12
"Kau mau kemana?" tanyaku ketika keluar dari kamar mandi, aku mendapati dia menggerakkan kursi rodanya keluar dari kamar.
"Kupikir menikmati sore di balkon dengan secangkir teh hangat adalah sesuatu hal yang menarik," ujarnya menjawab pertanyaanku.
Aku mengembuskan napas. Masih berbalut handuk di kepala, aku menghampirinya.
"Kau tunggu saja di balkon. Aku akan membuatkannya," ucapku seraya membalikkan kursi rodanya, mendorongnya menuju ke balkon. Tidak peduli dengan tatapan protesnya.
"Aku bisa membuatnya sendiri," sahutnya bersikeras.
"Ya. Tentu saja kau bisa. Kau bisa melakukan apapun saat aku tidak di rumah. Kalau aku di rumah, kau bisa meminta tolong padaku."
Aku tidak mempedulikan dengan embusan napas kesalnya. Bibirku menyembunyikan senyuman kemenangan. Kalau dulu pria ini yang selalu menang, sejak malam itu aku adalah orang yang selalu menang. Tapi bukan aku sok berkuasa di sini. Aku hanya ingin memudahkan dirinya. Aku tidak tahu, aku hanya tidak ingin keadaan ini berubah. Aku menikmati keadaan ini.
Dua minggu yang lalu aku harap adalah malam terakhir sekaligus salam perpisahan untuk Miguel yang dingin dan datar. Karena sejak saat itu, yang kutemui adalah Miguel yang hangat. Senyuman manis dan ucapan selamat pagi ketika bangun tidur. Juga rentangan tangan menyambutku ketika aku pulang bekerja.
Dia menepati kata-katanya bahwa tidak akan keluar dari flat kecuali bersamaku atau untuk bertemu dokter. Meskipun aku sering memberikan saran untuk sekedar mencari udara segar di taman. Tapi dia tidak melakukan itu. Aku mengenalnya sebagai sosok Miguel yang sudah menutup rapat masa lalunya. Yang aku sendiri tidak pernah tahu bagaimana dia dan masa lalunya.
"Tapi itu perkara kecil. Aku hanya tinggal menyeduh teh kantong dengan air panas, Amme, please," ujarnya sekali lagi. Dia mengangkat wajahnya, menatapku memohon.
"Kau tidak perlu mengajariku, Tuan Miguel," ujarku mengerling. Aku mendekatkan wajah, mengecup singkat pelipisnya, "Apa kau membutuhkan makanan ringan untuk melengkapi secangkir tehmu?"
"Tidak ada," sahutnya cepat, "Seharusnya kau membiarkanku melakukannya sendiri. Kau sudah lelah bekerja seharian!"
Dia menggumam masih dalam aksi protesnya. Sedang aku hanya mengulum senyum. Lihatlah, dia adalah pria yang pengertian. Aku bersyukur untuk hal ini.
Ada banyak hal yang berubah dalam hidupku sejak kehadirannya. Dan kurasa itu hal baik. Jika sebelum kedatangannya hidupku hanyalah sebuah siklus yang monoton, sekarang lebih banyak warna.
Mulutku sering berbicara. Bibirku sering tersenyum bahkan mengeluarkan tawa. Flatku tidak lagi hanya berisi suara benda elektronik untuk memecah kesunyian. Tapi debat, canda juga teriakan kami.
Dulu aku bangun lalu bekerja dan akan pulang selepas petang. Tanpa suara. Buku-buku berserakan jika penyakit sulit tidurku datang. Flatku tidak lebih dari sekedar tempat untuk menginap. Tapi sekarang aku merasa kehidupan yang normal. Aku mulai bisa dan terbiasa dengan kehadirannya. Bahkan jika dia tidak menyambut kepulanganku dari bekerja, aku pasti akan teriak memanggilnya.
"Tidak. Hanya membuat teh tidak akan membuatku lelah. Kau mengerti?" ujarku seraya menepuk nepuk bahunya.
"Baiklah. Kau selalu menang," sahutnya mengalah.
Aku segera beranjak meninggalkannya. Bergegas cepat untuk membuat dua cangkir teh hangat untuk kami. Dia benar, sore ini terlalu sayang untuk dilewatkan. Garis-garis merah di langit senja terlihat jelas beberapa hari ini.
Begitu selesai aku segera kembali. Kali ini aku membawa satu toples biskuit dengan taburan chocochips. Aku menemukan dia sudah berpindah ke kursi rotan berlapis busa.
"Hei, kapan kau berpindah?" tanyaku.
Dia mengangkat wajahnya lalu melebarkan senyum kemenangan. Tangannya mengisyaratkan agar aku duduk di sampingnya.
"Aku sudah bilang jika aku masih bisa melakukan semuanya sendirian. Tapi kau tidak pernah mengijinkanku."
"Aku juga sudah bilang kau bisa melakukan apapun sendiri jika aku tidak ada," balasku membuatnya cemberut.
Aku tertawa kemudian duduk tepat di sampingnya. Begitu dekat seperti kami adalah sepasang kekasih. Tapi perasaanku tidak sampai ke sana. Aku hanya menikmati keintiman ini. Kurasa begitu juga dengan Miguel.
"Akhir pekan depan kau menginginkan mau kemana?" tanyaku membuka suara sambil mengambil sekeping biskuit.
Aku membiarkan dia menggigit biskuit di tanganku tanpa permisi. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang tiba-tiba.
"Tidak ada," jawabnya di sela kunyahannya.
Aku melebarkan mata, mencari kesungguhan darinya. Dan aku menemukan kepalanya mengangguk.
"Memang tidak ada. Memangnya kenapa?"
"Kau, tidak menginginkan sesuatu? Jalan-jalan atau sekedar menghibur pandanganmu?" tanyaku sekali lagi memastikan.
"Tidak ada."
"Kau tidak merasa bosan? Kau bahkan menghabiskan setiap harimu di dalam apartemen. Mungkin kau butuh udara segar."
Dia terdiam seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu. Cukup lama hingga membuatku menatapnya penasaran. Dia menghela napas lalu secara tiba-tiba dia mengalungkan satu lengannya di leherku. Jarinya menjentik dahiku dengan gemas.
"Tidak ada. Aku tidak memerlukan tempat lain. Dengan kau meluangkan sedikit waktu untuk menemaniku itu lebih dari cukup untuk setiap akhir pekan."
Wow! Aku menatapnya takjub. Mulutku sedikit terbuka. Sejak kapan Miguel bisa semanis ini. Aku melihat deretan giginya begitu rapi di antara derai tawanya tanpa melepasku dari rangkulannya.
Satu hal yang dia lewatkan. Aku tersenyum bahkan tertawa kecil untuk reaksi bahagiaku atasnya.
"Lagipula aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan keluar dari sini tanpamu atau kecuali aku untuk bertemu dokter," lanjutnya.
"Baiklah. Mungkin aku perlu mendesain ulang kamar ini agar kau merasa lebih nyaman."
"Tidak perlu," tolaknya lengkap dengan gelengan kepala.
Aku mengerutkan kening. Lagi-lagi dia meyakinkanku lewat ekspresi wajahnya yang seolah tidak pernah masalah dengan kamarku.
"Why?"
"Karena tidak perlu. Ini semua sudah begitu kental dengan semua tentangmu. Bahkan ketika kau pergi, baumu masih di sini. Aku merasa kau tidak benar-benar pergi. Jadi aku tidak pernah merasa bosan. Oya, mari, kau berhutang cerita bagaimana harimu? Hari ini baik atau ada hal menyebalkan?"
Tuhan, aku meleleh dengan kata-katanya. Dulu Treyvor tidak pernah semanis ini. Aku menghela napas. Kurasa aku perlu membiasakan diriku dengan setiap perubahan dalam diri Miguel.
"Ya. Hari ini cukup menyebalkan," sahutku akhirnya.
"Oya?"
Aku mengangguk. Membiarkan dia menanti cerita dariku. Matanya menatapku begitu penasaran.
"Bagaimana bisa? Bos-mu memberimu banyak pekerjaan? Atau temanmu menghilangkan file milikmu?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Hei, kenapa kau terlihat begitu penasaran?" tanyaku meledek dengan tawa kecil.
Aku mendengar dia menggeram seiring rangkulannya yang mengetat di leherku. Bukan sesak sebagai reaksiku. Melainkan ledakan tawa karena sukses membuatnya sangat penasaran.
"Astaga, kau!"
"Apa?" tanyaku di sela tawaku.
"Katakan bagaimana bisa harimu menyebalkan untuk hari ini?"
"Kau!"
Dia melepas rangkulannya. Matanya menatapku waspada sekaligus menyakinkan apa yang dia dengar.
"Aku?" tanyanya memastikan.
"Ya. Kau."
"Aku? Membuat harimu menyebalkan?"
"Ya. Kau selalu membuat hariku menyebalkan. Karena aku selalu ingin dan tak sabar untuk segera pulang dari bekerja," jawabku berderai tawa.
Bahunya yang tegang, mendadak lemas. Tatapannya berganti dengan rasa gemas bercampur kesal begitu menyadari jika ini hanya sebuah lelucon.
"Astaga, Kau!"
"Hei!" seruku terkejut ketika dia menyerang rahangku dengan gigitannya.
"Aku pikir ini serius! Astaga!" geramnya di rahangku.
Aku tergelak dalam tawa, membiarkan dia ikut tertawa. Masih di rahangku. Sementara tanganku kini mengalung di tengkuknya.
"Kau sangat sangat menyebalkan!" geramnya.
Aku memekik kecil. Sekali lagi dia menggigit gemas rahangku. Tidak berhenti sampai di sana. Tangannya mencubit pipiku meninggalkan sisa pedih sedikit. Sedang aku tidak bisa menghentikan tawa kemenangan.
"Apa aku berhasil membuatmu menerka-nerka kesalahan apa yang sudah kau perbuat?" tanyaku mengerlingkan mata.
"Selalu. Selalu berhasil, Nona," jawabnya bernada kesal.
Tapi kemudian tubuhku menegang untuk sesaat ketika dia membenamkan sebuah kecupan singkat di puncak kepalaku. Sebelum dia mengambil cangkir teh miliknya dan menyesapnya. Dalam diam aku mengamati dirinya. Tidak ada perasaan apapun selain senyum di bibirku yang tidak bisa kutahan. Dan aku tidak tahu apa makna dari senyumanku itu.
"Amme,"
"Ya?" jawabku tanpa melepaskan tatapanku darinya.
"Tidak. Beberapa hari aku memikirkan sesuatu."
Aku memasang pendengaranku baik-baik. Kupikir dia akan membicarakan hal yang serius dilihat dari mimik muka serta nada bicaranya.
"Oya? Apa itu?"
"Kira-kira pekerjaan apa yang mampu untuk kulakukan?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Kau? Ini bagian dari leluconmu kan?"
Dia mengedikkan bahu. Tidak langsung menjawab pertanyaanku. Tangannya malah mengambil sekeping biskuit, mengunyahnya dengan lahap.
"Tidak. Ini serius," jawabnya kemudian.
"Kenapa kau ingin bekerja?" tanyaku mengerutkan kening.
Aku berpikir, apa dia memerlukan uang lebih untuk sesuatu hal? Aku hanya merasa kalau untuk sekedar menanggung hidupnya, gaji per bulanku masih cukup. Untuk apa?
Aku melihat dia tersenyum tipis. Matanya meredup menatapku. Lengannya kini bergerak merengkuhku kembali sebelum dia menghela napas panjang.
"Karena aku seorang pria," jawabnya diplomatis.
"Tapi,"
Aku bersiap untuk membantah ketika telapak tangannya membungkam mulutku. Hanya karena dia seorang pria? Lalu apa masalahnya?
"Dalam diriku, harga diri seorang pria adalah bekerja. Maka ketika aku merasa saat ini keadaanku sudah lebih baik, aku akan memutar cara bagaimana aku bisa bekerja dengan kondisiku saat ini," jelasnya.
Kalimatnya membuatku tercekik dalam diam. Aku menatapnya berkaca-kaca. Dia adalah pria yang sangat langka dengan pemikirannya. Itu membuatku seketika mengalungkan tanganku, memeluknya.
"Kau pria yang baik," bisikku di ceruk lehernya.
"Tidak. Aku belajar banyak dengan keadaanku. Aku tidak sebaik itu. Karena kau, otakku jadi bekerja. Kau yang baik, Amme. Kau bahkan bersedia menanggung sebuah tanggungjawab yang bukan milikmu."
"Aku menyukai cara berpikirmu. Aku juga menyukai kau saat ini."
Dia terkekeh, "Kau belum bisa melupakan Miguel yang dulu."
"Hei, itu sangat membekas. Tapi terkadang aku merindukan Miguel itu," sahutku.
"Tidak. Dia tidak akan kembali. Aku sudah menguburnya!"
Aku melepaskan pelukanku padanya. Menatap dirinya lekat-lekat. Sedang dia malah memainkan alisnya naik-turun.
"Kau!" decakku kemudian terkekeh.
"Aku hanya mengungkapkan pemikiranku. Jangan khawatir. Aku akan mencari cara nanti."
"Tapi kau selalu membuatku khawatir dengan pemikiranmu!" dengusku.
Dia tidak menyahutiku bahkan ketika aku berdecak sebal. Tangannya malah kembali mengambil cangkir teh miliknya.
"Aku menyukaimu," ucapnya cepat secepat dia mengecup pipiku secara tiba-tiba, membuatku menoleh seketika.
Tapi yang kudapati dia dengan sikap tenangnya seolah tidak melakukan apapun. Dia menyesap teh panasnya dengan begitu santai.
"Kau?" tanyaku memastikan.
"Kenapa? Kupikir kau terlalu banyak bekerja. Itu membuat otakmu jadi banyak berhalusinasi. Kusarankan untuk kau mengambil cuti dan beristirahat di rumah," sahutnya dengan mimik muka serius.
Aku melipat bibirku, menggeram dalam hati. Bagaimanapun ada bagian dari Miguel yang dulu yang tidak bisa dia tinggalkan. Sikap tiba-tiba darinya yang menyebalkan. Bahkan seperti saat ini.
***
Tbc
Update pertama di awal tahun. Yey semoga bisa lancar. Aamiin.
S Andi
13 Jan 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top