14

Dua tiket perjalanan sudah berada di tanganku. Saat ini aku sedang mengemasi barangku. Sangat tidak sabar untuk segera pulang. Aku pulang lebih awal dari biasanya. Berharap pria itu akan menyukai kejutan ini. Berlibur di pulau yang tidak begitu ramai. Ini akan sangat menyenangkan. Dimana kita bisa menikmati liburan tanpa berdesak desakan dengan wisatawan lain.

Aku sengaja tidak memberitahu pria itu jika aku pulang lebih awal. Tanganku menekan bel pintu dengan keras berkali-kali. Aku tidak pernah melakukan ini sebelumnya. Dalam hati aku tertawa ketika beberapa lama kemudian mendengar sahutan dari dalam sedikit kesal. Mungkin dia pikir entah orang gila mana yang menekan bel secara brutal.

"Selamat sore," seruku ketika dia membukakan pintu.

Dia terdiam menatapiku lalu mengembuskan napas. Gurat-gurat kesal karena perbuatanku perlahan memudar.

"Kupikir orang gila mana yang memencet bell secara brutal. Ternyata kau," desahnya.

Aku terkekeh lalu berlutut di hadapannya. Mengangkat wajah demi menatap dirinya dengan senyum lebarku. Tidak lama tangannya singgah di puncak kepalaku. Memberikan usapan ringan di sana.

"Apa kau tidak akan bertanya...,"

"Tentu saja. Kau pulang jauh lebih awal dari biasanya. Apa kau ada masalah dengan pekerjaanmu?" Dia memotong kalimatku, menatapku penuh selidik.

Aku mengedikkan bahu lalu memberinya sebuah amplop coklat. Dia mengernyit. Membolak-balik amplop coklat itu tanpa membukanya.

"Kau diberhentikan dari pekerjaanmu?" tanyanya menatapku kali ini berubah khawatir.

"Bagaimana kalau ya?"

"Tidak apa-apa. Aku akan bersiap, membantumu. Mungkin akan mencari pekerjaan," ujarnya menghadirkan remasan kuat di hatiku.

"Kau tidak akan bekerja. Kau akan tetap di sini. Kalau begitu bukalah," ucapku sedikit parau.

Dia mengembuskan napas. Lalu tersenyum singkat. Kali ini dia menundukkan wajahnya, mengecup puncak kepalaku.

"Semua akan baik-baik saja kan? Kalau kau tidak membolehkanku bekerja, maka aku akan membantumu mencarikan pekerjaan."

Ucapannya membuatku tersenyum lebar. Membiarkan dia membuka amplop tersebut. Reaksinya sempat membuatku terdiam, mencelos ketika dia hanya berdiam menatapi dua tiket perjalanan di tangannya. Lalu berganti menatapku, begitu selama beberapa saat.

Dalam diam bahuku merosot. Aku menyimpulkan ini bukanlah kejutan yang bagus. Lututku bahkan seperti kehilangan tulangnya.

"Ini?" ucapnya pelan.

Aku meringis terpaksa menutupi rasa kecewa. Memberanikan diri untuk menatap dirinya.

"Tiket perjalanan?" tanyanya lagi.

Kepalaku mengangguk. Dia terlihat membolak-balik dua tiket perjalanan di tangannya.

"Tiket perjalanan? Ya Tuhan!!!" Dia berseru kali ini seakan tidak mempercayai apa yang dia lihat. Tidak menunggu lama, dia langsung meraih bahuku untuk dia dekap. Begitu erat.

"Miguel,"

"Kau akan mengajakku berlibur? Ini untukku?"

Aku tertawa di atas sebuah rasa sesak. Mungkin ini sebuah rasa haru yang tiba-tiba hadir menggantikan rasa kecewa yang lebih dulu datang. Kupikir dia tidak menyukainya.

"Ya," ucapku serak.

"Terima kasih. Kau sangat baik. Terima kasih. Kau pulang lebih awal untukku?"

Sekali lagi aku mengangguk. Dia terus membisikkan kata terima kasih seiring dekapannya yang mengerat.

"Untukmu. Semuanya untukmu. Kau suka?"

"Sangat. Jadi pekerjaanmu baik-baik saja?"

Aku melepaskan diri dari dekapannya. Menatap dirinya kali ini dengan binar di mata. Sementara dirinya menatapku teduh. Tetap dia seorang Miguel yang manis.

"Tentu saja. Sudah kubilang kau tidak perlu bekerja."

"Tapi aku ingin sekali membantumu," desahnya.

"Bisa aku mendapatkan hadiah darimu di sini?" tanyaku dengan berani, menunjuk pada pipi dengan jariku.

