2

Untuk kesekian kalinya Ashley melongok pada kaca kecil dengan wajah kacaunya setelah beberapa saat tadi aku memberitahu mengenai diagnosa dokter terhadap korban kecelakaan itu. Dia kembali mengembuskan napasnya lelah. Aku meliriknya yang kini kembali duduk di sampingku.

"Kau yakin?" tanya Ashley parau.

"Aku sendiri yang bertemu dengan dokter itu."

"Maksudku, apa kau sudah memastikan kalau dokter itu tidak salah orang?"

Aku memutar bola mata. Lalu menyandarkan punggungku sepenuhnya ke kursi.

"Apa kau pikir dokter sebodoh itu?" tanyaku sarkas.

"Dia akan lumpuh? Ah, yang benar saja," desah Ashley. Dia masih belum bisa mempercayai ini. Tapi begitupun denganku. Kuharap dokter itu salah orang. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi nanti pada Ashley. Lebih tepatnya mengenai reaksi pria itu jika mengetahui kondisinya.

"Kau bisa menemui langsung dokter itu untuk menanyakan kebenaran ini. Aku hanya menyampaikan berita apa yang kudapat ketika kau pulang tadi."

"Tapi...," Dia terdiam selama beberapa saat. Tangannya mencengkeram ujung lipatan kemeja tanpa lengannya. "Entah ini kesialan apa. Kenapa bisa aku mengalami ini?"

"Aku tidak tahu harus bicara apa. Tapi, bisakah aku pulang sekarang?" Aku mengusap tengkuk, melentingkan punggungku untuk mengurangi rasa pegal juga lelah. Seharusnya aku sudah beristirahat di ranjangku sejak tadi. Sementara saat ini sudah hampir tengah malam.

"Kau pulanglah. Lagipula besok kau harus bangun pagi kan?"

"Ya. Aku akan datang besok pagi sebentar membawakanmu sarapan. Dan akan kembali lagi saat sore. Kalau kau ada apa-apa, segera hubungi aku. Kuharap orang itu akan segera sadar."

"Jangan beritahu Kendrick tentang ini. Tolong, kau tahu kan bagaimana dia saat cemburu?"

Aku mengangguk, tersenyum tipis untuk meyakinkan dia. Ada rasa iba saat aku ingin meninggalkan dia sendirian dengan masalahnya. Tapi aku memiliki kewajiban untuk pekerjaanku besok atau Paul akan memberikan surat peringatan jika aku terlambat untuk yang kesekian kalinya. Pria berambut pirang itu sangat disiplin.

"Kau bisa bicara baik-baik dengannya kan kalau dia sadar nanti? Dia tidak kehilangan memorinya. Tapi dia kehilangan fungsi dari tubuhnya."

Dia mengangguk. Sekali lagi aku menatapnya kemudian mengembuskan napas sebelum meninggalkannya dengan segenap lelah. Tubuhku sudah berteriak ingin istirahat sejak tadi sebenarnya.

Sampai saat ini aku belum tahu bagaimana bisa Ashley dan mobilnya membuat pria itu terbaring di rumah sakit. Ashley belum ingin bercerita. Tapi aku pastikan gadis itu akan segera membuka mulutnya.

***

"Kupikir kau sedang ada masalah. Hey, kenapa?"

Aku mengangkat wajahku dari layar komputer. Tidak ada yang kukerjakan di hadapan benda kubus ini. Karena ternyata aku tidak setenang itu meninggalkan Ashley sendirian. Beberapa kali aku membuang napas gusar. Beberapa kali pula tangan ini meraup wajah kasar. Entah hal apa lagi yang kulakukan hingga membuat James, pria berambut coklat di sebelahku ikut berkomentar.

"Tidak ada," ucapku enggan tanpa menoleh kepadanya.

Tapi telingaku mendengar helaan napas darinya. Juga suara gesekan kertas.

"Kuharap aku bisa mempercayai ini. Tapi sulit rasanya melihat wajahmu seperti ini," sahutnya santai tapi penuh kesungguhan. Aku menoleh kepadanya dan mendapati gulungan kertas di tangannya. Dia memantul-mantulkan bola kertas itu tanpa peduli dengan tatapanku.

"Kau pikir aku berbohong?" dengusku menutupi hal yang sebenarnya.

