13

Aku mengerjabkan mata. Mengembuskan napas untuk kesekian kali demi memikirkan ucapan pria di sampingku yang sudah tertidur pulas sejak tadi. Mungkin benar jika aku membutuhkan cuti untuk berlibur sebentar.

Bibirku tersenyum singkat disela kegiatanku menatapi tablet di pangkuan. Jemariku masih sibuk mencari tempat yang pas untuk berlibur. Tidak peduli pagi akan menjelang. Kupikir penyakit lamaku sedang menghampiri saat ini. Kesulitan tidur.

"Kita akan berlibur pekan depan. Kau harus senang mendengarnya," ucapku seraya menatap dirinya yang terlelap. "Aku akan memberimu kejutan tiket perjalanan besok. Semoga kau menyukai kejutan dariku," ucapku lagi dengan senyum membuncah.

Aku sudah memilih sebuah tempat untuk berlibur akhir pekan depan. Dan besok aku akan menghubungi biro perjalanan untuk tiket tersebut. Aku tertawa kecil seraya meletakkan tablet di meja sudut tempat tidur. Kemudian mengecup kilat pelipis pria itu sebelum aku berbaring. Masih dengan senyum yang enggan surut dari bibirku.

"Selamat malam," bisikku lalu kembali pada bantalku.

Tapi hanya dalam hitungan detik, sebuah lengan menyelip di belakang kepalaku, lalu menyeretnya hingga aku berada di dalam dekapannya. Itu membuatku terdiam kaku. Aku mencoba menatapnya, barangkali dia masih terjaga sejak tadi. Tapi dengkuran halusnya menepis anggapan itu. Lalu bagaimana bisa dia melakukan hal ini?

Keningku mengkerut. Tidak ada hal lain lagi yang keluar darinya. Aku memutuskan untuk kembali merebahkan kepala tapi kali ini aku membiarkan kepala ini rebah di lengannya, dalam dekapannya. Entah apa yang selama ini terjadi. Dan ketika aku mengingat, ketika pagi aku bangun dari tidur, pasti selalu mendapati diriku di dalam dekapannya.

Itu sempat membuatku canggung juga berpikir tentang aku yang tidur tak pernah bisa diam. Bergerak bebas ke sana ke mari atau bahkan memutari ranjang tanpa mengingat ada orang lain di tempat tidur. Tapi kali ini, sepertinya rasa canggungku tak beralasan. Aku tidak mungkin seliar itu dalam tidur. Terjawab dengan gerakan tangannya membawaku dalam dekapannya.

***

Melihat jam, sepertinya bukan waktu yang tepat untuk menikmati sarapan di rumah. Aku akan terlambat! Sepertinya ini karena aku terlalu nyenyak tidur. Atau? Aku terdiam sejenak, mengingat sesuatu hal. Bahwa beberapa waktu belakangan aku sangat jarang mendapatkan kualitas tidur yang cukup baik. Tepatnya sejak Treyvor tidak lagi bersamaku. Dan akhir-akhir ini aku mendapatkan hal itu kembali. Apa ini karena dia? Pria itu? Seorang Miguel?

Aku membuang napas, sekaligus membuang pikiran konyol dari kepala. Bergidik lalu menyambar sepasang sepatu hak tinggi dan menjejalkannya ke kaki dengan cepat.

"Astaga, bagaimana bisa aku memikirkan dia di saat sedang dalam waktu sangat terbatas ini," dengusku sambil melangkah cepat. Aku harus memburu waktu jika tidak ingin mendapat ocehan dari atasan.

"Hei! Sarapanmu!"

Teriakan itu membuatku mengatupkan mulut. Aku bahkan melupakan kalau dia sedang sibuk membuat sarapan. Untuk pagi ini aku membiarkan dia melakukan apa yang dia mau. Aku meluluskan permintaannya membuat sarapan pagi sendiri. Hanya untuk kali ini saja. Itu hanya karena waktuku terbatas. Jika aku memiliki banyak waktu maka jangan harap dia bisa menyentuh peralatan dapur.

"Maaf, aku akan terlambat jika ikut sarapan denganmu," seruku di ambang pintu lalu menghadap padanya.

Sekilas aku melihat tatapan kecewa darinya dari dalam dapur. Dia terlihat sudah siap dengan sarapan buatannya.

"Lima menit?" tawarnya.

"Pasti akan menghabiskan waktu lebih lama lagi tanpa disadari," bantahku, memberinya tatapan meminta pengertian.

Dia tidak menyahut. Malah menggerakkan kursi rodanya sedang tangannya sibuk bekerja. Entah apa yang dia lakukan.

"Aku berangkat," pamitku akhirnya.

"Tidak. Hanya lima menit. Kenapa begitu sulit? Aku sudah bersusah payah untuk sarapan pagi ini," sungutnya lalu meluncur ke arahku.

Kalimatnya berhasil membuatku bungkam. Bahkan aku merasakan sesak itu datang. Aku yang berkeadaan sempurna ini tidak bisa menghargai jerih payahnya, membuat sarapan dengan keterbatasannya.

"Kau tidak akan terlambat. Tenang saja. Selamat bersarapan di kantor, Amme," ucapnya seraya mengulurkan kotak makanan dari pangkuannya.

Tenggorokanku tercekat. Sakit rasanya. Bahkan mataku sudah berembun kali ini. Di pagi ini, dia bukan sekedar manis. Tapi dia sudah menyentuh hatiku. Melihat sepasang matanya yang berbinar, aku merasa semakin luruh.

"Terima kasih," ucapku tercekat, menerima kotak sarapan dengan sedikit gemetar. Kuharap dia tidak menyadari gemetar tangan ini.

Aku membungkuk, mengecup pipinya. Lalu memeluknya, membiarkan setetes air jatuh dari mataku. Rasa haru yang memuncak, tersembunyi di punggungnya.

"Tapi kau tidak perlu melakukan ini untukku. Aku bisa membeli di luar nanti," ucapku seraya melepas pelukanku.

"Bukan hal yang sulit. Aku senang membuatnya untukmu. Anggap ini ucapan terima kasihku karena kau sudah membiarkanku hidup bersamamu."

"Kau tidak akan kemana-mana. Kau baik. Terima kasih. Aku berangkat sekarang. Seperti biasa, jika kau ada apa-apa segera telfon aku. Mengerti?"

"Sangat mengerti, wanitaku," kekehnya, mengundang tawa kecil dariku.

"Sampai nanti aku pulang," ucapku memberikan senyum untuknya. Tanganku mengusap punggung tangannya.

"Aku selalu menantimu. Semangat bekerja!"

Aku berkata ya tanpa suara lalu bergegas pergi. Entah apa yang dia buat untukku pagi ini. Aku menyisakan senyum selama melangkah dengan kotak sarapan di tanganku. Aku akan membukanya nanti sesampainya di kantor.

Kau baik. Juga manis. Entah malaikat apa yang bersemayam di dalammu. Aku juga tidak tahu kenapa Tuhan mengirimmu dalam hidupku.

Bibirku tersenyum simpul di sela perjalanan menuju ke kantor. Membayangkan sosok Miguel. Pria yang mampu mengubah dirinya dalam sekejab. Terkadang aku penasaran ingin tahu siapa dia, berasal dari mana dan bagaimana dia. Tapi rasanya untuk saat ini, itu bukanlah sesuatu hal yang baik. Mungkin nanti dia akan bicara sendiri tentang dirinya yang sebenarnya.

Kaki ini melangkah ringan namun cepat begitu sampai di kantor. Lagi-lagi dia benar. Aku tidak terlambat. Masih ada sisa waktu lima menit. Sesuatu dalam diriku tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak akan mendapat ocehan dari atasanku.

"Sepertinya kau dalam keadaan sangat baik. Apa kau habis memenangkan lotre semalam?"

Pertanyaan dari James membuat langkahku yang hampir mencapai meja kerja terhenti sementara. Pria itu menatapku penuh selidik. Aku terdiam sebelum tersenyum lebar. Bukan, jahil. Aku ingin membuatnya penasaran.

"Ya. Bukan semalam. Tapi pagi ini," jawabku lalu melangkah ke meja.

"Ha?" Dia membuka lebar mulutnya berusaha meyakini apa yang dia dengar lalu meluncur dengan kursi putarnya mendekat padaku. "Pagi ini? Kau bermain lotre?"

"Tentu saja."

"Demi apa kau, Amme?! Berapa dolar yang kau menangkan?" decaknya kagum.

"Tidak ternilai," jawabku tersenyum misterius.

"Apa kau akan mengadakan pesta?"

"Tidak. Tapi aku akan bepergian untuk merayakan kemenangan ini. Kau akan mendapatkan cerita dariku pekan depan," sahutku terkikik.

Dia mendengus. "Jadi, berapa dolar?"

