20

"Miguel tidak ada!"

"Apa?!" seruku begitu mendengar Ashley berseru panik menelponku.

"Miguel tidak ada. Aku tidak menemukannya di manapun!"

Satu tanganku meremas kepalaku. Aku bahkan baru mau makan siang.

"Astaga, bagaimana bisa? Kau sudah menelpon dokternya? Barangkali dia sedang ada treatment dan lupa menghubungi seperti pagi itu," ujarku sambil mengambil cluth dan kunci mobil.

"Tidak ada. Kendrick sudah menelponnya tadi."

"Atau mungkin dia ke supermarket di bawah. Tunggu saja. Dia tidak akan kemana-mana. Rumahnya bersamaku," ujarku menenangkannya. Padahal aku sendiri sedikit mencemaskannya.

"Tidak ada! Kendrick sudah menanyakan ke petugas. Katanya sempat ada seorang wanita menghampirinya... "

Wanita?! Aku berhenti dari langkah demi mendengar kalimatnya. Saat ini aku sudah tidak bisa lagi mengendalikan pikiranku dari seorang Brittany. Hanya nama itu yang terlintas di kepalaku.

"Baik. Aku akan mencarinya! Ash, kabari aku kalau kau mendapatkan kabar darinya." Aku berkata cepat seiring dengan langkah kaki tergesa.

Tidak akan kubiarkan Brittany menyentuhnya lagi. Mati-matian aku membuatnya menjadi seperti sekarang. Aku tidak akan membiarkan Brittany meruntuhkan segalanya. Membuat Miguel kembali dingin dan tak tersentuh.

"Amme! Kau mau kemana? Jadi makan siang?"

James berseru dari kursinya ketika melihat aku tergesa keluar dari ruang kerja. Tadi pagi dia mengajakku untuk makan siang bersama. Dan aku menyetujuinya. Lagipula aku sudah lama tidak bergabung dengannya. Tepatnya sejak aku sibuk dengan pria asing yang tiba-tiba masuk dalam kehidupanku.

"Lain kali! Ada sesuatu hal penting!" seruku tanpa menghentikan langkah cepatku. Masih kudengar dia berseru memanggilku. Kutaksir dia mengejarku hingga ke pintu. Namun aku sudah terlanjur jauh menuruni anak tangga dengan hak tinggi menumpu kakiku.

Tidak ada hal lain yang membuatku kehilangan akal. Aku bahkan tidak memedulikan keselamatanku ketika menuruni tangga. Bisa saja aku kehilangan keseimbangan. Semuanya karena satu nama, Miguel. Pria itu tanpa sadar sudah merenggut seluruh perhatianku. Aku dulu tidak begini.

"Ash, kau bisa sebutkan ciri-ciri wanita itu?" tanyaku sambil melangkah cepat. Aku tidam sabar menunggu kabar dari sahabatku itu.

"Rambut pirang sedikit ikal...,"

"Sial!" Aku mengumpat tanpa sadar, mendengus kesal di atas rasa takutku. Tidak, lebih pada mengkhawatirkan pria itu. Seseorang dengan masa lalu yang gelap bahkan hampir depresi itu sangat rapuh jiwanya. Sekalipun aku bisa melihat Miguel sosok yang kuat di mataku.

Aku mematikan teleponku tanpa menunggu jawaban dari sahabatku. Menuju ke pelataran parkir.

"Amme! Seseorang ingin bertemu denganmu. Dia menunggumu di Lobi!" seorang teman menghentikan langkahku.

"Penting?" tanyaku tidak fokus.

"Ya. Sepertinya sangat penting," katanya memberiku kedipan mata.

Aku mengatupkan mulut, menahan geram. Entah siapa yang sedang menungguku sepertinya dia tidak paham bagaimana keadaanku saat ini. Apa dia tidak bisa menunggu? Aku merutukinya sepanjang langkah kaki. Entah semuanya sedang tidak bersahabat hari ini. Rasanya ingin menjerit saja.

Kakiku melangkah tergesa menuju ke Lobi. Kuharap ini tidak akan menyita waktu lama. Astaga! Dan aku tidak tahu mengapa Miguel keluar dari flat. Sedang biasanya dia tidak pernah keluar. Entah siapa yang harus kumarahi hari ini. Atau diriku sendiri yang salah?

Mataku bergerak liar dengan rasa tidak sabar mencari seseorang yang katanya ingin bertemu denganku. Tidak biasanya. Selama ini tidak ada yang mencariku seperti ini. Terakhir dua tahun lalu. Dan sepertinya tidak mungkin Treyvor mencariku. Pria itu sudah kutendang dari hidupku. Bahkan aku tidak pernah lagi berhubungan dengannya.

"Mau makan siang denganku?"

Sebuah suara yang tidak asing hadir dari belakangku. Tubuhku menegang untuk sesaat sebelum membalikkan badan. Sulit untuk mempercayai. Sulit juga untuk mengungkapkan bagaimana perasaanku saat ini melihat dia tersenyum manis di hadapanku. Mataku mengerjab, mencoba meyakini bahwa yang ada di hadapanku bukan dirinya. Dia dengan kotak makan siang di pangkuannya.

"Kau," ucapku bergetar. Sepertinya aku kehilangan sendi di lutut. Lemas.

"Mau makan siang denganku?" Dia mengulangi pertanyaannya.

"Kupikir... Kau hilang!" suaraku timbul tenggelam.

Aku menahan sesak yang bergumul. Napasku tersengal-sengal. Bukan karena sakit atau marah. Tapi sebuah perasaan lega yang terdorong kuat.

"Aku di sini. Kejutan untukmu," jawabnya menghadirkan tawa di antara napas sesakku.

Aku segera menghampirinya, merangkum wajahnya. Memberinya kecupan lembut di bibirnya. Tidak peduli jika beberapa orang melihatku. Saat ini dunia milikku. Sedikit merasakan sensasi panas ketika Miguel menahan kepalaku dengan satu tangannya, membalas kecupanku dengan kecupan di keningku. Tuhan!!!

"Kita ke taman dekat sini. Akan jauh lebih menyenangkan," ajakku sambil menegakkan tubuh, mengambil alih kursi rodanya.

"Benarkah?" Dia mengangkat wajah, menatapku.

"Ya. Kau pasti akan suka," jawabku meyakinkan.

"Aku percaya padamu."

Jawabannya membuatku terkekeh. Langkahku terasa ringan meski masih ada sisa gemetar. Aku mencemaskannya dengan sangat beberapa saat lalu. Apalagi ketika mendengar ada seorang wanita berambut pirang sedikit ikal. Pikiranku tidak bisa lepas dari Brittany.

"Ashley menelponku katanya kau tidak ada di manapun," kataku memulai bercerita di antara langkah mencari tempat yang cocok untuk duduk.

"Aku ingin menunggu temanmu. Tapi itu pasti akan memakan waktu lama. Saat aku datang, waktu istirahatmu pasti sudah habis," sahutnya memberikan penjelasan.

"Di sini enak. Kau mau di tempatmu atau duduk di bangku?" tanyaku menawarkan begitu mendapat sebuah bangku taman di bawah pohon yang cukup teduh.

"Duduk di bangku sepertinya lebih menyenangkan."

"Oke, berikan tanganmu." Aku memindahkan kotak makan di bangku taman. Kemudian menyambut tangan Miguel, membantunya berpindah ke bangku.

"Lagipula temanmu tidak bisa jaga rahasia kalau sudah berhubungan denganmu," keluhnya melanjutkan ceritanya.

"Temanku baik kan?" Aku mengerling, menggodanya tanpa menyurutkan senyum kemenangan.

