18

"Bisa aku bicara denganmu?"

Aku hampir terjungkal dari langkahku. Suara wanita itu menghentikan langkahku yang hendak mencapai mobilku. Entah bagaimana dia bisa berkeliaran di parkiran lantai baseman ini.

"Kau," ucapku terbata membalikkan tubuh.

Perempuan berambut pirang itu berjalan menghampiriku. Brittany. Aku menebak pasti dia mengikuti kemana aku pergi. Dia tersenyum. Tapi aku menangkap kewaspadaan dari senyumannya.

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu," katanya.

Aku menahan napas. Mencoba menerka apa yang sebenarnya dia inginkan.

"Tidak perlu berbasa-basi. Aku Brittany. Apa kau yang membuatnya kehilangan memory-nya? Sampai dia tidak mengingatku. Bahkan dia mengganti namanya menjadi Miguel?"

"Miguel?"

"Miguelgra Lynch. Atau Elgra. Kau mengenalnya dengan Miguel. Dia adalah adik angkatku. Almarhum orangtuaku mengambilnya di sebuah pengungsian saat dia bayi.

Aku mencarinya setengah mati. Dan aku tidak pernah menemukannya!" ucapnya bergetar.

Aku menarik napas. Semuanya berputar di otakku. Kemudian aku menatap dirinya dengan segenap keberanianku. Menatap dirinya lekat-lekat.

"Terima kasih kau sudah membuka masa lalunya. Aku jadi tidak perlu susah payah untuk mencari tahu. Karena dia tidak pernah mau untuk membuka mulut tentang identitasnya.

Dari kalimatmu, aku meragukan jika kau adalah hanya sekedar kakak angkat baginya. Kemarahannya, keadaan psikologisnya, membuatku berasumsi jika keluargamu selama ini memperlakukan dia dengan buruk!"

"Oh, kau mencoba menilaiku di awal perbincangan kita?"

Aku menyipitkan mata. Menangkap adanya reaksi keterkejutan dan juga letupan emosi. Mungkin aku menyinggung sebuah kebenaran.

Aku masih mengingat jelas bagaimana kondisi psikis pria itu saat awal bertemu. Kaku, dingin dan seperti banyak menyimpan dendam. Seakan dunia ingin dia remas.

Lalu sebuah caption pada foto, kenapa kau tidak membawa serta diriku? Sebuah foto dengan dua pusara. Di sini aku mulai menangkap, mengartikan bahwa pusara itu milik kedua orangtua angkatnya. Dan pantas saja tidak ada satupun orang yang mencarinya selama ini. Dia hidup sendirian.

Seseorang di dalam diriku menggigil. Ingin segera pulang dan menjamin bahwa Miguel aman bersamaku. Hidup selayaknya orang-orang bersamaku.

"Tidak ada yang salah dengan penilaianku. Aku mendapatkan namamu. Dan itu tidak sulit bagiku untuk mencari tahu tentangmu!" jawabku cepat lalu bergegas masuk ke mobil.

Napasku memburu. Antara ketakutan dan kekhawatiran mengenai Miguel. Aku melajukan mobilku dengan cepat, tidak peduli dengan makian dari wanita itu.

Yang ada dipikiranku, aku ingin segera sampai di rumah. Tidak peduli sekian banyak orang yang memakiku karena aku membawa mobil dengan sedikit ugal-ugalan. Begitu sampai aku sedikit berlari masih dengan sepatu hak tinggiku. Tanganku menggenggam ponselku, menelpon Ashley.

"Aku ingin kau mencari tahu tentang Brittany Lynch. Jika kau sudah mendapatkannya, segera hubungi aku!" ucapku di antara langkah cepatku.

"Brittany Lynch? Baiklah, aku akan mencari tahu. Tapi memang apa masalahnya? Tidak biasanya kau mencari informasi tentang seseorang."

"Aku akan menceritakannya nanti. Ini mengenai Miguel. Dan kuharap kau bisa mencarinya dengan baik!"

Aku mengembuskan napas gusar, di dalam lift. Merasa lift saat ini berjalan jauh lebih lambat dari biasanya. Kakiku sudah tidak sabar untuk masuk ke dalam flatku.

Begitu lift terbuka, aku melangkah tergesa. Menekan sederet angka. Biasanya aku akan memencet bel agar Miguel datang membukakan pintu. Tapi tidak untuk kali ini. Aku hanya ingin segera melihatnya.

"Miguel!" seruku memanggilnya, melangkah masuk.

Tidak ada jawaban.

"Miguel! Aku pulang!" seruku masuk ke kamar. Aku tidak mendapatkan jawaban.

"Mi--Miguel," panggilku pelan juga terbata.

Aku meletakkan tasku dengan gemetar. Bayangan di pikiranku sudah begitu buruk. Apa mungkin tadi Brittany sudah ke sini? Napasku tercekat kemudian menggelengkan kepala.

Aku sudah berpesan beberapa hari lalu pada pihak keamanan maupun receptionist untuk tidak mengijinkan wanita itu masuk. Jadi ini tidak mungkin terjadi.

Tapi mengingat senyumannya tadi, membuat dadaku bergemuruh. Aku bergegas menuju ke dapur. Satu-satunya bagian yang belum kulihat.

"Miguel!" seruku melangkah masuk ke dapur.

"Hei! Kau sudah pulang? Kenapa kau tidak memencet bel? Biasanya kau menungguku membukakan pintu," sapanya dengan celemek di tubuhnya.

Tuhan, dia di sini. Aku mengembuskan napas lega. Luar biasa lega. Mendapatinya masih bergelut dengan adonan kue. Aku melangkah menghampirinya. Tertawa kecil.

"Hei, apa yang akan kau buat?" tanyaku sedikit membungkuk mengecup pipinya.

Dia tidak boleh tahu kalau aku mencemaskan dirinya. Kalau aku sungguh ketakutan ketika Brittany mendatangiku. Tidak. Apapun itu.

"Entah. Yang pasti kau akan menyukainya nanti. Dan sebaiknya kau mengganti pakaianmu. Aku tahu kau pasti lelah. Tunggu di kamar. Nanti aku akan membawakan satu nampan makanan ringan untukmu," ujarnya terdengar begitu manis.

"Apapun itu, aku menunggumu. Oya, panggil aku jika kau membutuhkan bantuanku," ujarku memberikan sebuah senyuman untuknya.

"Jangan khawatir," sahutnya."

Aku beranjak meninggalkannya. Bedanya kali ini dengan segenap kelegaanku. Aku membalikkan badan dari beberapa langkahku.

"Oya, Miguel!"

Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan tanya.

"Ashley atau Kendrick akan sering datang ke sini. Maid yang biasa kusewa akan pulang selama satu bulan. Kuharap kau suka dengan kedatangannya," ujarku.

Tidak. Ini hanyalah alasanku. Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja. Ashley atau Kendrick akan dengan baik menjaganya saat aku tidak bersamanya.

"Ya. Dia menelponku barusan sebelum kau pulang. Tidak masalah. Temanmu baik."

Aku tersenyum lalu kembali melangkah. Mengembuskan napas. Tanganku mengepal seiring doa untuk meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Ya?" jawabku ketika sampai di kamar.

"Aku menemukan sedikit informasi. Brittany adalah kakaknya. Miguel diangkat anak oleh orangtua Brittany."

"Aku sudah tahu hal itu. Dia sendiri yang bicara denganku. Tapi aku melihat ada hal buruk di sana. Hanya saja aku tidak tahu itu apa. Ada yang salah dengan wanita itu," jawabku sambil melepas tali heels dari kakiku. Lalu beranjak meletakkannya di rak sepatu.

"Dia mencintai Miguel. Dia menderita kelainan seks. Miguel adalah korbannya."

"Korban? Kelainan seks?" Aku terhuyung hingga jatuh ke lantai.

"Dia sering membuat pesta dengan teman-temannya. Kupikir dia hanya berada di situasi yang salah. Salah pergaulan."

Pesta seks? Tanganku gemetar memegang ponsel. Merasa tidak sanggup dengan apa yang kudengar. Miguel kecil adalah korban pelecehan dan kekerasan seksual. Di dalam keluarga itu. Sedang sialnya sepasang suami istri lanjut usia, tetangganya yang selalu memeluknya.

Sepasang suami istri yang kini sudah bersemayam di dalam pusara. Kupikir di dalam foto itu adalah orangtua angkat Miguel. Kepalaku sekarang seperti berputar.

Brittany datang mencarinya. Untuk apa?

"Lalu dia kembali untuk apa?" tanyaku bergetar.

"Untuk perasaannya. Orangtuanya juga sudah meninggal kan? Depresi kecanduan alkohol."

Aku memejamkan mata. Sungguh mengerikan. Dan bagaimana bisa ada keluarga yang seperti itu. Lalu bagaimana bisa seorang Brittany berkeliaran hidup bebas? Aku seperti kehilangan napasku. Jadi ini mengapa Miguel tidak pernah ingin membuka mulut mengenai masa lalunya?

"Amme?! Kau sakit?"

Aku terkejut mendengar pertanyaannya. Aku segera menutup telpon Ashley, beringsut untuk bangun. Meski aku merasa sangat sulit. Karena lututku sekarang gemetar.

"Aku... Baik," jawabku terbata memaksakan sebuah senyuman untuknya.

"Pastry buah untukmu. Semoga kau menyukainya," ujarnya tersenyum lebar, menunjuk pada nampan di pangkuannya.

Aku mengerjabkan mata. Aku ingin jatuh di hadapannya, menangis untuknya. Bagaimana bisa anak kecil itu bertahan hidup dalam keluarga yang bobrok itu. Tapi aku tidak ingin dia tahu kalau aku sudah tahu masa lalunya.

Aku menarik napas dalam-dalam menekan letupan-letupan di dadaku. Dalam hati aku berkata, akan kupastikan dia akan aman bersamaku. Aku akan melakukan apapun untuknya. Sekalipun harus mengeluarkan banyak uang untuk membawa Brittany jauh dari hidup Miguel.

"Aku sudah bilang, apapun itu. Terima kasih, kau manis sekali," pujiku tulus.

"Apapun untukmu," jawabnya.

Sekali lagi aku menarik napas sebelum mengambil nampan itu dari pangkuannya. Meletakkannya di meja kecil sudut tempat tidur.

"Saatnya kita menonton," ujarku sambil mengulurkan tanganku padanya.

Dia menyambut tanganku, mengalungkan di leherku. Aku sedikit menahan berat tubuhnya, membantunya berpindah ke tempat tidur. Dia berkata terima kasih tanpa suara. Aku menanggapinya dengan senyuman kemudian duduk bergabung bersamanya.

"Kau jarang membuka tirai saat pagi akhir-akhir ini. Kenapa?" tanyanya.

Hampir saja aku tersedak. Aku terdiam sambil mengunyah. Membiarkan dia menatapiku.

"Aku lupa. Terburu-buru. Memangnya ada masalah?" tanyaku.

"Tidak ada. Tapi matahari pagi baik untuk sirkulasi udara."

Aku membulatkan mata. Menyandarkan lenganku di bahunya. Sesekali tangannya singgah di sudut mulutku, membersihan remahan pastry di sana.

"Hm. Cuaca sedang buruk. Bisa tiba-tiba hujan. Bahkan hujan angin. Kupikir tidak ada salahnya menutup tirai untuk beberapa hari."

"Kau selalu memiliki jawaban untuk membantahku," dengusnya.

Aku tertawa. Mengecup kilat pipinya. Sedikit merona ketika dia membalas kecupanku di keningku.

Kalau saja dia tahu. Aku hanya tidak ingin dia tahu bahwa Brittany mencarinya. Brittany sudah tahu di mana dia tinggal. Itu akan membuat keadannya tidak baik.

***

Tbc
03 mei 2018
Eksekusinya kurang pas😪😪

S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance