19
Sampai saat ini aku masih memikirkan apa tujuannya datang kembali dalam kehidupan Miguel. Dan sepertinya aku tidak bisa membiarkan dia berkeliaran di sekitar Miguel.
Aku mengembuskan napas, berat menyudahi bacaanku di laptop. Bacaan yang hanya membuatku pening dan marah. Cerita masa lalu Miguel di dalam keluarga itu membuatku penasaran untuk membaca artikel-artikel seperti yang Miguel alami. Perbuatan-perbuatan tolol dan tidak memiliki hati juga hal-hal apa saja yang akan dialami korban. Depresi, trauma fisik dan psikis juga hal yang lebih gila, menjadi ketagihan.
Tanganku gemetar, menutup keras laptopku. Aku benar-benar akan kehabisan napas sekarang. Teringat tatapan dingin Miguel. Sikap kaku dan galaknya seolah takut untuk tersentuh orang sekitar. Aku tahu sekarang. Bukan karena kecelakaan yang menyebabkan kemarahan.
Dan aku mulai menyangsikan jika dia tertabrak Ashley. Kupikir dia sengaja menabrakkan dirinya. Dia merasa dunia tidak memihak padanya. Aku mengerti sekarang.
Dia memiliki rasa trauma yang besar. Juga depresi dengan apa yang terjadi dalam kehidupannya bertahun-tahun. Tidak jelas kekerasan seks apa yang sudah dia terima. Dan aku tidak mau tahu. Yang pasti yang kuinginkan saat ini, Miguel tidak akan mengalami hal itu lagi. Susah payah aku mencoba membangun komunikasi dengannya sehingga dia mulai membuka diri, satu langkah lebih baik. Dia menutup masa lalunya dengan sangat baik. Membangun diri dengan sosok yang baru. Aku tidak ingin kehilangan itu semua.
Miguel yang manis. Miguel yang sangat sempurna di mataku. Aku tidak akan membiarkan apa yang sudah kubentuk menghilang begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam. Mengusap wajahku pelan. Tidak tahu, mengingat dirinya hanya ingin membuatku pulang cepat.
"Amme?"
Aku melirik James. Aku tahu dia memperhatikan diriku sejak tadi. Tapi aku tidak mempedulikan itu.
"Ada masalah?" tanyanya memastikan.
"Tidak ada," jawabku singkat.
"Really?" Dia mengerlingkan matanya, menggodaku untuk tertarik berbicara dengannya.
Aku menghela napas. Bagaimanapun dia, teman kerjaku. Salah satu orang yang selalu ada saat aku butuh. Tapi aku sedikit ragu untuk berbicara dengannya. Untuk kali ini, mengenai Miguel. Pasti dia akan memberikan cap gila kepadaku. Iya, untuk apa aku mempertaruhkan apapun demi seseorang asing seperti Miguel? Aku membaca itu.
"Ya. Tidak ada. Memangnya kenapa?" tanyaku.
"Aku melihat tanda-tanda orang pusing karena masalah. Di sini, di sini," jawabnya menunjuk pada bagian-bagian wajahnya.
Aku menggembungkan pipi, menahan tawa. Dia masih dengan sikap konyolnya.
"Jammy!" teriakku tidak bisa menahan untuk tidak tertawa. Aku melemparkan gulungan kertas padanya.
"Hm, aku suka kau yang seperti ini," gumamnya mengusap dagunya.
"Kau temanku yang paling baik. Nanti pasti aku akan membutuhkan bantuanmu," sahutku mengulas sebuah senyum.
Dia menutup mulutnya, cemberut. Sementara aku tertawa penuh kemenangan. Kemudian beranjak dari meja kerjaku dengan tas di tanganku.
"Mau kemana?" tanya James berseru menjulurkan kepalanya.
"Pulang!" sahutku. Sejak adanya Miguel aku selalu pulang tepat waktu. Aku tidak pernah lagi nongkrong, berkumpul dengan mereka selepas bekerja.
"Hei, nanti malam ada party!"
Aku mengibaskan tanganku ke udara, "Tidak akan tertarik!"
Aku masih mendengar James menggerutu. Katanya aku sekarang tidak semenyenangkan dulu. Aku seperti memiliki dunia sendiri. Ah, biar saja. Mereka hanya tidak tahu apa yang sedang kujalani.
***
Aku mengernyit ketika melihat pintu flatku terbuka. Langkahku sedikit lebih cepat. Sekaligus lebih waspada. Aku mengingat sebuah nama, Brittany. Karena yang kutahu Miguel tidak pernah membiarkan pintu flat terbuka begitu saja.
Langkahku berjingkat tanpa suara. Sebisa mungkin sepatu hak tinggiku tidak menimbulkan suara. Sementara aku menahan gemetar. Aku sudah membayangkan hal buruk terjadi padanya.
"Hei! Wanitamu sudah pulang!"
Seseorang berseru seiring dengan derap langkah. Aku hafal pemilik suara itu. Seperti seluruh bebanku menghilang seketika. Kelegaan yang luar biasa. Apalagi ketika aku melihat sosoknya muncul, meluncur menyambut kepulangannya. Dengan senyum lebarnya.
"Kau," ucapku parau, memaksakan sebuah senyum untuknya. Aku tertawa di antara napas tersengal-sengal. Antara lega dan ingin menangis.
"Temanmu membawa pacarnya. Dia mengajakku bersenang-senang hari ini. Kau bagaimana? Semuanya lancar?" tanyanya meraih tasku lalu meletakkannya di pangkuannya.
"Kau membuatku takut. Ash, lain kali kau jangan membuka pintu flat seperti tadi. Itu berbahaya!" kataku tanpa bisa menutupi ketakutanku.
"Maaf," ucap Ashley meringis padaku.
Aku mendengus. Dia pasti melupakan soal wanita mengerikan itu. Aku merasakan sebuah tangan menyusup di antara jemari tanganku.
"Jangan memarahinya. Ayo, aku akan menyiapkan minuman dingin untukmu. Aku tahu kau lelah," ucap Miguel membuatku tertegun.
Dia? Aku hampir tidak bisa mempercayainya. Dia membela sahabatku dengan begitu manis. Tatapan matanya, wajah teduhnya. Tuhan! Dia membuatku tersesat. Kalau saja dia tahu apa yang menjadikan alasanku untuk memarahi Ashley. Aku hanya mencemaskan dirinya. Pintu terbuka lebar adalah seperti sebuah lampu hijau, sangat memudahkan Brittany untuk masuk. Apa ini hanya aku yang berpikir berlebihan terhadapnya?
"Ash," ucapku melirik dirinya, memperingatkan.
"Akan kuingat selalu, Amme," kata Ashley meyakinkan.
"Hei, ayo!" Miguel kembali mengalihkan perhatianku. Mencoba menarik tanganku untuk segera melangkah. Wajahnya tengadah, menatapku. Ini sangat menyejukkan.
Aku menarik napas, melepas genggamannya padaku. Mendorong kursi rodanya. Sementara Ashley mengikuti langkahku.
"Oke. Baiklah. Aku ingin sesuatu yang spesial darimu. Menonton film dengan sedikit makanan ringan buatanmu sepertinya sangat menarik," ujarku.
Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan mata berbinar.
"Oya?" tanyanya mengerjab.
"Iya. Kau, Ash?" tanyaku pada Ashley meminta pendapat.
"Sepertinya menarik. Sangat menarik bagiku. Aku akan menumpang belajar membuat makanan ringan dengannya," jawab Ashley mengedipkan mata.
Mulutku terbuka. Belajar? Tapi jenis kedipan mata itu, mengarah pada kedipan genit. Aku melirik Ashley, curiga. Gadis itu hanya meringis lebar. Memberikan kecupan jarak jauhnya padaku. Astaga, Ashley!
"Kendrick akan membunuhmu!" desisku padanya tanpa suara.
"Tidak akan," sahutbya mengejek.
Aku mengatupkan mulut. Kupikir dia sedang mencoba menggodaku. Aku menggeram dalam hati, mencoba hanya mengembuskan napas.
"Aku lupa menutup pintu lagi," ucap Ashley tiba-tiba kemudian melesat pergi.
"Ashley!" pekikku geram.
Sesaat aku mendengar pria di depanku tertawa. Aku melarikan tatapanku padanya. Memang dia tertawa, terlihat dari wajahnya memerah. Dia mentertawakanku.
"Miguel?" panggilku pelan membuatnya terdiam, menoleh padaku.
"Kau selalu menggemaskan. Ashley banyak bercerita tentangmu tadi."
"Tentangku?" tanyaku terkejut.
Dia mengangguk. Aku menahan napas. Kuharap dia tidak menceritakan bagaimana buruknya aku. Gadis kecil galak yang egois, bahkan hampir tidak memiliki teman. Nyaris membuat hidung teman pria-nya patah karena dia dorong. Kenakalan-kenakalan sejenis itu tidak pernah bisa kulupakan.