Dia berhenti dari kegiatannya. Meletakkan bola kertas itu di samping komputernya. Lalu memutar kursinya hingga menghadap padaku. Dia menatapku menyipit.

"Aku bisa menganalisisnya hanya dari raut wajahmu. Apa kau berminat mendengarkannya?" Dia mendorong maju kursinya, mendekat padaku.

"Tidak perlu! Analisismu bukan memakan waktu yang singkat. Kau hanya akan menjebakku dalam sebuah wawancara konyol agar aku cerita secara detail kepadamu. Kau tidak akan bisa menjebakku lagi!"

James tergelak hingga kepalanya terhempas ke sandaran kursi. Itu membuatku cemberut. Entah. Aku tidak bisa mengontrol mulutku untuk tidak mengumbar masalahku kepadanya.

"Oh?! Tapi aku tidak percaya. Aku bisa menghitung dalam 10 hitungan. Dan kupastikan kau akan jatuh ke sini," dia menepuk-nepuk dadanya, "Lalu satu kata mulai meluncur. Sejenis, Jammy, brother, Baby dan pada akhirnya semuanya."

Aku menukikkan alis. "Tapi tidak untuk kali ini!"

"Aku akan menunggunya. Sampai batas kau akan menyerah," sahutnya kalem seraya mundur pada tempatnya semula.

Aku terdiam. Mataku mengikuti gerakannya lalu menatap jatuh.

"Satu... Dua.. Tig... Ti...,"

Aku menarik napasku. Hampir saja aku tidak bisa mengontrol mulutku kalau tidak bersamaan pada jarum panjang jam yang bergeser sedikit hingga menunjuk pada pukul 17.00.

"Aku harus pulang sekarang. Jammy, akan kuceritakan besok," ucapku sambil berkemas dengan cepat. Membuat James tercengang.

"Hey! Amm!" Dia memanggilku yang sudah membuat langkah lebar-lebar meninggalkan meja kerjaku. Biasanya aku akan sedikit santai mengulur waktu beberapa menit untuk berbincang di meja kerja saat jam pulang tiba. Tapi kali ini tidak.

Ashley sudah berkali-kali menelponku. Tapi aku membiarkannya. Aku tidak ingin mengulangi pekerjaanku dari awal saat mendengar hal buruk nanti. Saat ini aku yang mencoba menghubunginya.

"Ash, kau baik-baik saja?" Aku bertanya langsung ketika dia menjawab telfonku.

Tanganku kini menggapai pintu mobil dan melemparkan tasku ke kursi penumpang sebelum aku masuk. Aku mulai menstarter mobil begitu seatbelt terpasang sempurna.

Tidak ada jawaban dari gadis itu melainkan isakan tangis. Dia menangis.

"Ashley, apa yang terjadi? Kendrick mendatangimu?"

"Kau... Kau bisa ke sini?" Dia bertanya terisak.

"Aku sedang akan menuju ke sana. Tunggu beberapa menit. Okay?"

"Okay," jawabnya lirih.

Aku meletakkan ponsel pada tas yang menganga kemudian melajukan mobil entah melaju pada kecepatan berapa. Aku hanya ingin segera sampai demi mendengar apa yang terjadi pada Ashley, mungkin sejak pagi. Ah, gadis yang malang. Entah dia bermimpi buruk apa sebelum dia mengalami ini.

Aku merasa tanganku gemetar begitu melepas dari bulatan kemudi itu. Mobilku kini sudah terparkir sempurna di halaman parkir rumah sakit setelah aku menghabiskan waktu hampir setengah jam. Aku bergegas masuk mencari lift untuk menuju ke lantai di mana Ashley menunggui pria itu. Dan aneh. Itu yang terlintas dipikiranku. Hingga detik ini tidak ada orang yang mencari keberadaan pria itu.

Di sana, ruangan paling ujung, aku mendapati Ashley duduk menangkup wajah di sebuah kursi. Aku yakin dengan pasti bahwa dia sedang menangis.

"Apa yang terjadi? Pria itu baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir seraya duduk di sampingnya.

Ashley mengangkat wajah, sangat kacau. Bibirnya bergetar tapi tidak bisa bersuara. Hingga sesaat kemudian dia menumpahkan tangisannya, berlari dalam pelukanku.

"Jika kau butuh untuk menangis, lakukan. Aku menunggu untuk mendengar apa yang sudah terjadi sejak tadi pagi."

