12. Batas Tak Kasat Mata
"Sky, ada masalah apa?" desis Sonia. Secepat kilat Sky membereskan laptop dan buku-bukunya. Otomatis, Sonia melakukan hal yang sama. Benaknya masih bertanya-tanya. Apa gerangan yang membuat Sky jadi segugup itu? Tiba-tiba saja, gadis itu sangat ketakutan.
"Orang tuaku pulang. Mereka sudah tahu aku ada kerja kelompok, tapi sekarang keadaannya lagi nggak kondusif. Ayo, aku antar kamu pulang." Sky mengedikkan kepala ke pintu. "Ikuti aku. Pelan-pelan, oke?"
Sonia mengangguk. Di luar, suara pertengkaran masih terdengar. Sky memimpin Sonia mengendap-endap ke ruang tamu, mengambil sepatu, lalu pergi ke garasi. Di sana, tanpa suara Sky memberi isyarat pada sopirnya untuk mengantar Sonia pulang. Tanpa berpamitan, kedua remaja itu meninggalkan rumah.
"Ng, anu, apa nggak sebaiknya kita pamit orang tuamu dulu? Aku takut kamu dimarahi ...."
"Nggak usah. Mereka toh kemungkinan besar nggak sadar aku pergi lagi." Sky menggeleng. "Di mana rumahmu, Son?"
"Anu, tahu Depot Aneka Ria, nggak? Di kirinya kan ada gang, tuh. Nah, rumahku di dalam gang itu," jelas Sonia. "Nanti aku turun di depan gang saja. Soalnya banyak yang suka ugal-ugalan naik motor di situ, takutnya mobil ini keserempet."
"Oke. Tahu jalan ke situ kan, Pak?" Sky bertanya pada sopirnya. Pria itu mengacungkan jempol. Di kursi tengah mobil, Sky dan Sonia duduk berjauhan. Sky di pojok kanan, dan Sonia di pojok kiri. Gadis itu mendekap ransel erat-erat. Kepalanya tertunduk. Sementara itu, sambil bertopang dagu, Sky menatap keluar jendela. Saat itu pukul lima sore. Langit bersemu oranye dan merah, sinarnya hangat menerpa jalanan.
"Maaf, ya. Aku sama sekali nggak nyangka orang tuaku bakal pulang cepat hari ini," ujar Sky.
"Apa mereka marah gara-gara aku datang?" tanya Sonia hati-hati. Sebagai anak dari pasangan guru yang sama-sama tegas, ia tahu persis tidak bakal diizinkan menutup pintu ruang tamu kalau ada cowok berkunjung, apalagi sampai berduaan saja di ruang tertutup tanpa orang tua di rumah. Barangkali begitu juga peraturan di rumah Sky, duganya.
"Bukan, kok. Don't worry, you didn't do anything wrong. Memang sejak beberapa tahun lalu orang tuaku tidak terlalu akur, tapi aku nggak nyangka mereka bakal langsung saling menyalahkan setelah pulang. Yah, salahku sendiri yang lupa ini tanggal berapa." Sky tersenyum pahit. "Aku nggak ngerti bagaimana aku bisa lupa. Ah, akhir-akhir ini aku memang ceroboh."
"Sky—" Sonia menyahut, tetapi Sky menggeleng. Tampak jelas bahwa pemuda itu tidak ingin diajak bicara. Akhirnya, gadis itu hanya diam sepanjang perjalanan. Kira-kira lima menit kemudian, Depot Aneka Ria terlihat di ujung jalan, penuh pengunjung seperti biasanya.
"Lain kali, kita kerja di sekolah saja," ujar Sky. "Aku punya kunci serep Ruang OSIS, jadi besok kita bisa pakai ruangan itu sampai sore."
Tanpa suara Sonia mengangguk. Mobil itu berhenti tepat di depan Depot Aneka Ria. Begitu mobil berhenti, gadis itu langsung turun dari sana. Setelah sopir menurunkan sepeda Sonia, Sky melambai, dan mobil pun berlalu. Belum pernah Sonia melihat wajah Sky begitu terluka, tetapi ia tak kuasa berbuat apa-apa. Lagi-lagi, pribadi pemuda itu bagai diselimuti awan hitam nan tebal, tak tertembus oleh gapaian Sonia.
"Apa pun yang dia lupain, pasti tanggal hari ini seharusnya penting banget buat Sky dan keluarganya," gumam Sonia selagi berjalan menuntun sepeda. Sengaja tidak ia naiki sepeda itu. Sore ini, ia ingin berlambat-lambat. Beberapa kali ia menendang kerikil di tepi selokan. Anjing tetangga menggonggong. Kucing jalanan berlarian. Ayam-ayam kampung mematuk-matuk di sekitar rerumputan. Sungguh, dunia yang Sonia hidupi sehari-hari berbeda dengan dunia tempat tinggal Sky. Itukah sebabnya ia masih belum bisa memahami cowok itu sampai sekarang?
Untuk sekarang, lebih baik aku fokus pada tujuan awalku. Asalkan Sky kembali bahagia, cukuplah itu buatku. Soal apakah kita bisa bersama di kemudian hari, biar waktu yang menentukan.
Sonia menyempatkan beberapa saat untuk memandangi rumahnya. Rumah kecil, berpagar hitam sedada, catnya kusam termakan usia. Motor Supra ayahnya terparkir di teras. Tidak estetik, apalagi mewah. Namun, orang tuanya selalu rukun. Kadang-kadang saja mereka saling berkata tajam, soal sepatu Papa yang selalu kotor, atau masakan Mama yang terkadang hambar. Sebelum hari berganti, Mama dan Papa selalu sudah akur kembali, duduk bersama sambil menonton film lawas di televisi.
"Lho, Sonia? Sudah selesai kerja kelompoknya?" tanya Bu Rosita kala Sonia masuk ke rumah.
"Sudah sore, Ma. Dilanjut besok. Sky ada keperluan lain," jawab Sonia datar. "Papa mana?"
"Mandi. Baru aja pulang. Kamu juga cepetan mandi, sana. Nanti kalau kemalaman masuk angin, lho. Jangan lupa tasnya disimpan yang rapi ya, Sayang!"
Sonia mengangguk. Dalam hati, gadis itu berharap Sky baik-baik saja di rumahnya. Semoga saja apa pun yang dilupakan cowok itu takkan membuatnya dapat masalah besar hari ini. Serta, semoga cowok itu tahu, bahwa Sonia sungguh paham bahwa peristiwa tadi bukanlah akibat kesalahannya.
Semoga.
Wah, kira-kira keluarga Sky ada masalah apa, sih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top