"Ngapain lo tong?"

Joy iseng toyor kepala Rose yang lagi nunduk anteng nggak tau kenapa. Belasan bungkus jajan ada di sana-sini sisi meja makan. Joy asal nyomot minuman kaleng yang tinggal sisa setengah, ikutan duduk di hadapan adiknya yang mukanya kayak orang nggak semangat hidup.

"Najis banget muka lo."

Kasian dulu sama Rose yang selama ini terima-terima aja dikatain ini itu sama si kakak bangsat macam Joy. Nggak ada bedanya sama sekali kayak Mami Sooyoung. Rose mah beda nggak tau turunan siapa kok jadi letoy plus gampang nangis begitu, banyakan bego lagi. Si Papa Kyungho juga orangnya kuat, jangan-jangan Rose anak pungut.

"Mulut lo pedes amat kemarin. Jujur nih, gue kaget," ucap Joy bahas soal ketemuan kemarin.

Rose arahin kepalanya hadap Joy. Bibirnya cemberut dan kantung mata itu bener-bener bikin dia keliatan nggak pengen hidup.

"Sebenernya gue nggak tega sama mereka."

Sebuah pengakuan yang buat Joy sedikit kecewa. Kalian tau kan mereka berdua ini tim tolak balikan. Sadar salah satunya mulai luluh cukup buat Joy sedikit hilang semangat.

"Gara-gara Lisa kan?"

Yang ditanya cuma diem. Apa yang jadi beban pikirannya ditangkap tepat sama otak Joy. Hubungannya sama Lisa emang sekuat itu. Bahkan setelah dua tahun pisah tanpa saling kontak, Rose harus puas pendam rasa kangennya. Waktu ketemu lagi di pemakaman kemarin, jujur Rose bahagia banget. Tapi di satu sisi dia juga harus mikirin Joy yang seenaknya kasih label tim tolak balikan.

"Lo mau balikan kayak orang-orang bangsat itu?" Muka Joy serius, sama sekali nggak ada cela buat bercandanya.

Rose tegakin badan dan balik nunduk lagi. Baru aja mau buka mulut, Joy udah nyosor lagi. "Jangan pilih sesuatu yang belum tentu ada di saat lo butuh."

Rose sedikit tersentak, teganya Joy bilang kayak gitu. Dari kecil temenan tentu Rose tau gimana sifat Lisa. Dia bukan tipe bajingan kayak yang diomongin barusan.

"Gue lebih ngerti dia daripada siapapun."

"Lo aja kali yang sok ngerti tentang Lisa."

"Lo juga sok ngerti perasaan gue!" seru Rose nggak terima. Demi apapun, dia nggak pernah semarah ini belain seseorang.

Joy jelas kaget sama perlakuan Rose yang nggak biasanya. Sebagai kakak yang selama ini berusaha jaga adiknya susah payah, Joy berasa lagi ditusuk hatinya.

"Jadi lo mau ninggalin gue demi Lisa yang bukan siapa-siapa?"

"Kalo bisa kenapa nggak?"

Joy nggak mau main tangan di sini. Dia cuma bisa diem tatap Rose yang sekarang justru kelihatan muak. Tapi, emosi yang dilampiasin secara verbal lebih sakit daripada lewat kekerasan.

"Lo tuh adik bangsat, tau?"

••••

Bawa Ford Mustang GT tapi nongkrongnya di warteg lesehan pinggir jalan ya baru Lisa namanya.

Mumpung Seulgi sama Papi nggak di rumah, Lisa langsung geledah-geledah lemari cari duit terus ngacir bawa mobil kebanggan. Ya sebenernya dia pergi tanpa tujuan yang jelas. Alhasil hampir dua jam cuma muter-muter kota dan warteg kecil pinggir jalan berhasil buat Lisa berhenti. Susu jahe lengkap sama gorengan jadi menu di tengah hujan deras, mantap lah.

Puluhan notifikasi dari hp dibiarin aja. Asik makan sambil lihatin jalan basah yang nggak tau kenapa lebih menarik. Sampe sesuatu di trotoar seberang berhasil buat Lisa buru-buru berdiri.

Masih bawa gorengan, dia keluar warteg tanpa peduli hujan sama teriakan Abang penjual yang kira Lisa mau kabur. Hati-hati seberang jalan, jantung Lisa makin berdebar kencang begitu sadar cewek jangkung yang lagi hujan-hujanan itu sahabat lamanya.

"Rose?"

Nggak pake basa-basi Lisa langsung hentiin langkah Rose. Rambut panjang itu berantakan, ditambah cuma pake celana kolor sama kaus tipis dan jaket kulit mahal yang cuma digantungin bahu itu, bener-bener definisi gembel tapi cantik.

"Lo ngapain? Dingin tau."

Yang ditanyain linglung. Tatap nanar sosok Lisa yang kelihatan kabur di matanya gara-gara air hujan. Orang yang hari ini sukses sita pikirannya sekarang ada di depannya.

"Gue laper," lirih Rose tanpa sadar. Dia emang suka ngomong ngawur kalo lagi dikondisi kayak gini.

Lisa yang awalnya kelihatan kaget berubah jadi ketawa pelan. "Ya udah ayo makan, mumpung gue tadi lagi di warteg tadi. Nggakpapa kan?"

Ya bodo amat yang penting mah makan. Rose langsung ngacir nggak tau diri. Pesan nasi goreng dua porsi plus es teh. Lisa cuma bisa nangis aja siap-siap kena ceramah Papi uangnya habis.

"Kok bisa sampe sini? Rumah lo kan jauh." Balik lagi ke topik utama setelah Rose selesai sikat makanannya.

Sebenernya Rose males bahas ini. Tapi nggak enak juga kan sama Lisa yang udah traktir. "Bertengkar sama kakak."

"Masalah apa?"

Lebih males lagi bahas ini. Soal keputusan balikan yang bener-bener bikin stress. "Lo tau lah."

Raut wajah Lisa berubah suram mendadak. Bukan cuma Rose, masalah ini juga buat beban pikiran bagi kedelapan cewek itu.

"Bukan maksud lancang ya, tapi bukannya kalian berdua kompak tolak?" Suara Lisa makin kecil di akhir. Dia pikir pihak Joy sama Rose nggak pikir dalem-dalem masalah tersebut.

"Awalnya gitu. Habis bilang kalo gue masih bimbang Kak Joy nggak terima."

Lisa ngangguk-ngangguk paham. Lalu dibuat penasaran lagi kenapa bisa Rose sampe bimbang. Cewek itu lumayan punya pendirian teguh, sekalinya nggak suka ya sampe kapanpun tetep begitu. Sekarang lihat  dia bimbang cukup buat Lisa penasaran.

"Kenapa bimbang? Ada sesuatu lain?"

"Lo."

Eh?

Lisa jadi sedikit lemot, maklum turunan Kwon Yuri. Dijadiin alasan bimbang buat Lisa sedikit ngerasa aneh.

"Kenapa gue?"

Helaan napas panjang Rose kedengeran samar disela suara deru hujan. Dia tumpu dagu pake satu tangan, sedikit maju tatap Lisa lebih jelas.

"Lo salah satu dari kebahagiaan gue. Dua tahun pisah udah cukup. Kak Joy nggak bantu apa-apa kayak lo selama hari-hari pisah. Bayangin tanpa lo itu... gue nggak bisa."

Oke, Lisa jadi baper. Mulutnya Rose tuh kadang manisnya nggak ketulungan. Bukan dalam konteks cinta atau apapun, cuma Rose yang terlalu sayang sama temen.

"Jadi, apa rencana lo?"

Cewek Park angkat bahu. Belum ada gambaran jelas buat kedepannya. Tapi yang jelas cuma satu,

"Bareng lo terus. Gua nggak mau hidup sama orang yang bahkan nggak pernah ngertiin gue."

Nama Joy disindir secara nggak langsung. Lisa ikutan hela napas. Selalu ada sisi kekanakan dalam diri Rose, asal ambil keputusan sesuai keinginan dia. Bahagia kuncinya, bahagia selalu dikedepankan dari segala konsekuensi.

"Maaf Rose, gue nggak bisa. Jangan tinggalin saudara yang udah lebih dulu ada buat lo daripada gue yang cuma temen. Sekalipun dia kelihatan nggak peduli dan nggak bisa ngertiin apa yang lo rasa, percaya kalo seorang kakak itu selalu mikirin adiknya."

Halo, ada yang tetep nungguin nggak nih? Maaf lama update, aku habis sakit (╥﹏╥).

Gimana part ini? Aku ambil dari sudut pandang yang lain dan nggak monoton cuma di Irene, Wendy, Jisoo.