tanganku.
"Hei, jangan keras kepala. Ayo, kita pulang!" decakku tidak sabar meraih tangannya lalu mengalungkannya di leherku.
"Amme,"
"Apa?" tanyaku menoleh, nyaris bersentuhan dengan wajahnya.
"Tidak," jawabnya mengulum senyum. Sebuah senyuman yang diam-diam membuatku menahan napas.
Miguel, bagaimana kalau perasaan asing itu menginginkan lebih? Aku meringis tipis dalam diam. Tanpa dia tahu. Pun dengan apa yang kurasakan.
***
Tbc
09 Juli 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top