13. Sky Menghilang
Keesokan harinya, Sky tidak muncul di kelas.
Berkali-kali Sonia berusaha menghubunginya, tetapi cowok itu tidak membalas. Teman-teman sekelasnya pun mengakui anehnya situasi ini. Tidak ada yang pernah menyangka Sky, si murid teladan, berani membolos! Karena tak kunjung mendapat jawaban memuaskan, siswa siswi kelas 11 IPS 4 menyimpulkan bahwa cowok itu pasti sedang sakit, dan besok akan muncul kembali dengan membawa surat dokter. Kecuali Sonia, sebagai satu-satunya murid yang tahu persis apa yang terjadi pada Sky sehari sebelumnya.
"Memangnya ada apa kemarin?" tanya Caitlyn cemas. Sonia tidak menjawab. Ia tahu persis, kalau ia memberitahu Caitlyn, cewek itu pasti akan ikut merasa bersalah. Tidak ada gunanya menyeret lebih banyak orang dalam masalah ini.
Tolong katakan kalau kamu baik-baik saja, batin Sonia. Setidaknya, balas pesanku. Namun, sampai sekolah usai, ponsel si gadis masih sepi tanpa notifikasi. Maka, terpaksa gadis itu pulang dengan kecewa, sambil berharap semoga cowok itu akan muncul keesokan harinya.
Langit pun mulai gelap. Sky masih belum kunjung membalas. Akun-akun media sosialnya pun tidak aktif. Sonia berusaha menyibukkan diri. Menyapu rumah, membantu menyiapkan makan malam, menyusun pakaian bersih di lemari. Ketika ponselnya berbunyi, lekas-lekas ia mengecek notifikasi. Ternyata bukan dari Sky, melainkan Anne.
[13/07 17:40] Anne: Son, sudah beli kebutuhan buat pelajaran seni besok, belum? Kalau belum, titip beliin kanvas ukuran A3 dan cat akrilik 12 warna, ya! Caitlyn pelit, nggak ngebolehin aku pakai punya dia :( Besok aku ganti uangnya!
"Ah, iya, besok kelas seni rupa!" pekik Sonia sambil menepuk jidat. Tanpa berganti baju, cepat-cepat ia sambar dompetnya dan berlari menaiki sepeda. Tujuannya, toko alat lukis di dekat Kafe Nozomi. Untung, toko itu masih buka! Tak ayal, bapak-bapak penjaga toko heran melihat Sonia yang ngebut bagai dikejar setan dan berlari masuk toko dengan tubuh penuh keringat dan napas terengah-engah.
"Mau beli apa, Dik?" tanya penjaga itu.
"Ng .... Kanvas buat cat akrilik yang mana ya, Pak?" tanya Sonia, kebingungan melihat puluhan jenis dan ukuran kanvas yang berjajar. Ada yang tebal, ada yang tipis. Ada yang cuma dua puluh ribuan, ada juga yang sampai ratusan ribu! Di mata Sonia, semuanya terlihat serupa.
"Mau yang mana, Dik?"
"Anu, cuma buat tugas sekolah kok, Pak. Nggak usah yang mahal-mahal. Saya ambil dua, ya," jawab Sonia cepat. Gadis itu kini sedang melihat-lihat cat akrilik. Kalau tadi ia merasa jenis kanvas banyak sekali, ternyata tidak ada apa-apanya dibandingkan merk cat akrilik di toko itu. Ada yang dijual satuan dalam botol-botol besar. Ada pula yang dijual per set dalam wadah-wadah kecil. Ada buatan Eropa, Jepang, Cina, wah, pokoknya banyak! Waktu Sonia meraih set dua belas warna paling murah, si bapak penjaga langsung mencegah.
"Wah, jangan yang itu, Dik! Catnya susah rata, kalau sudah kering warnanya gampang pudar. Buat pemula, paling bagus pakai yang ini, nih. Buatan Jepang. Gampang dicampur, cepat kering, warnanya terang, gampang dicuci juga kalau tidak sengaja kena baju. Murah, lho, satu set cuma seratus lima puluh ribu, sudah isi dua belas warna!"
Seratus lima puluh ribu? Murah? Sonia mengerutkan dahi. Buat sebagian besar murid SMA Marion, segitu memang murah! Bapak-bapak ini mungkin belum tahu kalau ada anak Marion yang tinggal di kampung dan orang tuanya tidak punya mobil sama sekali. Akhirnya, gadis itu mengambil satu kotak cat yang disarankan penjaga toko, dan satu kotak cat yang lebih murah. Biar Anne saja yang nanti pakai cat dari Jepang itu. Sonia, yang sadar kemampuan menggambarnya tidak seberapa, tidak mau menghabiskan banyak uang untuk sesuatu yang tidak ia kuasai.
Sehabis membayar, Sonia menghela napas panjang melihat sisa uangnya. Empat puluh ribu untuk dua kanvas, seratus lima puluh ribu untuk satu kotak cat buat Anne, dan lima puluh ribu untuk cat akriliknya sendiri. Dua ratus ribu lebih hanya untuk satu tugas sekolah! Memang, sih, Anne akan mengganti uangnya besok, tetapi, untuk hari ini, Sonia resmi kehabisan uang jajan.
Ternyata, hari itu Sonia memang sial. Baru beberapa meter mengayuh sepeda, tiba-tiba guntur menggelegar. Seketika, hujan deras mengguyur. Sonia buru-buru mengayuh sepeda ke Kafe Nozomi, lalu berteduh di terasnya. Ia keluarkan ponsel, lalu mengabari ibunya bahwa ia belum bisa pulang untuk sementara waktu. Aneh sekali hujan deras turun bulan Juli! Gadis itu berdiri menggigil, dalam hati menyesali diri karena tidak membawa jas hujan.
"Apa aku masuk aja, ya? Tapi sungkan kalau nggak beli apa-apa ...." Sonia melirik pintu kaca Kafe Nozomi. Dingin-dingin begini, segelas teh hijau hangat di meja tampak begitu nikmat. Seorang pemuda berjaket hoodie biru tua mengangkat gelas itu ke bibirnya, lalu menyesap teh perlahan-lahan.
Tunggu dulu, ia mengenali pemuda itu!
"Eh, itu .... Sky? Sky!" Secepat kilat Sonia menghambur masuk. "Sky Adrian Dirgantara! Kenapa bolos sekolah? Aku khawatir, tahu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top