Bahunya naik-turun karena tangisannya. Cukup lama aku membiarkan ini. Kurasa saat ini dia sedang menarik napas, mengendalikan dirinya setelah tidak kutemukan lagi isakan darinya.

"Dia sudah bangun tadi," lirihnya sambil melepaskan pelukannya dariku. Tangannya menyapu bersih air matanya.

"Kau sudah bicara dengannya?"

Dia mengangguk. "Tapi dokter memberinya suntikan. Obat penenang. Keadaan emosinya kacau setelah sempat aku mengatakan yang sebenarnya."

"Apa kau mengatakan kalau kau yang menabraknya?" Dia menjawabnya dengan anggukan kepala.

"Kau juga mengatakan keadaannya saat ini?" Kali ini aku bertanya dengan hati-hati.

"Dia memakiku, menyumpahiku. Dia juga mengumpatku. Aku sudah menghancurkan sebagian hidupnya. Dia berteriak begitu. Entah. Aku merasa ini dosa terbesarku. Aku sudah menghancurkan hidupnya. Aku membuatnya cacat seumur hidupnya. Keadaan yang bahkan aku sendiri sangat tidak menginginkan ini."

Dia kembali menangis. Aku tidak mampu berkata apapun. Hanya tanganku meraih bahunya untuk bersandar kepadaku. Tidak ada yang salah dengan pria itu. Siapapun pasti akan menunjukkan reaksi yang sama.

"Aku akan mencoba bicara dengannya nanti. Kau tidak sendirian," gumamku akhirnya.

"Terima kasih."

"Apa dia sudah bangun?"

"Kau ingin melihatnya?"

"Ya. Juga berbicara dengannya."

"Dia akan memakimu. Kau tidak salah. Aku yang salah. Sebaiknya jangan."

"Tidak masalah. Kau temanku."

"Amm,"

Aku beranjak mendekati pintu. Sedikit rasa gugup juga takut. Tapi kuharap apa yang Ashley katakan tidak terjadi padaku. Tanganku memutar kenop pintu, mendorongnya sendikit. Kepalaku menyembul dari celah yang tercipta. Dan aku mendapati pria itu terbaring dengan tatapan kosong. Hanya sesaat karena kemudian matanya bergerak ke arahnya.

Rasa gugup itu kian kentara. Aku bahkan sulit untuk memaksakan sebuah senyuman untuknya. Dia masih menatapku.

"Boleh aku masuk?" tanyaku pelan.

"Kau siapa?"

Tuhan, suara itu. Bukan merdu. Hanya aku merasa suaranya menambah rasa gugupku. Batinku mulai bertaruh, bahwa sebentar lagi pria itu akan memarahiku juga mencaciku seperti apa yang Ashley katakan. Aku melangkah takut-takut mendekatinya.

"Aku... Amme. Teman dari Ashley. Kau sudah tahu Ashley kan? Dia yang berbicara denganmu tadi pagi."

"Seseorang yang sudah menghancurkan hidupku!" Mata kelabunya berubah berkilat.

Aku bahkan hampir tersandung kakiku sendiri. Aku tahu ini tidak mudah untuk diterima siapapun. Aku tidak menyalahkan reaksinya. Aku terdiam tidak melanjutkan langkahku, memilih menatapnya takut-takut.

"Aku tahu ini sebuah kesalahan besar. Apa yang temanku lakukan sudah membuat hidupmu seperti ini. Tapi bisakah kita bicara? Aku ingin tahu namamu," ucapku sedikit menjadi waspada tentang reaksi apa yang akan pria itu berikan.

"Kau tidak perlu tahu apapun tentangku! Kau hanya perlu memberitahu temanmu untuk mengembalikan apa yang sudah dia renggut!"

Aku menarik napas. Sekilas aku melihat pria ini bukan orang yang mudah untuk disentuh. Tidak. Dia orang yang keras kepala. Kupikir demikian.

"Okay, aku akan mengatakannya nanti. Tapi, please,"

"Keluar!" ucapnya tegas kemudian membuang mukanya seolah aku adalah hal yang memuakkan.

"Aku tidak membutuhkan kau ada di sini. Kecuali kau bisa mengembalikan apa yang sudah hilang dariku!" ucapnya dingin tapi cukup membuatku seperti tersengat.

***

Tbc

Sabtu 24 juni 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance