[5]
Irene nggak tau harus senang atau sedih lihat Jessica nangis udah kayak bayi minta minum di samping makam Krystal. Kadang Irene ini emang suka kejam, but selalu ada alasan dibaliknya.
Tragedi dua tahun lalu masih ngebekas jelas di hati Irene. Siapa yang bakal lupa atas kematian Ibu sendiri dengan cara nggak adil begitu. Dan Irene sebagai anak tentu sulit maafin bajingan yang buat hidup Ibunya susah, atau mungkin nggak maafin sama sekali kan? Walau sikapnya masih kelihatan biasa, siapa tau dia diem-diem santet si Jessica.
"Jangan ngelamun di kuburan, Kak."
Irene hampir aja mau kejengkang begitu Seulgi muncul tiba-tiba di sebelahnya. Lalu suasana mendadak sunyi, cuma kedengeran suara tangis Jessica yang belum juga berhenti di sana.
Sebenernya Seulgi udah deg-degan parah dibalik senyuman yang dia tunjukin lihat respon Irene yang malah dingin. Emang harusnya dia nggak muncul aja tadi.
"Ngapain di sini?" tanya Irene balik sandaran di pohon. Masih tolak kontak mata tapi seenggaknya kasih tanggapan.
"Ke makamnya Om Nickhun."
Denger nama bapaknya disebut Irene reflek tatap tajam Seulgi. Mau nanya ngapain ke situ, tapi Seulgi udah peka duluan. "Mami yang minta."
"Buat apa?"
Seulgi angkat bahu. "Ya gitulah."
Irene mau ketawa aja, serius. Tapi dia nggak mau cari ribut di sini. Bayangin Yuri tulis surat minta maaf dan sejenisnya buat Tiffany sama Nickhun. Sebenernya penyesalan Yuri udah nggak guna sekarang.
"Tante Jessica kasian, ya." Seulgi nyeletuk lagi. Pandang nanar wanita mungil yang lagi keluarin segala penyesalan dan rasa sakitnya di sana.
Irene nggak respon kali ini. Nggak tau kenapa lihat Jessica kayak gitu dia malah mati rasa, nggak sedih atau apapun, netral. Sesuai yang dibicarain pertama tadi, mungkin karena rasa senang sama sedih dalam diri Irene seimbang.
Buat Seulgi sendiri yang dasarnya baperan, dia ngerasain sesuatu yang umum dirasain orang lain kalo lihat Jessica; sedih sekaligus prihatin. Lalu pemikiran lain lewat gitu aja di kepala Seulgi. Buat dia tatap Irene yang juga lihatin Jessica tanpa ekspresi.
"Kak," panggil Seulgi pelan.
"Hm?"
"Apa lo selalu berdoa berharap semua wanita itu dapet karma dan hidupnya jadi sulit? Termasuk keluarganya?"
Pertanyaan sulit yang sukses buat Irene lupa napas beberapa detik. Kemudian ketawa kenceng banget buat dua polisi yang kawal Jessica noleh. Termasuk Seulgi yang justru kebingungan.
"Ya, gue pernah berharap gitu. But, yang begituan justru kelihatan lebih dosa dari apa yang para wanita itu perbuat kan? Jadi gue cuma berharap yang terbaik buat hidup mereka."
"Terus kenapa lo nolak permintaan Jennie waktu itu?"
Yang katanya deg-degan parah tadi siapa? Kok sekarang malah cari ribut pake tanya begituan. Ya secara logikanya Seulgi pasti udah ngerti kenapa Irene nolak. Apa yang dia bicarain barusan bukan mengarah ke hal itu.
"Gue cuma berharap yang terbaik bukan balik bersama kayak dulu."
"Tapi—"
"Pikirin urusan lo sendiri, Gi."
Seharusnya Seulgi ini sadar posisi kalo sekarang hubungannya dan Irene nggak sama lagi kayak dulu. Cuma sebatas tetangga yang saling tau nama masing-masing, nggak lebih.
"Ah, iya. Maaf udah rusuh." Seulgi cepet-cepet kabur. Mode juteknya Irene lebih nyeremin dari apapun.
Balik fokus ke Jessica yang ternyata udah selesai. Matanya luar biasa merah dan sembab kayak zombie. Kali ini Irene biasa aja waktu disamperin. Sesuatu lega muncul dalam dada; impas.
"Gini yang kamu rasain dulu?" tanya Jessica serak plus lirih.
Irene ngangguk tanpa ekspresi. "Ya, saya sedih ditinggal Krystal. Bukan kayak Tante yang puas habis bunuh Mama saya."
Entahlah, rasanya hati Jessica diremas-remas nggak karuan. Kehidupannya dirampas habis, satu-satunya harapannya pergi tanpa sempat pamit.
"Jadi ini karma atas dosa saya. Kita impas kan, Irene?"
••••
"Gimana Kak?"
Kayak biasa Wendy sama Jisoo nongkrong di kamar Irene. Siap-siap interogasi soal reaksi Jessica tadi. Beda sama Irene yang sedikit ada rasa sedih, mereka berdua malah cengar-cengir nggak ada perasaan.
"Ya gitu. Lo pikirin aja gimana reaksi Ibu yang ditinggal anaknya meninggal, pake dong otaknya." Kayak biasa omongan Irene sedikit nyelekit. Tapi yang begituan udah biasa bagi Wendy sama Jisoo.
"Akhirnya dada gue lega. Udah impas kan?" Celetukan Jisoo buat Irene ingat sama ucapan Jessica tadi siang.
Emang bener sih Irene jadi lebih sedikit lega sekaligus ada yang hilang. Maybe, kepergian Krystal? Ya sebenernya kepergian Krystal bawa dua perubahan itu. Impas bagi tragedi lalu dan sakit bagi Irene maupun Jessica.
"Tapi, gue nggak rela Kak Krystal-nya sih," sambung Jisoo nunduk sedih.
"Lo bener. Kakak sendiri gimana?" Giliran Wendy ngomong sambil tatap kakaknya di atas ranjang.
Irene diem dulu mikirin perasaannya sendiri. Ekspresiin perasaan sama emosi aja susah apalagi harus ngejelasin.
"Nggak tau."
"LAH?" seru Wendy sama Jisoo barengan.
"Serius, gue nggak tau. Campur aduk rasanya."
Wendy udah geleng-geleng keheranan. Sebegitu parahnya Alexithymia Irene, turunan dari Nickhun mungkin? Sebab Tiffany dulu selalu pas sampein perasaan dan emosi.
"Kayaknya lo perlu ke psikolog deh Kak," ucap Wendy ngawur.
"Lo pikir gue gila njing?!"
"Santai Kak, hehe," lerai Jisoo tumben banget nggak ikutan ngeselin.
"Yang penting urusan kita udah selesai kan?"
Dengernya buat Irene ingat sesuatu. Lalu buru-buru bongkar laci meja di samping ranjang. Wendy sama Jisoo yang tentu kepo akut ikutan ngintip.
Ekspresi Irene lebih tegang sekarang sambil baca sebuah surat nggak tau apa isinya. Matanya gerak cepat dari kanan ke kiri.
"Apaan tuh Kak?" Jisoo mau ngintip tapi Irene keburu tutup suratnya. Pandang kedua adiknya pake wajah yang... nano-nano. Tegang, nggak percaya, kaget, semuanya campur jadi satu di wajah cantik Irene.
Sekarang Irene akui dari awal kenal sampe sekarang udah meninggal Krystal tuh tetep nyebelin, ngerepotin di beberapa hal. Dan sekarang itu anak tinggalin sesuatu yang mati-matian Irene hindari dan berdoa supaya nggak pernah kejadian.
"Urusan kita baru mulai sekarang."
Pengen adain Q & A sebelum masuk konflik, tapi takut nggak ada yang nanya hehe. Gimana menurut kalian?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top