"Iya. Ternyata kau pemberani sejak kecil. Aku suka. Sekarang aku tahu kalau kau memang menggemaskan sejak kecil," kekehnya, melepaskan diri dariku, mendorong kursi rodanya menuju ke sebuah rak, meletakkan tasku di sana bersama tas yang lain.
"Itu memalukan!" sungutku sambil meletakkan sepatuku.
Sekali lagi aku mendengar dia tertawa. Kemudian meninggalkanku. Aku tahu dia pasti akan ke dapur. Aku terdiam, menghela napas.
Tidak apa, jika cerita kenakalanku membuatnya seperti ini. Aku menyunggingkan sebuah senyum. Merasa ini hal baik. Setidaknya untuknya. Asal jangan dia kembali mengingat masa lalunya.
Bagaimanapun itu sangat menjijikkan. Aku tidak mau dia kembali merasakan tekanan-tekanan itu. Aku mengerti mengapa dulu dia begitu kaku dan tidak ingin tersentuh.
"Apa kau sudah mengakui kalau kau jatuh cinta padanya?"
Aku tergagap. Sahabatku sedang berada di titik menyebalkan kali ini. Tidak ada sebab apapun, dia tiba-tiba menggodaku dengan pertanyaan itu. Aku mendengus, meninggalkannya menuju ke kamar mandi.
"Amme! Sampai kapan kau akan menjadi orang munafik?" serunya, membuatku menahan geram.
Aku membuka pintu kamar mandi, menyembulkan kepala. Memberikan tatapan kesal padanya. Sementara dia menyeringai, merasa puas sudah berhasil membuatku kesal.
"Aku hanya peduli dengannya!" erangku tertahan.
"Tidak. Kau mencintainya. Tapi kau mengingkarinya."
"Ashley!" pekikku semakin kesal.
"Mungkin besok atau lusa. Atau bulan depan kau akan mengakuinya. Jatuh cinta itu indah, Amme. Apalagi dengan orang semanis Miguel," katanya kemudian melesat meninggalkanku sebelum aku meleparkan dengan handuk di tanganku.
Aku meremas gemas handuk di tanganku. Huh, aku menyesal sudah memintanya untuk datang menemani Miguel. Sedikit membanting pintu, aku kembali untuk membersihkan diri dari keringat dan debu.
Tidak tahu. Apa memang hanya aku yang tidak bisa mandi berlama-lama seperti para wanita di luar sana? Aku hanya membutuhkan waktu 15 menit untuh mandi. Dan itu sudah merangkap semuanya, keluar kamar mandi dengan rapi.
"Untukmu," katanya ketika aku keluar dari kamar mandi.
Aku mengangkat wajah sedikit terkejut. Mendapati Miguel membawa satu cangkir teh chamomile hangat untukku.
"Kata Ashley kau sedang mandi. Tidak jadi kubuatkan minuman dingin. Teh hangat akan membantumu merilekskan tubuhmu," jelasnya.
"Kau selalu baik padaku," ujarku terharu, mengambil teh dari tangannya.
Dia selalu menyambutku dengan hal-hal seperti ini. Tanpa peduli dengan keterbatasannya. Dia melakukannya dengan antusias. Terkadang itu membuatku merasa malu. Karena seharusnya aku yang melakukannya untuk dirinya.
"Kau yang mengajariku. Oke, aku akan kembali ke dapur. Makanan ringan akan segera tersedia untukmu."
"Biar aku membantumu," putusku setelah menyesap sedikit teh buatannya.
"Ada Ashley. Kau duduk di sini saja. Kita akan menonton film bersama-sama. Kendrick sedang membeli soda. Sesekali kita minum soda tidak apa-apa kan?"
"Hanya sesekali," sahutku mengingatkan.
Dia mengangguk, menjentikkan jarinya kemudian mendorong kursi rodanya, meninggalkanku. Sekilas aku berpikir, sepertinya aku harus memberinya hadiah nanti ketika honorku turun.
Sesuatu hal yang bisa mempermudah gerak dirinya. Aku segera mengambil ponselku, mencari sesuatu yang kumaksudkan. Sebuah kursi roda dengan remote dan rem yang bisa dia kendalikan sendiri. Jadi kupikir, dia tidak akan lelah untuk menggerakkan dirinya.
Sekali lagi, apapun itu untuknya. Aku mengernyit, seperti tersadar dengan sesuatu. Tapi kemudian aku menepisnya. Ini hanya murni bentuk rasa kepedulianku untuknya. Bukan sebuah perasaan yang lebih. Aku menarik napas karena sepertinya separuh dari diriku meragukan pendapatku sendiri.
***
Tbc
8 mei 2018
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top