Aku menggelengkan kepala lalu menatapnya serius.

"Sudah kubilang ini tidak ternilai. Bahkan dengan permata sekalipun."

"Wow! Ini sangat keren. Kau akan menjadi kaya raya dan kau tidak perlu bekerja lagi bukan?"

Kalimatnya membuatku tergelak. Kerutan di keningnya menandakan sebuah kebingungan, mengapa aku tertawa keras.

"Kupikir kau masih dalam pengaruh alkoholmu," gumamnya menilaiku.

Aku menggeleng. Sudah sangat lama aku menjauhi minuman itu. Sejak aku tidak bersama Treyvor. Dan aku mulai membenahi pola hidupku. Hingga hanya sulit tidur yang belum teratasi dengan baik.

"Tidak ada alkohol dalam kamusku sekarang. Dan aku tetap perlu untuk bekerja. Kau tahu, Jammy? Ini bukan masalah uang atau sesuatu hal yang bisa dinilai dengan uang."

"Lalu? Apa yang kau menangkan dari sebuah lotre?"

Bibirku tersenyum lebar, dengan binar di mata menatap padanya. Kemudian aku mengacungkan kotak makanan.

"Ini?" ucapnya tercengang. Tidak lama kemudian dia tertawa membahana. Aku tahu, dia pikir apa yang kukatakan adalah sebuah kekonyolan.

"Kau?" Dia menggelengkan kepala tidak habis pikir. Apalagi ketika aku membukanya, isinya hanyalah menu sarapan.

Sosis bakar bersama sayuran dan roti gandum mengisi kotak itu. Aku tidak peduli. Tanganku kini mengambil makanan itu lalu melahapnya. Ini enak!

"Kau konyol sekali!" dengusnya.

"Kau hanya tidak tahu. Sesuatu hal tak ternilai. Tidak semua hal bisa kau ukur dengan dolar. Kau harus tahu itu!" ucapku di sela kunyahan.

"Apa maksudmu?"

"Aku seperti mendapat Jackpot. Ketika Tuhan memberiku seseorang. Kau tahu? Kita yang sempurna sering menyia-nyiakan sesuatu hal tanpa kita sadari. Tapi kehadirannya membuatku menyadari aku harus lebih baik darinya. Dia dengan keterbatasannya masih memiliki semangat hidup, melakukan banyak hal. Tapi kau yang sempurna selalu membuang hidupmu untuk berpesta dan berpesta.

Kupikir ini adalah hal yang paling berharga dalam hidupku. Tidak akan pernah bisa kubeli dengan dolarku," tuturku membuatnya terkesiap. Dia bahkan menatapku terkesima.

"Ada yang terlewat. Sejak kapan hatimu mulia? Kau peduli dengan orang lain? Astaga," decaknya.

Aku terbungkam, memutar mulutku. Astaga, aku sudah banyak bicara pagi ini. Dengan seorang James. Seorang pria dengan tingkat rasa ingin tahu yang sangat tinggi! Dengan cepat aku melahap makanan di tanganku lalu beranjak menuju ke pantry. Aku harus menjauh darinya sebelum dia mengulitiku lebih dalam.

"Amme!" serunya ketika aku sampai di ambang pintu.

"Tidak! Aku tidak akan membagi sarapanku denganmu!" jawabku asal.

"Bukan itu! Aku hanya mencium kau merahasiakan sesuatu dariku. Jelaskan sekarang!"

Apa katanya? Aku melangkah cepat tanpa menyahuti teriakan dari James. Begitu sampai di pantry, aku mengambil kursi dan duduk. Aku kembali menikmati sarapanku.

Demi apa, sarapan buatannya sangat lezat. Aku tersenyum simpul di antara kunyahanku.

Terima kasih untuk pagi ini. Untuk sarapan darimu. Kau sempurna. Dan aku tidak akan membiarkan hidup manismu berakhir. Ya, kau manis dengan sikapmu!

Apa yang dia buat untukku bukanlah sesuatu hal yang jarang ditemui. Sederhana. Tapi keadaannya yang membuat terasa luar biasa. Entah, besok atau lain kali, aku akan membiarkannya melakukan ini lagi atau tidak. Hanya yang kutahu, dia tidak perlu bersusah payah untuk hidupnya. Bagaimana caranya. Dan aku sendiri tidak tahu mengapa aku memperjuangkan dirinya seperti ini.

****

Tbc

06 februari 2018
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance