12. Jani Pov

Aku tersadar dari rasa terkejutku saat mendengar suara pintu yang terbanting. Apa ini? Apa Radit baru saja meninggalkanku sendirian? Radit baru saja menolakku? Kenapa dengan Radit? Radit tidak pernah menolakku sebelumnya. Aku harus mengejar Radit dan meminta kejelasannya tentang hubungan kami. Aku gak mau semua ini berakhir. Tidak! Disaat aku hanya punya dia di hidupku.

Aku bergegas keluar ruang perawatan tanpa mempedulikan tiang infus yang terjatuh karena aku senggol. Bahkan aku mengabaikan darah yang mengalir dari tanganku karena infusku yang terlepas. Semua ini takkan mampu membuatku sakit.

Tapi pemandangan yang ku dapat saat aku sudah keluar ruangan lah yang bisa membuatku ingin bunuh diri akibat hujaman rasa sakit yang tiba-tiba begitu terasa di jantungku.

Dari sini bisa ku lihat Radit yang memeluk erat kak Jessie. Aku menghampiri mereka dan mengurai pelukan erat itu.

"Kak Jessi ngapain peluk-peluk Radit?" Aku bertanya dengan nada ketus. Nada yang tak pernah aku gunakan pada gadis cantik di hadapanku ini.

"Jani? Kakak juga gak tau kenapa tiba-tiba Radit peluk kakak." Aku bisa melihat matanya yang memancarkan kejujuran. Dia adalah orang pertama yang ku percaya, dan aku yakin ia tidak sedang berbohong.

Aku segera menarik Radit yang masih saja merangkulkan lengannya di pinggang ramping kak Jessi. Aku langsung memeluk erat Radit, menenggelamkan wajah di dada bidangnya yang selalu jadi tempat favorite ku.

"Dit, maaf kalau tadi Jani kelewatan. Tapi Radit gak boleh tinggalin Jani ya, Jani cinta Radit." Aku bergumam didalam pelukannya tapi aku yakin ia masih mampu mendengar suara lirihku.

"Radit janji kan gak akan tinggalin Jani?" Aku akhirnya mendongakkan kepalaku setelah selama beberapa saat tak mendengar juga jawabannya. Tapi justru hal aneh yang ku temui, Radit terlihat sangat fokus menatap ke arah kak Jessi sementara kak Jessi hanya memberikan senyun lembutnya pada Radit. Apa mereka sedang berbicara melalui kontak mata?

Ku lihat Radit menghela nafas sambil memejamkan mata sebelum akhirnya menatap lembut ke arahku. Aku tersenyum bahagia saat mendapatkan  senyuman Radit yang sejatinya memang milikku.

"Jani kamu masih butuh banyak istirahat, sekarang kamu masuk dan baring lagi ya." Radit memapahku kembali ke kamar. Aku menuruti saja karena aku yakin Radit tidak akan meninggalkanku. Setelah aku kembali berbaring bersandar di tempat tidur. Radit mulai merapihkan kamarku yang sedikit berantakan karena kekacauanku tadi.

"Tangan kamu luka, aku panggil suster ya?" Radit duduk disampingku sambil mengusap darah di punggung tanganku dengan tissu yang ia ambil dari nakas.

"Jangan! Radit sini aja, biar kak Jessi yang panggil." Aku mencoba membujuknya agar tetap disisiku, aku takut ia pergi lagi.

"Jessi gak ada. Dia udah aku suruh pulang duluan tadi. Sekarang kamu baring, aku panggil suster ya." Aku masih menggenggam tangannya erat dengan sebelah tanganku yang sehat. Radit yang sepertinya mengerti ketakutanku tampak menghela nafas lelah.

"Jani, kamu jangan kekanakan oke! Kamu sakit, kamu butuh infus. Sekarang kamu baring dan aku panggil suster oke?" Mau tak mau akhirnya aku mengangguk dengan keyakinan bahwa Radit akan kembali padaku karena memang aku tempatnya berpulang.

Tapi, bahkan sampai suster keluar ruanganku Radit tak datang lagi. Dan dia tak pernah datang lagi.

****

Sudah 3 bulan aku keluar dari rumah sakit setelah dirawat sekitar 6 hari. Dan selama itu pula Radit masih tidak bisa ku hubungi. Perkuliahan yang sedang libur juga membuatku semakin sulit menemui Radit. Setiap hari aku datang kerumahnya tapi rumahnya selalu sepi seolah memang sengaja di tinggalkan karena dia tau aku akan mencarinya kesana. Entah berapa ribu panggilan dan pesan yang ku tinggalkan untuk Radit tapi tak pernah ia tanggapi.

Aku mulai ketakutan. Aku takut Radit benar-benar meninggalkanku. Aku tak punya siapa-siapa lagi selain Radit. Radit adalah dunia dan nafasku, aku bisa mati jika Radit tak ada.

Sedangkan Ayah terus saja memintaku berhenti mengejar Radit dengan alasan yang sangat egois. Dia bilang ingin memperjuangkan bunda nya Radit, tapi kenapa aku tidak boleh memperjuangkan Radit juga? Persetan dengan hubungan darah atau apapun yang ada diantara aku dan Radit. Aku tidak peduli! Aku hanya butuh Radit!

Hari masih sangat pagi saat aku lihat ayah berjalan menuju bagasinya. Aku langsung mengikuti langkah ayah, aku akan mengikuti ayah hari ini. Aku yakin ia akan pergi ke tempat dimana bunda Jani berada. Dan jika ada bunda pasti ada Radit. Aku sangat yakin itu.

Ayah mulai mengendarai mobilnya keluar gerbang, aku lantas menyusul menaiki mobilku dan mengendarai mobil membuntuti ayah. Aku masih belum bisa menebak kemana perginya ayah. Tapi saat ayah mulai masuk ke jalan tol mengarah ke Bogor, aku mulai dilanda gelisah yang aku tak mengerti apa sebabnya.

Ayah berhenti di sebuah bangunan yang nampak asri dengan di kelilingi kebun bunga disekitarnya. Rumah ini mengingatkan ku pada sosok penyayang yang sangat menyukai bunga.

Kulihat ayah membuka pagar dengan leluasa seolah dia memang sudah sering ketempat ini. Dan aku sangat terkejut saat melihat seseorang yang membukakan pintu untuk ayah, seseorang yang ku cari selama seminggu ini. Radit! Kenapa bisa ada Radit disana?

Aku keluar dari mobil yang ku parkir dengan jarak aman agar mereka tak curiga. Aku berjalan pelan setelah berhasil memasuki gerbang tanpa ada yang melihat. Sampai di samping pintu utama, aku memilih mendengarkan percakapan seseorang yang cukup keras terdengar sampai keluar.

"Kamu ngapain lagi kesini si Dev? Gak capek apa? Aku aja capek lihat kamu terus." Suara bernada ketus itu sangat ku hafal, aku yakin itu suara bundanya Radit.

"Aku gak akan berhenti. Aku akan perjuangin kamu, perjuangin sesuatu yang seharusnya dari awal aku perjuangkan." Ayah, itu suara Ayah.

"Udah basi kali Dev, udah lewat 20 tahun! Ibarat makanan ya, udah tumbuh si cicit-cicitnya jamur. Alias udah 7 turunan tuh jamur di makanan."

"Bun, yang sopan sama ayah." Radit!! Jadi benar yang aku lihat tadi adalah Radit.

"Dia kan ayah kamu bukan ayahnya bunda! Jadi gak butuh di sopanin gitu."

"Emang paling rempong deh kalo ngomong sama bunda. Udah Yah, gak usah dengerin miss bawel ini. Ngobrol aja sama Radit."

Kenapa mereka nampak sudah akrab? Kenapa Radit seolah tidak menaruh dendam pada ayah yang telah menelantarkan dia? Apa yang sudah aku lewatkan selama sebulan ini?

"Hmm.. Radit tadi udah sarapan?" Ayah berdeham sebelum bertanya pada Radit. Aku masih bisa mendengar jika ayah masih kaku berbicara dengan Radit.

"Gitu tuh kalo gak pernah perhatian dan ngurus anak. Masa anak udah bujangan di tanyain udah makan apa belom? Dikira anak umur 3 tahun kali ya." Aku tersenyum mendengar cibiran bunda. Bunda memang seperti itu, rajin mencibir yang justru malah terdengar lucu.

Aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya karena semua menjadi hening. Tapi kalimat yang terucap setelah keheningan itu membuat ku ingin rasanya mati saja.

"Radit, jadi gimana rencana pernikahan kamu dan Jessi?"





Jakarta, 11 Maret 20019

Baca cerita baru aku yukk!! Sambil nunggu Radit yang belum dapet idenya😅.
Jangan lupa mampir yaaaaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top