Dia hanya bergumam-mengalah untuk urusan Ashley. Sementara aku mengambil kotak makan. Dua lembar roti gandum bersisian dengan sayur-sayuran yang dia oleh membuatku menahan senyum. Mataku melirik dirinya sedikit berkaca-kaca.

"Kau memasak untukku," ucapku sedikit sesak karena haru.

"Kuharap kau suka," jawabnya mengangguk.

"Sangat," sahutku serak.

Bagaimana aku bisa tidak suka? Sementara dia sudah bersusah-payah membuatkan untukku. Bersusah payah juga untuk datang ke tempat kerjaku, mengesampingkan rasa minder dan malu karena kondisi fisiknya.

Aku senang memiliki semua tentang dirinya. Dia mulai mendengar kata-kataku untuk selalu percaya diri di tempat umum. Untuk tidak merasa kecil. Dia sama dengan yang lain. Bisa melakukan apapun. Aku memberinya kebebasan sekarang. Mencoba untuk mempercayainya kalau apa yang dia lakukan tidak akan membahayakannya.

"Benar?" tanyanya masih kurang percaya.

"Sangat-sangat suka. Kau baik."

"Kau yang mengajariku," katanya kemudian tersenyum tipis.

"Mau menungguku pulang? Kita akan jalan-jalan nanti," tanyaku setelah mengunyah makanan beberapa saat.

"Menunggumu?"

Aku mengangguk. Dia seperti berpikir menimbang sesaat. Mengunyah makanannya pelan lalu kembali menatapku. Kepalanya mengangguk.

"Kau mau menunggu di mana? Di Lobi? Kantin? Atau cafe di seberang jalan?"

"Di sini."

"Miguel,"

"Di sini. Tidak apa-apa. Tempatnya tenang dan aku suka."

Aku terdiam. Bukan masalah tempatnya. Aku hanya takut jika nanti tiba-tiba Brittany datang. Membuatnya kembali jatuh.

"Tapi,"

"Aku akan baik-baik saja. Percaya padaku," katanya meyakinkan.

"Telfon aku kalau ada apa-apa," ucapku akhirnya.

"Akan selalu kuingat."

Aku tersenyum tipis. Kembali melanjutkan makan. Sesekali melihat dirinya. Dia menyantap bagiannya dengan lahap. Seperti dia tidak pernah memiliki ketakutan sebelumnya. Atau aku yang sudah berlebihan mengkhawatirkan dirinya?

"Kau tadi naik apa?" tanyaku memancing pembicaraan.

"Taksi. Seseorang membantuku mencari taksi."

"Seseorang?" tanyaku mengernyit, menyimpan kewaspadaan.

"Iya. Kupikir dia bekerja sebagai maid. Tapi aku tidak tahu. Kenapa?"

Seketika aku mengembuskan napas lega. Bukan wanita itu. Dan lagipula ada banyak wanita berambut pirang sedikit ikal. Bukan milik Brittany seorang.

"Tidak. Kata Ashley kau bersama seorang wanita," jawabku jujur.

"Memang dia wanita. Kau cemburu?" goda Miguel.

Astaga! Dia tertawa ketika aku memberinya tatapan sebal. Wajahnya sedikit memerah karena tawa.

"Aku tahu kau tidak akan cemburu," ralatnya.

"Memang kenapa kalau aku cemburu?"

"Itu bagus. Aku akan menjaga perasaanmu. Agar kau tetap membiarkanku bersamamu."

Kali ini aku yang tertawa. Dia yang manis. Sepertinya aku sudah lumayan lama tidak merasakan momen-momen seperti ini. Rasanya apa yang kupunya tidak ada artinya selain bisa membuatnya hangat seperti ini. Mendadak aku terdiam. Mulai terganggu dengan pertanyaanku sendiri, apa aku sudah terjebak dengan perasaan?

***

Tbc
23 Mei 2018

Lagi manis-manisnya. Dikit aja takut diabetes.😄😄😄

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance