11. Radit Pov

Gak tau mulmednya nyambung apa enggak. Tapi aku dengerin lagu itu pas nulis part ini.

17+ yaww

"Ehm.. aku mau ngomong serius sama kamu." Aku menahan nafas saat mengucap kalimat itu. Mencoba meyakinkan jika inilah saat yang tepat.

"Kamu kemana aja?" Tanya nya lirih.

"Aku ada, aku harus ngurusin bunda dulu. Makanya baru sempat kesini."

Aku melihat bahunya bergetar. Please Jan, jangan bikin pertahanan yang sudah aku bangun sedemikian rupa runtuh karena lihat kamu yang serapuh ini.

"Aku sakit Dit." lirih suara itu sangat menyayat hatiku.

"Aku tau! Untuk itu aku datang kesini buat jenguk kamu." Aku mencoba mendatarkan suaraku sedatar mungkin. Jani sepertinya terkejut mendengar jawabanku. Dia memandang hampa ke arahku yang masih berdiri di sampingnya.

"Jan, kita harus selesaikan ini." kataku tegas.

"Mengakhiri apa Dit? Gak ada yang berakhir. Kamu jangan ngaco!" Dia mencoba meraih tanganku dan aku membiarkan dia menggenggam jemari tanganku, karena aku pun butuh pegangan untuk menjalani ini semua.

"Jani, kita putus." Satu kalimat yang pastinya membuat Jani hancur. Dan bisa dipastikan aku akan lebih hancur dari Jani.

Jani menggeleng dan makin mengeratkan genggaman tangan kami. Bahkan sekarang dia sudah menangis dan memeluk sebelah lenganku.

"Enggak Dit! Enggakkkkkkk!!!!! Kita gak boleh putus. Kamu harus sama aku selamanya. Kita kan mau nikah Dit. Kamu gak lupa kan sama janji kamu yang bakalan nikahin aku dan bahagiain aku selamanya?"

Tuhannnnn!! Jika di izinkan untuk menepati janjiku saat itu, aku akan menepatinya. Tapi bagaimana aku menepatinya jika Jani adalah saudariku?

"Maaf Dek! Tapi Kakak gak bisa tepatin janji Kakak buat nikahin kamu. Tapi Kakak akan pastiin adik Kakak bahagia." Aku sengaja menggunakan kata kakak dan adik agar Jani sadar akan status kami yang sebenarnya.

"ENGGAKKK!!! ENGGAKK!! AKU BUKAN ADIK KAMU DIT. AKU PACAR KAMU, AKU TUNANGAN KAMU. ENGGAK BUKAN AKU BUKAN ADIK KAMU!" Jani berteriak histeris sambil mengguncang tubuhku bahkan memukul dadaku sedangkan aku hanya bisa mematung melihat kehancurannya. Ini jalan yang aku pilih, maka aku akan menyelesaikannya dengan tanggung jawab penuh.

"Jani tenangin diri kamu." Aku memeluk Jani erat. Mencoba menenangkan dia yang masih histeris.

"Dit, kamu gak boleh kayak gini. Aku cinta kamu Dit. Aku gak bisa tanpa kamu." Jani melepas pelukan dan menatapku dengan mata yang sembab dan pengharapan yang terlihat jelas.

"Jani, i love you so much, always every day and forever love you. Tapi aku gak bisa sama kamu lagi Jan. Aku kakak kamu! Aku akan selalu ada di sisi kamu. Tapi semua gak sama lagi, kita akan tetap sama-sama, tapi maaf kamu bukan pacar aku lagi. Kamu adalah adik aku."

"Dit please jangan gini, Jani sayang Radit. Jani mau jadi istri Radit. Jani gak mau jadi adik Radit."

"Aku juga gak mau, tapi ini udah takdirnya Jani. Kita harus terima takdir ini dengan lapang dada. Yang terpenting aku akan selalu ada disisi kamu dan memastikan kamu bahagia sama pasangan kamu nanti." Aku mencoba memberi Jani pengertian. Jani pasti takut kembali sendirian. Dan aku sudah berjanji takkan membuat ia sendirian lagi.

"Tapi kenapa harus kita Dit? Kenapa harus kamu yang ternyata anak papa? Kenapa harus kita yang sodaraan? KENAPA HARUS KITA YANG MEMBAYAR DOSA MEREKA DIT? KENAPA??"

Jani kembali histeris, bahkan kini jarum infus yang melekat di punggung tangannya sudah dia cabut dan berakhir dengan darah yang mengalir deras di tangannya. Aku memeluknya dan membisikkan kata penenang seperti dulu saat ia sedang kacau. Tuhan, kenapa harus sekejam ini takdir kami? Tidak bisakah izinkan kami bahagia sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai?

"Hey, sayang?" Aku memanggil Jani lembut. Dia masih sesegukan namun sudah tidak histeris seperti tadi.

"Jani sayang, udah ya nangis nya." bujukku sekali lagi.

Ternyata bujukanku berhasil. Jani mulai tenang dan kini menatapku dengan mata sembabnya.

"Kamu cinta aku kan Dit?"

Aku diam, aku cinta dia. Tapi aku tau cinta kami tak mungkin.

"Kamu udah gak cinta aku?" Kali ini air matanya kembali terjatuh bersamaan pertanyaan itu meluncur indah dari bibir indahnya.

"Oke! Aku terima keputusan kamu." Dia menunduk dalam. Akhirnya, setelah apa yang terjadi barusan Jani mulai mengerti keadaan kami.

"Aku tau ini berat Jani, tapi aku yakin kita bisa lalui ini. Aku harap kamu bahagia." Aku mengelus lembut rambutnya.

"Boleh aku minta sebuah permintaan?"

"Kamu mau apa?"

"May i kiss you?"

"Jan!!" Aku menegur keras permintaan Jani yang tak mungkin bisa ku lakukan.

"Untuk yang terakhir Dit." ucapnya lirih.

Aku memejamkan mata sejenak.

"Fine! But this our last kiss."

"Kamu duduk sini Dit." Jani menepuk ranjang setelah ia bergeser sedikit memberi ruang untukku duduk.

Aku mengangguk dan duduk di samping Jani yang kini sudah menghadap ke arahku.

"Jadi, setelah ini gak akan ada lagi kita?"

"Iya! Hanya ada kamu dan aku, Adik dan kakak."

Jani memejamkan mata dan setetes air mata kembali meluncur indah dari matanya. Dia mengangguk pelan sebelum kembali membuka mata dan menatap ke arahku.

"Now, kiss me!" Aku memejamkan mata dan meyakinkan diri jika ini yang terakhir.

"Tuhan, jika semua ini benar maka izinkan aku jatuh kekubangan dosa indah ini untuk yang terakhir kalinya." ucapku pelan sebelum memajukkan wajah dan mengecup bibir manis Jani. Bibir yang mungkin selamanya akan aku rindukan.

(Yang belum 17 tahun langsung skip aja yaaaa!!)

Jani membalas ciumanku, dia mulai mengalungkan lengan di leherku. Tanpa sadar air mata kami sama-sama menetes.

Jani terus mendesak di ciuman kami. Ia lebih agresif kali ini. Aku memundurkan tubuh sambil terus membalas ciuman Jani. Tanpa sadar aku sudah bersandar di ranjang Jani dengan dirinya yang duduk di pangkuanku. Aku ingin menyudahi semua ini, tapi terlampau sulit untukku berhenti. Ciuman ini sangat memabukkan, Jani selalu berhasil membuatku hilang kendali hanya dengan ciumannya.

Jani meremas rambutku sambil mengerang sesekali, aku membalasnya dengan meremas pinggangnya yang lebih kecil dari terakhir kali ku sentuh. Tangan Jani menghilang dari rambutku, tapi ciuman kami makin intens dari detik kedetiknya.

Aku sudah berada diambang batas kendaliku, tepat saat aku merasakan kain terjatuh dan menumpuk di lenganku yang masih setia memegang dan meremas pinggang Jani.

Jani membuka pakaiannya! Aku langsung membuka mata dan mendorong bahunya agar ciuman kami terlepas.

Benar saja, dihadapanku kini Jani hanya mengenakan bra. Baju pasiennya sudah berkumpul di pinggang perempuan itu.

"Kamu apa-apaan Jani?" Aku membentak sambil mengangkat dia dari pangkuanku dan mendudukkan nya di ranjang pasien.

Aku berdiri dan mengambil baju pasien Jani. Aku memakaikan baju itu secepat mungkin dengan tangan yang bergetar. Bergetar menahan amarah dan nafsu. Tuhan, apa yang baru saja aku lakukan?

Setelah memastikkan pakaiannya telah terpakai dengan benar, aku meninggalkan Jani tanpa mengatakan apapun. Meninggalkan Jani yang masih terpaku karena bentakkan ku. Ini gila! Semua ini membuatku gila.

Keluar dari ruangan Jani, aku menemukan Jessica sedang bersandar di ujung lorong. Aku berlari ke arahnya dan memeluk ia erat.

"Aku bisa gila jika seperti ini terus Jess." bisikku didalam pelukannya.



Jakarta, 12 Desember 2018

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top