10

Senyum juga tawa yang tidak pernah surut menyempurnakan malam milikku di Berkshires ini. Dia tampan melengkapi keindahan kota kecil ini. Aku mengulum senyum bahagia dalam diam. Langkahku ringan membawanya menyusuri trotoar sepanjang Berkshires. Tanpa melewatkan mulut cerewetnya yang sedang menjelaskan sudut-sudut Berkshires malam hari yang menakjubkan.

"Sepertinya kau sangat mencintai kota kecil ini," ujarku berpendapat.

"Kau benar. Ini tempat yang tepat untuk bersembunyi."

"Bersembunyi?" keningku mengkerut.

Dia terbahak. Aku sempat terkejut. Bagaimana bisa Tuhan mengijinkan aku mendengar tawa lepasnya? Benar-benar malam yang sempurna.

"Iya. Bersembunyi dari masalah. Apa kau pikir orang sepertiku memiliki banyak musuh?" kelakarnya tak urung membuatku ikut tertawa. Dan aku lebih menertawakan kebodohanku sendiri.

"Ck. Kau menyebalkan! Kupikir kau bicara serius!" decakku di sisa tawaku.

"Apa kau menginginkan aku yang serius? Aku bisa...,"

"Tidak! Baiklah lupakan. Mari kita kembali ke penginapan. Sudah hampir tengah malam. Dan kita perlu istirahat," ucapku tapi dia menahan tanganku.

"Kenapa?" tanyaku membungkuk.

"Tidak. Terima kasih kau sudah membawaku ke sini," ucapnya tersenyum manis.

Aku terdiam beberapa saat. Seorang Miguel mengucapkan terima kasih dengan sangat manis? Oh, Tuhan, dalam rangka apa kau mengirimkan hadiah indah ini?

Aku mengerjabkan mata, sedikit terkejut ketika tiba-tiba Miguel mengecup ringan pipiku. Sejenak aku menatap dirinya, menemukan tatapannya. Ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Dan aku seperti terjebak di sana.

"Ayo, kita kembali ke penginapan. Kau yang butuh istirahat. Kau sudah bekerja seharian, menyetir mobil ke sini. Itu bukan hal yang ringan," ujarnya menyadarkanku dari suasana ini.

"Ya, kau benar. Dan besok kita bisa bangun pagi-pagi untuk berburu sunrise di tengah sarapan kita," ucapku berbinar.

"Ide yang sangat menarik."

Aku kembali mendorong kursi rodanya. Tidak peduli dengan beberapa orang yang menatap kami aneh. Atau menatap kasihan. Meski beberapa di antaranya aku menemukan tatapan kagum. Yang kulihat adalah sosok Miguel yang seakan tidak terganggu dengan tatapan mereka. Dia tetap percaya diri duduk di atas kursi rodanya. Dalam diam, aku tersenyum bangga padanya.

Di saat orang-orang mungkin merasa malu dengan kondisinya, Miguel tidak memperlihatkan itu. Dia seperti orang normal lainnya. Atau apa mungkin dia menutupinya di hadapanku?

Tapi aku tidak ingin menyinggung masalah ini untuk sekarang. Kupikir itu hanya akan merusak keakraban yang baru saja terbangun. Biar nanti aku mengetahuinya sendiri.

"Apa kau mau mandi? Aku akan menyiapkan air hangat untukmu jika kau menginginkan," ucapku begitu pintu kamar terbuka.

"Tidak. Mungkin aku hanya akan cuci muka saja. Kau?" Dia menengadahkan wajahnya, mencari mataku.

"Kalau begitu kita sama," sahutku meringis lebar.

***

Aku menemukan diriku berada di pelukannya ketika aku membuka mata, terbangun dari tidur. Bukan terbangun. Tapi ketika aku sudah merasa tidurku lebih dari cukup. Aku tidak pernah tidur senyaman ini sebelumnya.

Sejenak aku terhenyak. Bagaimana bisa aku berakhir di pelukannya? Aku memutar otak, mencoba mengingat hal apa yang telah terjadi semalam. Keningku bahkan sampai mengkerut. Tapi aku tidak berhasil menemukan apapun. Selain kami saling mengucap selamat malam.

Ini sangat memalukan! Aku mengerang dalam hati. Entah ada apa denganku saat ini. Merah jambu panas dingin kualami di wajahku saat ini. Untuk bangun menjauh dari pelukannya saja itu terasa sulit kulakukan. Aku hanya mengangat kepalaku menatap wajahnya dengan kondisi memalukan.

"Selamat pagi." Sebuah sapaan terdengar manis membuatku terlonjak.

"Pagi!" sahutku seketika. Aku segera bangun dari pelukannya, memberi jarak. Aku mendengar tawa kecil ketika aku bergerak menjauh.

"Maaf. Aku tidak tahu kenapa aku bisa tidur di... Pelukanmu. Aku sedang memikirkan itu. Bagaimana itu bisa terjadi. Ini benar-benar memalukan!" ucapku cepat lebih merutuki diriku sendiri.

Dia menggeleng kecil. Lalu mengusap wajahnya pelan. Aku hanya menundukkan kepala menyembunyikan rasa malu.

"Tidak apa-apa. Aku juga tidak tahu. Ini bukan kesalahanmu. Tidak ada yang salah di sini. Tapi...,"

Aku mengangkat wajah, memasang kewaspadaan atas apa yang akan pria itu ucapkan. Aku menerka siapa yang kuhadapi saat ini. Miguel yang hangat atau Miguel yang kukenal sebelumnya, dingin dan datar.

"Terima kasih. Karenamu aku bisa tidur dengan sangat baik. Kupikir kita terlalu banyak tidur. Kita tidak bisa mendapatkan breakfast sambil bermandi sunrise."

"Ah? Apa yang kau katakan itu benar?" tanyaku terkejut.

"Coba saja kau membuka tirai jendela," sahutnya.

"Aku akan melakukannya tapi sepertinya aku lebih membutuhkan kamar mandi dan air hangat sekarang," sahutku sambil melompat dari ranjang.

Jika saja dia tahu kalau aku sengaja melarikan diri dari hadapannya demi sebuah rasa malu, mungkin dia akan tertawa keras. Aku terpekur di dalam kamar mandi, duduk di atas closet. Masih memikirkan bagaimana aku pada akhirnya bisa tertidur di pelukannya. Dan dengan begitu nyaman hingga aku merasakan kualitas tidur yang sempurna.

Aku mengembuskan napas. Astaga, aku tidak menemukan apapun. Semuanya tergerak secara alamiah. Aku mengusap wajahku sebelum akhirnya memutuskan untuk mencuci muka. Dengan harapan aku mengingat sesuatu hal kecil dari rasa segar dari air yang membasuh wajahku.

"Benar-benar payah! Aku tidak menemukan apapun," gumamku seraya menyambar handuk kecil lalu melangkah keluar dari kamar mandi.

"Aku curiga kau melanjutkan tidurmu di kamar mandi," celetuk pria itu mengejutkanku.

Dia sudah terduduk di kursi rodanya. Dengan celana boxer. Dia bertelanjang dada. Sungguh aku memuji kesempurnaan pada pahatan tubuhnya. Aku yakin jika dia sebenarnya memiliki banyak wanita yang menggilainya. Tentu saja sebelum keadaannya berubah terbalik.

"Kau mau ke kamar mandi?" tanyaku mendekat.

"Sebenarnya, ya," jawabnya menggantung.

Aku mengerutkan kening. Menagih penjelasan darinya.

"Lalu?"

"Aku bisa menundanya untuk sekedar mencuci muka. Perutku lebih penting sekarang."

"Baiklah. Kau lapar? Tunggu sebentar aku akan memesan. Apa yang ingin kau dapat pagi ini, Tuan Miguel?" tanyaku menghela napas sambil duduk di tepi ranjang, mengambil gagang telepon.

"Secangkir teh hitam dan kue muffin. Sesederhana itu untuk pagi yang terlambat," ucapnya mengundang tawa kecil dariku.

"Oh? Aku tidak tahu jika kau memiliki kata-kata semanis itu!"

"Tergantung dengan siapa."

"Baiklah. Aku akan memesan pesananmu."

"Tidak perlu. Aku sudah memesannya. Akan datang beberapa saat lagi. Kuharap kau tidak kecewa dengan menu pilihanku."

Dia kembali membuatku terkejut. Perubahan ini membawa cukup banyak kejutan. Dia manis. Aku tidak memiliki kata untuk sekedar menggambarkannya. Hanya sekarang aku menikmati setiap gerak geriknya.

Entah. Memperhatikannya adalah sebuah kesenangan bagiku. Aku merasa ini konyol. Tapi aku tidak bisa menghentikan ini.

Aku membiarkan dia sibuk dengan apa yang dia inginkan pagi ini. Mengamatinya dari tepi ranjang.

"Jadi kau tidak mau?" tanyanya menatapku menyipit.

"Kau sudah selesai menyiapkan sarapanmu?" tanyaku beranjak mendekatinya.

"Sudah. Kemarilah," ujarnya menunjuk pada kursi kosong di hadapannya dengan matanya.

Aku segera bergabung bersamanya, mendapati dua cangkir teh panas dan beberapa kue muffin. Hanya aku tidak tahu dengan mataku sendiri. Dia lebih tertarik mengamati jari-jari pria itu yang tengah melepas kertas yang membungkus kue tersebut.

"Kau sangat menyukai kue muffin?" tanyaku saat pria itu menggigit besar kue di tangannya.

Dia hanya menanggapi dengan kekehannya. Lalu kembali mengunyah. Sedang aku memakannya dengan mencubit kecil-kecil.

"Memangnya kau tidak?" tanyanya kemudian.

"Aku? Tidak. Maksudku, aku akan memakan apapun untuk sarapanku. Tidak peduli makanan apa yang kusukai," jelasku. Ya, wanita sepertiku bukanlah seseorang yang repot-repot memikirkan makanan favorit apa yang harus kukonsumsi. Bahkan terkadang aku melupakan sarapanku saat aku lebih mementingkan pekerjaanku. Semuanya berlangsung sejak setahun belakangan. Sejak aku memutuskan untuk melanjutkan hidupku, melupakan kenangan bersama Treyvor. Hidup harus tetap berjalan, kan?

"Ini adalah kue favoritku. Tidak setiap hari aku harus memakannya. Tapi ada cerita tersendiri yang terkadang merindukanku untuk memakannya kembali," ucapnya sendu. Namun ada senyum tipis yang tertinggal di sana.

Aku terdiam. Kata-katanya memiliki makna jika itu adalah ungkapan kerinduan pada seseorang yang sangat berarti baginya. Kekasihnya? Atau bahkan istrinya? Dia meninggal atau sengaja meninggalkannya? Aku menangkap dua perasaan di sana. Kerinduan dan kehilangan. Juga tatapan mata yang meredup seolah berusaha menahan diri untuk tidak terbawa perasaannya.

"Amme,"

Aku melarikan tatapanku padanya, menemukan manic mata abu-abu miliknya. Beberapa saat aku merasa tersesat di sana.

"Terima kasih untuk semuanya."

"Aku?"

Dia mengangguk, tersenyum tipis.

"Aku tidak memberimu apapun. Kenapa kau berterima kasih?" tanyaku cukup bingung.

"Seseorang tidak perlu menunggu apapun untuk mengucapkan terima kasih. Kesempatan seperti ini saja sudah cukup bagiku untuk berkata terima kasih," sahutnya bijak.

"Sepertinya aku memang perlu tahu banyak hal menyangkut dirimu," gumamku.

"Ada apa?"

Dengan cepat aku menggelengkan kepala. Menggigit cepat kue muffin di tanganku.

"Tidak ada apapun. Baiklah, aku perlu membereskan beberapa barang untuk kita pergi nanti," ucapku seraya beranjak tanpa meletakkan kue muffin di tangan. Aku bernapas lega ketika dia tidak mendengar apa yang kukatakan tadi.

"Ya. Kau benar. Kau akan tahu banyak tentangku nanti seiring berjalannya waktu!"

Langkahku terhenti seketika. Tubuhku menegang. Kupikir dia tidak mendengar. Ternyata salah. Dia bertanya meminta penegasan atas kalimatku. Aku membalikkan badan menatapnya waspada.

"Kau, mendengarnya?" tanyaku pelan.

"Bukan sesuatu hal besar. Aku membutuhkan kamar mandi. Kau lanjutkan saja menyiapkan apa yang dibutuhkan untuk perjalanan nanti."

Aku menatapi dirinya, berlalu dari hadapanku. Suatu pagi yang tidak kuprediksi akan seperti ini jadinya. Yang kulihat adalah sosok Miguel yang berusaha menahan kerinduan. Kota kecil ini, hotel dan sarapan pagi yang seolah menyeret pria itu pada perasaan yang dulu pernah ada. Memory yang berputar dengan cepat. Sedang aku seperti saksi atas perubahan yang terjadi padanya.

Aku berdiri termangu. Merasa asing pada situasi ini. Juga penasaran mengenai hal-hal yang pernah terjadi pada pria itu. Meskipun aku tahu itu bukanlah sesuatu hal yang harus kuketahui.

"Tapi sesuatu hal itu membuat rasa penasaranku tidak bisa kukendalikan," gumamku.

***

Tbc
Kamis 19 oktober 2017
S Andi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #romance