7. Rinjani Pov
*Masih flashback ya.
Kami berbaring di bawah selimut yang sama. Listrik sudah menyala beberapa saat yang lalu. Tapi kami sama sekali tidak berniat bangun dari kasur atau melakukan apapun.
"Nonton tv yuk!" Aku mengangguk menjawab ajakan Radit.
Radit bangun dari kasur dan berjalan ke arah saklar lampu. Mematikan lampu dan menutup jendela, kamar ini hanya diterangi cahaya dari televisi.
"Nyari film seru ya? Aku lagi pengen nonton."
Aku sudah sangat hafal dengan Radit. Biarpun baru pacaran 7 bulan. Tapi aku sudah mengetahui kebiasaan Radit. Termasuk yang ini, Radit pasti akan mematikan lampu dan membuat suasana jadi gelap jika ia ingin menonton sebuah film. Katanya sih biar berasa kayak di bioskop.
"Ayah kamu pulang jam berapa Jan?" Tanya Radit sambil mengaitkan tangan kami.
"Gak tau, ayah gak pernah tentu pulangnya. Emang kenapa?"
"Aku mau ketemu sama ayah kamu. Mau kenalan gitu."
"Nanti yah, kalo ayah pulang."
"Iya sayang! Aku juga mau persiapan dulu lah. Masa mau ketemu calon mertua gak ada persiapan apa-apa."
"Ih receh banget sih gombalnya." Aku mencubit pelan perut Radit yang masih belum mengenakan pakaiannya.
"Aku serius! Aku gak mau pacaran main-main gitu. Aku mau serius sama kamu. Suatu saat aku pasti akan nikahin kamu. Pegang janjiku!" Ucap Radit dengan penuh keyakinan.
"Tapi kita masih SMA Dit, apalagi aku! Aku masih baru masuk sekolah loh."
"Ya gak sekarang sayaaanggg!!! Pas kamu lulus kan bisa." Jawab Radit sambil mencubit gemas hidungku.
"Oke! Aku pegang janji kamu. Janji ya kamu bakalan nikahin aku apapun yang terjadi."
"Janji! Aku akan nikahin kamu selama aku masih bernafas. Soalnya kalo aku udah meninggal gak mungkin kan aku nikahin kamu." Dia mengerling nakal.
"Ihhh Raditttttt"
"Tapi Jan, kalo kita nikah nanti aku mau kita tinggal sama bunda." Radit mulai memandang serius ke arahku.
"Ya gapapa. Bunda kamu baik kok! Biarpun baru kenal lewat telfon aja sih."
"Makanya kamu main kerumah dong yank. Kenalan sama bunda, belajar masak sama bunda buat bekal nanti."
"Ih Radittt masih lama taukk! Udah ah, aku mau mandi. Gerah banget."
Aku bangun dan siap melangkah sebelum kata-kata Radit membuat ku berbalik arah dan melemparnya dengan remote AC.
"Aku ikut mandi dongg!!!"
Tokk...tokk..tokkk...
"Non? makan dulu yuk. Mau makan di kamar atau meja makan."
Ketukan pintu dan suara bibi membuat lamunanku buyar. Menghela nafas sejenak sambil mengatur perasaanku yang tak karuan ini.
Aku membuka pintu kamar sedikit. Dari celah pintu, tampak raut khawatir yang kentara di wajah bibi.
"Jani belum laper bi. Nanti aja ya."
"Yaudah, tapi wajib makan ya non."
Aku mengangguk dan langsung menutup pintu. Tak adakah yang khawatir padaku selain bibi? Apa ayah tak khawatir anak gadisnya belum keluar kamar sejak beberapa hari yang lalu? Apa Radit tak khawatir setelah menghilang dan membuat kekasih nya cemas seperti ini?
Radit kamu dimana? Gimana sama pernikahan kita. Kamu udah janji akan nikahin aku, janji itu hutang Dit. Aku akan nagih hutang kamu sampai di alam baka nanti Dit. Kamu harus nikahin aku, aku cinta kamu Dit.
Menangis dan menangis. Hanya itu yang bisa aku lakukan saat ini. Hal terakhir yang aku ingat adalah pandanganku yang memburam dan tubuh yang terasa sangat lelah.
****
"Eugghhh" aku melenguh saat pusing menyerang kepalaku.
Aku membuka mataku sedikit dan kembali menutupnya saat sinar lampu begitu silau dimataku. Mencoba menyesuaikan cahaya, akhirnya aku bisa menatap ke sekeliling. Ruangan berwarna krem dengan tv di dinding dan sofa di pojok ruangan serta bau khas obat-obatan bercampur desinfektan membuat aku yakin jika aku berada di rumah sakit.
Ruangan ini kosong, hanya ada diriku seorang. Memangnya siapa lagi yang bisa aku harapkan?
Ceklek
Aku menengok ke arah pintu ruangan yang terbuka. Ayah muncul disana dengan kaos lengan panjang. Pakaian yang jarang sekali ayah gunakan, karena aku lebih sering melihatnya berpakaian formal. Dari sini aku bisa melihat kalau Ayah tampak berantakan, ayah memang suka memelihara bulu-bulu yang ada di sekitar wajahnya. Tapi biasanya ayah selalu merapihkannya, tidak seperti saat ini. Ternyata kehadiran bunda Rinjani sangat berefek untuk ayah.
"Kamu udah sadar?" Aku melihat ayah duduk di kursi yang ada di sebelah bankarku.
Aku mengangguk sambil tersenyum kearah ayah.
"Mau minum?"
Aku mengangguk lagi, tenggorokanku saat ini memang sangat kering. Bisa di pastikan jika aku memaksakan bersuara malah akan membuat tenggorokanku makin sakit.
Aku menerima botol dengan sedotan yang di berikan ayah. Meminum sampai habis setengahnya membuatku sedikit lega.
"Berapa lama Jani tidur yah?"
"Hampir 10 jam."
"Sekarang jam berapa yah?"
"Jam 11 malam."
"Jani kenapa yah kata dokter?"
"Kata dokter kamu malnutrisi dan stres berlebih. Dokter nyaranin kamu tenangin fikiran kamu. Jangan mikir yang aneh-aneh."
Aku memejamkan mata, gimana gak mikir yang aneh-aneh? Pacar sekaligus tunanganku gak ada kabar dari 3 hari yang lalu, dan juga kejelasan hubungan ayah dan bunda Rinjani belum menemui titik temu. Dan bagaimana hubunganku dengan Radit?
"Ayah udah ketemu Radit."
Aku membuka mata, melihat kearah ayah yang menundukkan kepalanya.
"Dia bilang kalo dia maafin ayah. Tapi dia gak mau ikut campur masalah ayah sama bundanya. Dia juga bilang kalo akan segera menemui kamu."
"Ayah bilang kalo aku sakit?"
"Iya, dia nanyain keadaan kamu dan ayah menjelaskan keadaan kamu yang ayah ketahui."
"Apa Radit udah kesini jenguk Jani waktu Jani tidur tadi?"
Ayah menggeleng pelan. Aku menghela nafas. Radit apa kamu udah gak khawatir lagi sama aku? Apa kamu udah gak sayang lagi? Kenapa kamu gak panik dan langsung datang kesini Dit? Padahal dulu waktu aku pilek aja kamu langsung panik gak karuan.
"Jani, ayah mau minta izin kamu untuk memperjuangkan Abyta, sudah cukup 22 tahun ini ayah menderita kehilangan Abyta. Ayah gak mau kehilangan dia lagi."
Aku sudah mengira hal ini akan terjadi. Dulu aku akan dengan senang hati mendukungnya, tapi sekarang? Bagaimana bisa aku mendukung ayah jika ayah akan menghancurkan cintaku?
"Lalu bagaimana dengan Jani yah?" Tanyaku lirih.
Ayah tak menjawab, dia hanya menundukkan kepalanya lagi. Membuatku tau apa jawaban yang sebenarnya. Aku harus merelakan Radit. Kenapa kamu harus jadi anak ayah sih dit? Kenapa harus kamu? Kenapa gak orang lain aja?
Enggak dit! Aku gak akan biarkan kamu ninggalin aku. Cuma kamu yang aku punya. Cuma kamu yang bisa mengerti aku. Aku akan memperjuangkan kamu sampai akhir Dit. Biarpun aku harus menentang takdir.
Maaf ya lama ga update, keluarga ku lagi dapet musibah, semoga masih ada yg baca cerita aku. ;) :)
Jakarta,20 November 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top