11
Aku mengerang dalam hati ketika sebuah panggilan dari Ashley kembali menggangguku. Apalagi kalau bukan melanjutkan ceritanya mengenai masalahnya dengan Kendrick.
Dua sosok yang berbeda pemikiran menjalani sebuah komitmen memang bukan sebuah hal yang bagus. Selalu ada perselisihan. Dan itu terjadi untuk yang kesekian kalinya pada pasangan itu. Bahkan menjelang hari-hari pernikahannya.
"Tunggu sebentar, ada telfon dari Ashley," ucapku seraya melambaikan tangan, berpamit darinya untuk sebentar. Mencari tempat yang tidak begitu bising.
Aku menangkap anggukan samar darinya. Aku bergegas menyingkir darinya. Suara orang berkumpul bersantai di cafe di sertai deburan ombak pantai menjadi sebuah kebisingan tersendiri bagiku.
Aku melangkah terburu-buru sebelum Ashley berteriak di ponsel. Aku bahkan hampir menabrak serombongan orang kalau saja tidak dengan cepat Miguel memanggilku.
"Amme!!!"
Suaranya menggelegar seperti menahan sebuah kemarahan. Aku berhenti mendadak, menoleh padanya demi memastikan apa yang kudengar. Aku mendapati wajahnya merah, mengeras. Entah apa yang mendasari kemarahannya. Padahal sejak tadi dia baik-baik saja. Miguel yang hangat. Tapi sekarang aku melihat sosok Miguel yang pertama kali kukenal. Dalam benakku, berkata kesalahan apa yang sudah kulakukan? Aku mengerutkan kening.
"Kita pulang sekarang. Kau bisa menelpon temanmu nanti saat di hotel," ucapnya dingin lalu menggerakkan kursi rodanya melewatiku tanpa menoleh.
Aku mengerutkan kening. Dengan segala pertanyaan di otakku, tanpa banyak kata aku beranjak mengikutinya. Tapi sempat aku mendengar seruan seorang wanita menyebut sebuah nama, Elgra.
Aku berasumsi jika nama Elgra itu ditujukan untuk Miguel. Terlihat dari Miguel yang berusaha dengan cepat pergi dari cafe ini. Aku juga tidak melewatkan tangannya penuh dengan otot, mengeras, bersusah payah untuk menggerakkan kursi rodanya secepat mungkin.
"Miguel!" Aku memekik kecil ketika menyadari pria itu sudah jauh meninggalkanku. Kakiku berlari demi mengejar pria itu.
Aku tidak memiliki keberanian untuk membuka suara ketika aku berhasil menyusulnya. Hanya berjalan di sisinya dengan sesekali meliriknya.
"Kau bisa tinggalkan aku. Pergilah," ucapnya dingin setelah cukup lama kami terdiam dalam langkah.
"Tapi,"
Dia berhenti, membuang wajahnya lengkap dengan dengusan kesal. Apa keberadaanku begitu mengganggunya?
"Baiklah. Dari sikapmu, aku tahu kau butuh waktu untuk sendiri," ucapku pelan.
Sekali lagi aku menghela napas panjang sebelum melangkah mundur untuk meninggalkannya. Tidak ada reaksi apapun darinya. Dia tetap pada sikapnya.
"Aku menunggumu di hotel. Kalau kau membutuhkan aku, telfon saja aku!"
Aku memberanikan diri untuk berseru sebelum menyeberang untuk menuju ke hotel. Aku tersenyum tipis, sedikit lega ketika dia menggerakkan kepalanya ke arahku. Sekalipun dia tidak menyahut, setidaknya dia melihat ke arahku.
***
"Aku berubah pikiran!"
Sebuah suara bernada dingin hadir di belakangku ketika aku ingin membuka pintu kamar hotel. Aku membalikkan badan dan mendapati sosoknya lengkap dengan wajah kaku di atas kursi roda. Dalam diam aku tersenyum.
"Kupikir kau butuh waktu untuk sendiri," ujarku setelah menghela napas.
"Kubilang aku berubah pikiran!" jawabnya sedikit ketus tanpa mengurangi sikap dinginnya.
"Oh? Baiklah. Mari kita menghabiskan waktu bersantai di kamar. Kau mau memesan sesuatu?"
Aku bertanya seraya membuka pintu hotel. Dia tidak menyahut, melenggang masuk. Dia melewatiku begitu saja. Sekali lagi aku menghela napas. Dia kembali menjadi sosok Miguel yang dingin. Aku melangkah masuk tapi langkahku memelan.
Bukan masalah dengan sikap dinginnya seperti saat pertama aku mengenalnya. Tapi sosok yang termenung seperti saat malam pertama dia menempati kamarku. Entah masalah apa atau kenangan apa yang sedang menggelayuti pikirannya. Aku ingin bertanya tapi kurasa ini bukan saat yang tepat. Aku tahu sebenarnya dia membutuhkan waktu untuk sendiri.
"Dia Brittany. Apa kita bisa kembali ke apartemenmu sekarang?"
Aku menoleh. Dia bicara dengan pandangan kosongnya. Sesaat aku terdiam, menilai dirinya. Untuk apa dia memberitahu tentang seseorang yang aku tidak tahu pokok permasalahannya. Apa dia yang menjadi alasan perubahan sikapnya? Apa itu nama seorang perempuan yang memanggilnya tadi?
"Kau ingin pulang sekarang?" tanyaku memastikan.
"Hanya jika kau bersedia," sahutnya kemudian membuang napas panjang.
Aku melangkah mendekatinya. Duduk di tepi ranjang. Entah, kali ini aku memberanikan diri untuk merangkul pundaknya dari belakang. Dia masih dalam sikap dinginnya.
"Kita akan pulang jika kau menginginkan itu. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tapi aku akan melakukan itu. Kita akan pulang jika pulang akan membuatmu merasa lebih baik."
"Terima kasih," ucapnya seraya menyentuh satu tanganku di pundaknya.
Apa ada yang tahu? Sentuhannya seperti mengalirkan sakit yang sedang dia rasakan. Tiba-tiba aku merasakan sesak itu. Entah ini hanya karena reaksiku yang berlebihan atau memang begitu adanya. Secara alami tanganku menepuk-nepuk bahunya sebelum aku beranjak untuk mengemasi beberapa barang kami.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk berkemas. Aku segera mendorong kursi rodanya setelah menggantungkan tas di belakang kursi rodanya. Aku tidak akan banyak bertanya kali ini. Melihat wajah kerasnya sedikit melunak membuatku bernapas lega.
"Ada sesuatu hal yang ingin kau lakukan sebelum kita pulang?" tanyaku sebelum menyangga tubuhnya untuk masuk ke mobil.
"Tidak. Aku hanya ingin kau segera membawa mobil ini pergi."
"Aku akan lakukan segera. Kau tenanglah."
Aku segera menyambut lengannya untuk kukaitkan di leherku. Tapi yang terjadi dia menautkan satu lengannya lagi. Dia memelukku tanpa bicara sedikitpun. Aku sempat terkejut selama beberada detik sebelum mengalungkan tanganku di punggungnya. Mengusap bahunya untuk alasan yang sama sekali tidak kumengerti.
"Terima kasih," bisiknya parau kemudian mengangkat tubuhnya. Dan aku segera sigap jika dia siap untuk masuk ke mobil.
Aku tersenyum simpul tanpa menjawab ucapannya. Aku kembali merasakan sesak itu bahkan sekalipun pelukannya sudah berakhir.
Tidak banyak yang kulakukan setelahnya selain membiarkan dia dalam kediamannya selama perjalanan. Aku sendiri berusaha untuk menfokuskan diri pada kemudi.
Sunyi. Keadaan yang berbanding terbalik. Kemarin dia begitu semangat, bercerita sepanjang perjalanan menuju Bershires. Tapi sekarang bungkam bahkan ketika sudah sampai di apartemen. Entah berapa puluh kali aku meliriknya hanya untuk memastikan keadaannya.
Sesuatu hal yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Amethys Linn. Mempedulikan keadaan orang. Karena selama ini aku terhitung seseorang yang tidak mau peduli jika itu bukan masalahku.
"Kau sudah merasa baik?" tanyaku ketika mobil sudah memasuki tempat parkir apartemen.
"Sedikit. Ya," jawabnya lirih.
"Jadi, apa yang bisa kulakukan agar kau merasa kembali baik?" tanyaku sambil melepas seatbelt.
"Kau hanya tidak tahu aku," sahutnya.
Aku mengernyit, menatap dirinya. Sekedar memastikan apa ada yang harus kucurigai dari sosoknya? Sedikit menilai selama beberapa saat. Tapi aku malah tersesat dalam tatapannya. Bukan jatuh cinta. Tapi sebuah kegelapan yang membuatku penasaran untuk tahu apa yang membuatnya menyimpan semuanya sendiri begitu rapi di balik tubuh sempurnanya.
"Apa kau mengijinkan aku untuk tahu mengenai dirimu?"
"Kau tidak perlu tahu. Itu bukan hal penting."
Aku menghela napas. Tanganku mencengkeram bulatan kemudi. Memang bukan sesuatu penting yang harus kuketahui.
"Kau tidak lupa kan? Kau berjanji untuk tidak bersikap dingin seperti ini padaku. Apa aku harus mengingatkan?"
"Jika itu membebanimu, aku akan pergi."
Apa katanya?
"Hey?"
"Terima kasih untuk kau sudah menjadi kakiku selama seminggu ini," ucapnya membuatku yakin jika ucapannya sebuah kesungguhan. Dia akan pergi.
Itu membuat pikiranku kemana-mana. Akan kemana dia pergi? Lalu bagaimana dia bertahan hidup dengan kondisinya?
"Kuharap ini sebuah lelucon. Kau hanya butuh waktu untuk sendiri. Dan mari kita segera masuk. Kau bisa beristirahat kembali," ucapku memutuskan.
Aku bergegas keluar dari mobil, mengambil kursi rodanya di bagasi. Tanganku membuka pintu mobil di mana dia duduk.
"Amme,"
"Kau harus mendengarkanku sekarang. Bukan keputusanmu. Aku tidak pernah merasa keberatan dengan keberadaanmu. Aku hanya mencoba untuk mengembalikan suasana. Jika sikap hangatmu membuatmu terlihat sangat baik, kenapa kau membiarkan sikap dingin mengubah dirimu?"
"Kau hanya tidak tahu aku."
Aku menahan napas, membungkukkan badan hingga wajahku sejajar dengannya. Dia beralih menatapku. Itu membuatku tersenyum.
"Kau, seseorang yang sedang menipu diri. Untuk apa kau mati-matian menutupi kesakitanmu? Kita bisa berbagi. Kita manusia pasti punya pengalaman hidup. Termasuk tentang rasa sakit. Jika Berkshires membuatmu ingat tentang sakit itu, mari kita mulai di sini."
Dia terdiam. Menatapku lurus dan perlahan meluruh. Dia memutuskan tatapan itu. Lebih memilih mengalungkan lengannya. Sebuah kode agar aku menahan tubuhnya untuk berpindah ke kursi roda. Juga sebuah jawaban jika dia bersedia untuk tidak pergi.
"Lalu apa yang akan kau lakukan terhadapku?" tanyanya ketika masuk ke dalam Lift.
"Apa yang kau butuhkan?" tanyaku menantang.
Dia tidak menyahut. Aku tidak tahu bagaimana bisa Tuhan menciptakan sosok seperti Miguel ini. Perubahan yang bisa terjadi secara mendadak.
"Aku bertanya," ucapku mengingatkan seraya mendorong kursi rodanya keluar dari Lift.
"Aku tidak akan menjawab."
Astaga, erangku dalam hati. Aku mengatupkan mulut, mempercepat langkah.
"Kau akan tahu jawabannya nanti di dalam," ucapnya lagi.
Aku membeliakkan mata. Sekalipun nadanya terdengar tetap dingin, tapi kupikir dia sedang mengajak bermain tebak-tebakan. Aku terkekeh dalam hati hingga yang keluar hanya sebentuk senyuman tipis.
"Baiklah, kita akan segera sampai di kamar," ucapku.
Beberapa langkah selanjutnya aku mencapai Flat. Tanganku menekan sederet angka password. Aku mendapati dia mendahuluiku masuk begitu pintu terbuka.
"Apa kau mau tahu jawabanku?" serunya dari dalam.
"Jika kau bersedia memberitahu. Kenapa tidak?" sahutku sambil bergegas menyusulnya.
"Aku tidak akan kemana-mana. Aku ingin di sini. Kecuali ketika jatahku untuk bertemu dokter. Apa kita bisa memulainya sekarang?"
Apa yang dia katakan berhasil membuat langkahku berhenti. Aku menatap dirinya tidak percaya. Aku menemukan kembali kehangatannya seperti saat pertama sampai di Berkshires.
"Memulai apa?" tanyaku terbata setelah beberapa saat terdiam.
"Apa aku harus mengingatkan apa yang kau katakan tadi?" Dia menaikkan alisnya sebelah.
Sejenak aku mencari ingatan tentang apa yang kukatakan tadi. Kita bisa memulainya sekarang. Sedetik kemudian aku memekik kecil lalu berlutut di hadapannya.
"Selamat datang kembali," bisikku masih tidak percaya.
***
Tbc
Jumat 29-12-17
S Andi
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top