Dia mengulum senyum. Lalu tangannya terulur menyentuh pipiku, mengusapnya. Tapi yang membuat mulutku terbuka lebar adalah ketika dia memundurkan kursi rodanya lalu berbalik meninggalkanku.

Ya Tuhan! Aku mengatupkan mulut, menggeram dalam hati lalu berdiri. Tidak lupa menutup pintu sebelum aku menyusul pria itu. Terkadang dia masih suka membuatku geram.

"Untukmu," ucapnya berseru ketika aku melintas di depan pintu dapur.

Aku menghentikan langkah. Melihat dia menghampiriku dengan secangkir teh hangat di tangannya. Tidak ada yang bisa kulakukan selain berdiri menatapinya. Lagi, hatiku tersentuh. Aku tidak tahu kenapa bagaimana dia dengan begitu mudahnya membuat hatiku tersentuh.

"Untukku?" tanyaku memastikan. Kali ini dengan suara parau.

"Ya," jawabnya tersenyum.

Tanganku terulur untuk menerima cangkir itu. Tapi dia tidak mengijinkan tanganku untuk menerimanya. Dia berkata untukku tapi yang dia lakukan? Aku mengernyit menatapinya.

"Tapi kau harus meminumnya lewat tanganku," sahutnya menyeringai.

Apa katanya? Aku tertawa kecil tak habis pikir. Bagaimana bisa dia mendapatkan ide itu. Aku membungkukkan badan bersiap meminum teh itu. Tapi hal lain terjadi, membuatku terkejut.

Dia menjauhkan cangkir itu dari mulutku. Aku ingin memakinya tapi bungkam. Ketika dia mendekatkan wajahnya tanpa aba-aba, mengecup pipiku. Apa yang dia lakukan membuatku merona. Entah dari mana dia belajar keisengan ini.

"Kau?" Aku mengatupkan mulut, menatap dirinya ketika dia kembali menjauhkan wajahnya dariku.

Dia tertawa seraya memberikan cangkir teh itu padaku. Sekali lagi sikapnya mengundang tawa kecil sekigus gemas.

"Kau pikir aku tidak bisa memberimu kejutan?" ucapnya penuh kemenangan sebelum berlalu dari hadapanku menuju ke kamar.

"Hey!" seruku mengejarnya. Masih terdengar tawa darinya.

Lihatlah semuanya berbeda kali ini. Ada tawa yang sudah memecahkan keheningan yang tercipta selama ini sebelum kehadirannya. Aku pikir seharusnya aku berterima kasih pada Ashley, sahabatku karena sudah menabraknya sehingga dia hadir dalam kehidupanku.

"Kau menyebalkan!" dengusku ketika sampai di kamar melihat dia sedang berusaha mengangkat tubuhnya untuk berpindah ke tempat tidur.

Tanganku segera meletakkan cangkir teh buatannya, menghampirinya. Aku menyelinap di bawah ketiaknya, membuatnya terkejut.

"Biar kubantu," ucapku tersenyum.

Dia menoleh padaku, membuat wajahnya hanya berjarak beberapa centi dariku. Aku bahkan bisa menghirup harum napasnya.

"Tapi aku bisa sendiri," sahutnya.

"Tapi aku sudah di rumah. Kau tidak perlu melakukan apapun sendirian," bantahku.

Terdengar hembusan napas darinya.

"Kau selalu menang," sungutnya.

Aku membiarkan dia bersungut. Sementara tanganku menyusun bantal untuknya agar dia bisa bersandar dengan nyaman. Kemudian aku duduk di sampingnya, menyandarkan daguku di sisi pundaknya. Aku melihat tangannya meraih remote TV, menyalakan TV.

"Terima kasih. Tapi apapun untukmu," jawabku seraya mencubit gemas hidungnya.

Terdengar erangan kesakitan, menoleh padaku. Dia mengetatkan rahangnya, menatapku tajam. Sedang aku membalas tatapannya, menahan tawa. Wajah kerasnya yang dia buat bukan menjadikan aku takut. Tapi menganggap itu sebuah lelucon. Hingga tidak lama kemudian wajah kerasnya memudar berganti dengan tawa yang tidak bisa tertahan.

Satu tangannya kini bergerak merengkuh tubuhku dalam rangkulannya. Dia menggesekkan hidungnya pada hidungku. Tidak hanya itu. Dia berganti membuatku memekik kecil karena gigitannya pada tulang pipiku.

"Kau wanita yang menggemaskan. Tapi sayang, kau masih bau kantor. Sepertinya kau butuh untuk mandi. Lekas mandi!"

"Ah, ya. Aku melupakan itu. Kalau begitu, aku akan mandi segera."

Aku berjingkat, beranjak darinya menuju ke kamar mandi. Tapi sebelumnya aku meletakkan tas kerja di sebuah rak yang sengaja kuletakkan di dekat pintu kamar mandi, berdampingan dengan lemari pakaian.

"Oya, besok adalah waktumu bertemu dokter. Apa kau mau kuantar?" tanyaku seraya masuk ke kamar mandi.

"Tidak. Kau tetaplah bekerja. Aku akan menghubungimu nanti seperti biasa."

"Baiklah, Tuan Miguel."

Berdiri termangu, menatapi kamar mandi. Bukan karena Miguel tidak lagi menyahutiku. Tapi aku hanya memastikan apa yang kulihat di dalam kamar mandiku. Apa yang sudah dia lakukan?

Aku menggelengkan kepala. Aku akan bertanya nanti padanya mengenai apa saja yang dia lakukan hari ini. Dan sepertinya aku tidak tertarik untuk berlama-lama di kamar mandi. Begitu selesai, bahkan tidak sampai 15 menit, aku segera keluar.

"Aku meninggalkan pakaian kotor di keranjang tadi pagi. Juga botol sabun yang kosong. Tapi aku tidak melihatnya sore ini," ujarku menghampirinya yang tengah sibuk menonton acara TV.

"Aku menyewa seseorang tadi. Agar ketika kau pulang, kau tidak perlu bekerja lagi merapikan rumah," sahutnya tanpa melepaskan tatapannya dari layar TV.

"Seseorang? Kau membayarnya?"

Dia mengedikkan bahunya, "Cuma-cuma."

Mataku melebar. Cuma-cuma katanya? Dengan cepat aku menaiki tempag tidur dan duduk di sampingnya. Mataku menatapnya menelisik. Jenis lelucon apalagi ini?

"Cuma-cuma?" tanyaku mengulang.

"Ya. Kenapa?"

"Bagaimana bisa?"

Dia meringis lebar. Aku mencium seperti dia sudah mengerjai seseorang. Tapi siapa? Yang kutahu dia tidak memiliki siapapun yang dia kenal di sini selain aku. Sedang menyewa maid harian tidak mungkin dia bayar secara cuma-cuma.

"Bisa saja. Apa yang mustahil bagi seorang Miguel?" ucapnya mengerling.

"Ini mustahil," bantahku lengkap dengan tatapan tidak percaya.

"Menurutmu?"

"Kau sudah melakukan kejahatan. Tapi aku tidak tahu dengan siapa," gumamku. Sementara otakku berputar mencari sosok itu.

"Ya, kau benar. Tadi ada seorang wanita yang datang ke sini mengantar undangan pernikahan saat aku ingin memberesi kamar mandi. Jadi, kupikir apa salahnya meminta bantuan untuk memanggilkan maid harian.

Tapi temanmu baik. Dia menawarkan diri. Jadi, apa salahnya aku terima," jelasnya.

"Ashley?"

Dia mengangguk. Dan aku tidak bisa mempercayai ini. Keisengannya pada sahabatku. Yang kutahu gadis itu lebih sayang pada kuku panjangnya.

"Seseorang yang sudah membuatku seperti ini."

Mataku meredup. Apa dendam itu masih ada? Seketika aku menegang, menatapinya dengan waspada.

"Ada apa?" tanyanya ketus.

"Tidak ada!" jawabku cepat. Astaga, bagaimana bisa sosok Miguel yang menyeramkan itu kembali datang.

Aku terdiam, beringsut perlahan. Masih dengan kebingungan dan rasa terkejut yang menggelayuti.

"Kau mau kemana?" tanyanya ketika aku mencapai pintu.

Nada suara milik seorang Miguel yang dulu. Aku mengembuskan napas. Seharusnya aku tidak menanyakan hal ini jika pada akhirnya malah hanya akan membangunkan sosok Miguel yang dulu.

"Mencari makan," sahutku asal.

"Tidak perlu. Duduk sini!" perintahnya.

Mulutku mengatup keras. Aku membalikkan badan demi menatap dirinya.

"Kenapa kau jadi seperti ini?" dengusku tidak senang.

"Apanya? Kubilang kau duduk sini. Apa kau tidak dengar?"

Aku menggeram dalam hati. Menghentakkan kaki dengan kesal sebelum menuruti perintahnya. Sebuah pertanyaan kini bermain di kepalaku, bagaimana bisa dia berubah drastis. Bahkan hanya dalam hitungan menit.

***

Tbc
9 februari 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance