15

Demi apapun, sosok yang ada di sampingku ini seperti orang pengidap kelainan jiwa. Apa kelumpuhan membuatnya seperti ini? Aku kembali duduk di sampingnya. Sedang dia kembali fokus menonton TV. Gurat wajahnya serius dan dingin.

Aku mengatur napas untuk kesal yang semakin begitu kuat. Tidak tahu siapa yang harus kusalahkan di sini. Aku menyandarkan punggung ke kepala ranjang. Menopang daguku dengan tangan kanan. Sementara bantal di pangkuan sebagai tumpuannya.

"Ada apa?" Dia menoleh padaku. Tatapannya begitu menusuk.

"Apanya?" balasku, menukikkan alis.

"Kenapa kau melihatku seperti kau ingin mengulitiku?"

Aku mendengus, membuang wajah ke samping. Merutuki kebodohanku, sejak tadi menatapinya. Bukan sebuah kekaguman. Tapi kebingungan bagaimana bisa dia seperti ini. Apa aku perlu bertemu dengan dokter yang menanganinya untuk menanyakan hal ini? Kupikir iya.

"Wajahmu tegang sekali?" ucapnya kemudian berderai tawa.

Satu lengannya kini bergerak melingkar di pinggangku, menyeretku merapat padanya. Aku menoleh, kembali menatapnya. Kali ini dengan berbagai pertanyaan.

"Miguel?" panggilku bernada memperingatkan.

"Apa?" dia menghentikan tawanya, "Sesekali mengerjaimu tidak masalah kan? Wajahmu tegang sekali. Itu lucu. Kau selalu menggemaskan."

Tangannya mencubiti pipiku dengan gemas. O-ow? Ini becanda? Mulutku terkatup rapat. Menatap dirinya dengan segenap kegeramanku.

"Kau- benar-benar, menyebalkan!" Aku berdesis tepat di depan wajahnya. Begitu dekat nyaris tanpa jarak.

Aku bisa menghirup harum napasnya. Juga mendengar deru napasnya. Merasakan terpaannya. Hingga membuat detak jantungku berdebar keras. Aku bergidik, berusaha menghalau perasaan yang tiba-tiba hadir. Terasa asing. Semakin terasa asing ketika mata itu membalas tatapanku lebih dalam. Aku seperti melihat sesosok lain di dalamnya. Pesona yang tidak bisa kuhindari. Aku tersesat. Di antara pesona dan rasa asing.

Sesaat lamanya aku mempertahankan diri untuk tidak goyah karena tatapan matanya. Hingga kemudian aku merasa semakin tersesat ketika mendapati bibirnya melengkung samar. Dia menciptakan sebuah senyum samar. Tidak, kurasa lebih tepatnya, dia menahan senyuman itu.

"Terima kasih sudah pulang lebih awal. Terima kasih sudah meluangkan waktumu untukku," bisiknya rendah tapi terdengar begitu tulus. Seperti kepulanganku adalah sebuah hal yang sangat berharga baginya. Hal yang sangat-sangat dia tunggu.

Ya Tuhan, aku tidak tahu kenapa. Setiap kata-katanya selalu membuat hatiku tersentuh. Aku mengerjabkan mata, menghasilkan satu titik air jatuh tanpa bisa kucegah. Aku merasakan tangannya menyentuh pipiku, mengusap di sana.

"Hey, aku akan berusaha untuk selalu pulang tepat waktu. Bahkan kalau bisa pulang cepat," jawabku sedikit parau.

Sekali lagi dia mengucap terima kasih. Kali ini tanpa suara. Dan itu menambah rasa sesak itu semakin kuat. Ah, bagaimana bisa aku menjadi secengeng ini?

Aku menarik napas panjang, berusaha mengendalikan diri. Memejamkan mata sejenak, membiarkan jari pria itu masih singgah mengusap pipiku. Meski terasa begitu nyeri. Aku hanya tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana rasanya menjalani hari-hari di posisinya. Sampai detik ini, aku belum bisa berhenti untuk menganggap Miguel dan orang-orang sepertinya adalah sama dengan diriku. Bahwa mereka mampu untuk menikmati harinya. Sedang yang mereka butuh adalah tatapan yang sama menghargainya, bukan mengasihaninya.

"Miguel!" pekikku ketika dia meninggalkan sebuah cubitan di pipiku.

Dia tertawa tanpa menjauhkan wajahnya dariku. Jujur, tawanya mampu menarik diriku untuk ikut tertawa di antara rasa sesak. Hingga kemudian berganti dengan isak tangis dariku. Aku mudah sekali menangis! Aku berdecih untuk diri sendiri.

"Hey, kau menangis?" tanya Miguel terkejut.

Aku mengangguk cepat lalu menyusupkan wajahku di ceruk lehernya. Merasakan tangannya mengusap punggungku. Juga dia mengecupi puncak kepalaku.

"Kau baru saja membuatku terkejut. Leluconmu sungguh konyol! Aku...aku bahkan mengira jika Miguel yang dulu itu kembali," ucapku lirih.

Dia terkekeh. Melepasku dari tubuhnya. Tangannya merangkum wajahku. Aku mendapati senyum lembut darinya.

"Aku sudah berjanji dia tidak akan hadir lagi. Maaf, aku hanya iseng mengerjaimu. Salahmu, kau terlalu menggemaskan," ucapnya lalu mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibirku. Tanpa aba-aba dan berhasil membuatku tertegun. Semua sikapnya sungguh ajaib di mataku. Aku bahkan tidak menyadari bibirku kini tersenyum simpul.

"Oya, apa kau sudah makan?" tanyaku menetralkan keadaan.

"Untuk makan malam, belum. Ini masih sore," jawabnya terkekeh.

"Kau! Baiklah. Kau mau keluar malam ini?" tanyaku seraya mengambil tangannya dari pipiku.

Dia terdiam sejenak. Menimbang kemudian bergidik.

"Tidak. Untuk apa aku keluar?"

"Sesekali kita makan di luar. Apa kau tertarik?"

"Tidak."

Tidak? Aku mengernyit demi mendengar jawabannya. Dalam pikiranku apa dia tidak bosan sehari-hari berdiam di rumah? Tidak berkeliaran keluar, berinteraksi dengan orang-orang.

"Kenapa?" tanyaku cepat.

Dia berdecak lalu kembali menyandarkan tubuhnya, menghadap lurus pada layar TV. Tanganku mengguncang pelan lengannya. Begitu penasaran dengan alasan dari jawabannya.

"Kau sudah bekerja keras. Mengapa aku tega menghabiskan uangmu untuk makan malam di luar? Kau pikir makan malam di luar tidak menghabiskan uang banyak?"

"Kau tenang saja. Itu tidak akan menghabiskan hingga jutaan dollar. Ayolah, kita makan di luar. Kau juga perlu berganti suasana. Memangnya kau tidak bosan di rumah setiap hari tanpa keluar?"

"Kenapa harus bosan? Jika kau selalu pulang, apa yang mendasari aku untuk bosan?"

"Menonton film?"

Dia menggeleng. "Aku bisa menontonnya secara online."

"Popcorn?"

"Kau bisa membelikan aku bahannya. Aku akan membuatnya."

"Jalan-jalan? Nongkrong di Mall?"

Lagi, dia menggeleng. Sedang aku berdecak dalam hati. Tidak mudah untuk menggoyahkan sosoknya.

"Akhir pekan depan kau bilang kita akan jalan-jalan. Jadi kenapa harus sekarang juga?"

"Itu beda hal. Jadi kenapa harus menunggu pekan depan?"

"Kenapa kau harus pusing memikirkan cara menggunakan sisa waktumu hari ini untuk jalan-jalan?"

"Astaga. Kau selalu memiliki jawaban!" erangku.

Aku melompat dari ranjang. Meninggalkannya dengan segenap rasa geram yang tersisa. Aku masih sempat mendengar seruan darinya memanggilku. Tapi biarkan saja. Anggap saja ini balas dendam dariku. Aku tersenyum miring menuju ke dapur.

Rencana sore ini aku akan mengajaknya untuk keluar. Makan malam sekaligus menemaniku berbelanja kebutuhan pokok. Terakhir berbelanja tiga minggu yang lalu. Dan kini aku harus memeriksa apa saja yang harus kubeli. Astaga, aku belum berkeluarga tapi rasanya seperti seorang wanita yang sudah berumah tangga.

"Apa yang sedang kau lakukan? Apa kau sedang menyiapkan untuk makan malam nanti?"

Aku menoleh, mendapati dirinya meluncur ke arahku. Sejenak aku menahan napas. Untuk apa dia bersusah payah mengejarku? Aku membiarkan dia mengamatiku ketika aku tak kunjung menjawab.

"Amme?!"

"Aku tidak memasak malam ini. Sudah kubilang, kita makan malam di luar saja," jawabku akhirnya seraya membuka pintu lemari pendingin.

"Kenapa? Kalau kau tidak sempat, biar aku saja yang memasak. Aku tahu kau lelah bekerja seharian."

Aku menoleh. Tanganku menutup pintu lemari pendingin. Menghela napas demi dia yang tidak pernah menyerah untuk melakukan sesuatu hal.

"Sekalipun aku lelah, aku tidak akan mengijinkan kau berurusan dengan dapur jika aku berada di rumah."

Dia terdiam. Tapi aku tidak melewatkan sorot mata kecewa. Aku mengerti dia ingin berbuat sesuatu untukku. Ucapan terima kasihnya karena sudah mengijinkan dia hidup bersamaku. Aku menahan napas sebelum menghampirinya.

"Aku melukaimu?" tanyaku pelan.

"Kau berpikir tidak?" jawabnya dingin. Seperti dia menahan sesak.

Aku meraih tangannya, tersenyum samar. Mencari manik matanya dan berhenti ketika aku menemukan. Aku menatapnya lekat-lekat.

"Jangan sensitif. Malam ini kita akan makan di luar sambil belanja kebutuhan pokok. Ada banyak barang yang harus kita beli. Nanti kau bisa memasak atau melakukan apapun sesukamu. Aku membebaskanmu. Yang terpenting kau harus bisa menjaga dirimu," ucapku lembut. Sejujurnya aku hanya mengkhawatirkan keadaannya. Tapi dia tidak memahami apa yang kutakutkan.

"Benar?"

"Ya. Mungkin kau bosan setiap hari berdiam di kamar hanya membaca buku atau menonton TV. Mulai nanti malam, aku berjanji membolehkan kau melakukan apapun."

"Melakukan pekerjaan rumah?"

Aku melebarkan mata. Sebuah pertanyaan konyol. Di mana otakku ketika membiarkan dia melakukan pekerjaan rumah? Ah, aku seperti tidak memiliki hati menyewa seorang maid dengan kondisi yang terbatas.

"Hey!" tegurku lengkap dengan tatapan kesal. Dia tertawa.

"Tidak. Mungkin aku nanti hanya akan menyentuh dapur. Belakangan aku suka menonton acara memasak. Bukan sebuah hal aneh. Aku melihat banyak koki pria. Tidak, sebagian besar adalah seorang pria," jelasnya.

Aku mengangguk-angguk. Mengerti apa yang dia inginkan untuk dirinya.

"Lalu kau tertarik untuk menjadi bagian dari mereka?" tanyaku mengerling ketika dia bercerita dengan penuh antusias.

"Kenapa tidak?"

Aku terdiam sejenak. Memikirkan sebuah hal yang selama ini tidak terlintas di benakku.

"Kau ingin masuk sekolah masak? Kalau kau tertarik, nanti aku akan mencari tahu sekolah masak yang cocok untukmu."

"Tidak. Aku pernah melakukannya. Kau hanya perlu membiarkan aku menyentuh dapur. Itu saja."

Sebuah tawa kecil lolos dariku. Aku menyentuh pundaknya, mengusapnya di sana. Apapun untuk dia.

"Baiklah. Kau bisa mencari apa yang kau butuhkan nanti di supermarket. Kau pikirkan saja apa yang kau butuhkan. Jangan sampai ada yang terlewat."

"Terima kasih banyak," ujarnya menggenggam tanganku yang berada di pundaknya.

Dia meninggalkanku dengan binar matanya. Aku baru menyadari satu hal yang berbeda dari diriku sejak adanya dia. Bahwa aku bukan lagi sosok wanita yang egois. Aku belajar mengalah bahkan tanpa kusadari. Aku belajar untuk meredam egoku, dengan melihat apa yang orang lain butuhkan. Semuanya tanpa kusadari dan dengan sendirinya. Tanpa harus seseorang menyuruhku untuk berubah.

Aku melipat tangan di dada, menatapi sosok itu bersama kursi rodanya menghilang dari pandanganku. Bahkan aku tersenyum tanpa sadar. Aku menghela napas, kali ini sangat lega. Di dalam hati aku sangat berterima kasih pada Tuhan.

"Kalau saja kau tahu bagaimana dulu aku adalah wanita dengan sifat seperti batu," gumamku terkekeh sebelum akhirnya kembali mencari barang apa saja yang harus kubeli. Terutama bahan makanan. Karena aku adalah tipe wanita yang sangat jarang berbelanja. Aku lebih menyukai hal yang praktis. Itu saja.

***

Tbc
14 feb 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance