segi .... bermuda

Syarat untuk menjadi penulis ada tiga, yaitu: menulis, menulis dan menulis - Kuntowijoyo

"Kenapa senyam-senyum sendiri weh?" kata Azwa alias Wawa pada Sayang yang sedang menggulir layar ponselnya.

Gerald mencibir. "Kayak ada yang ngechat aja lo. Astaga, mupeng banget muka lo, Yang."

"Wa, lo udah baca nggak? Gina sungkem ke Dion." Sayang tak bisa menahan senyuman lebarnya dan menunjukkan Samsung J Prime yang tombol powernya kelelep sama layarnya retak itu.

Wawa melotot. "Beneran lo?"

"Hooh, beneran. Gila gila gila. Kita udah ngikutin mereka dari SMP nggak sih, Wa? Dari Fangirl Enemy pas mereka berantem muluuuu."

Wawa mengangguk heboh. "Iya terus waktu mereka kuliah zaman Halal Zone, terus pas mereka akhirnya nikah. Aaaaak."

Gerald geleng-geleng melihat dua makhluk di depannya menjerit heboh.

"Ini lanjut Halal Zone 2 yang walaupun seuprit babnya tapi aduh menikah dalam cerita fiksi emang seindah itu. Anjir nggak bisa kayak gini gue, Wa. Gue mau kayak Dion pokoknya kayak Dion pokoknya kayak Dion."

"Kalau gue ... gue Kiev aja deh. Lo udah baca The Celebrity CEO belum?"

Sayang menggeleng. "Belum, Wa."

"Ketemu lagi tau dia sama Kivia."

"Sumpah lo?" seru Kivia.

"Sumpah. Terus mereka main film bareng, manis banget asli cuy. Couple teradem tuh mereka."

"Dion-Gina tetep yang tergemes sih."

Gerald berdeham sewot. "Ngomongin apa deh lo berdua?"

"Biasa, Wattpad...." jawab Wawa full senyum.

[Wattpad adalah salah satu platform yang memfasilitasi penggunanya membaca dan menulis cerita. Allen Lau dan Ivan Yuen mendirikan Wattpad pada tahun 2006 berbasis di Toronto, Kanada. Sesuai ketentuan layanan, Wattpad hanya tersedia untuk individu berusia 13 tahun atau lebih]. 

Gerald menoyor bahu Sayang yang masih tersenyum salting. "Astaga masih senyam-senyum ni anak. Halu terooos. Salting kok sama fiksi?"

"Biarin! Halu tuh kebutuhan tersier."

Wawa mengangguk semangat. "Yoi, apa kata orang-orang tuh? Nggak fiksi, nggak hore!"

***

Usai bekerja di toko kelontong Mr. Wang alias bapaknya Ko Darren, Sayang berjalan-jalan ke toko buku sendirian. Dia menolak ajakan Gerald karena nggak mau sering-sering jalan bersama cowok itu untuk menjaga perasaannya sendiri dan nggak mau jadi bahan gosip anak-anak di sekolah. Sayang juga nggak enak kalau ditraktir makan atau malah dibeliin buku sama Gerald yang terlalu baik. 

Sayang menyelusuri setiap rak dan membaca sinopsis di belakang buku yang menarik perhatiannya. Tangan Sayang bergerak mengusap pinggiran buku yang dilewatinya.

"Semoga suatu saat nanti buku gue juga akan nangkring di sini," ujar Sayang dalam hati.

Sayang mendekati rak yang menampilkan koleksi best seller. Mata Sayang membulat saat melihat salah satu cerita wattpad kesayangannya yang tentu tidak bisa ia beli saat pre order sudah mejeng di toko buku. Sayang menjerit dalam hati betapa ingin ia membawa pulang buku itu. Sayang mengambil buku yang masih tersegel plastik itu.

"Bentar ya, gue bakal balik lagi. Tapi harus puasa berapa hari biar bisa bawa pulang?" batin Sayang sambil menahan diri untuk nggak terlalu drama dengan memeluk buku itu. "Semoga pas duit gue ada, lo juga lagi promo ya, Say."

Rela tak rela, Sayang mengembalikan buku itu ke atas rak. Berangan-angan bukunya juga akan ada di bagian best seller. Berkhayal dia dapat memborong buku favoritnya tanpa memandang harga.

Sayang memandang iri cewek yang lagi membawa setumpukan buku ke kasir dan mengeluarkan kartu saktinya untuk membawa pulang buku-buku itu.

"Waw, sangat menghibur kemiskinanku," gumam Sayang sambil tersenyum miris.

Sayang keluar dari toko buku dan melihat ponselnya. Sudah jam 8 malam, Sayang berjalan menuju kedai mie ayam tempat ia bekerja.

Kedai mie ayam Pak Imron memang selalu ramai. Syukurnya, Sayang diterima untuk bantu-bantu di sini.

"Sayang, tolong anter ke meja itu ya, Nak," ujar Bu Imron menyerahkan nampan berisikan dua mangkuk mie ayam dan dua gelas es teh.

"Siap, Bu." Sayang langsung melaksanakan tugasnya. Di kursi dekat kasir, seorang ibu-ibu paruh baya memperhatikan interaksi Bu Imron dengan Sayang.

"Siapa, Bu? Perasaan Abi nggak punya adik. Disayang banget yo sampai udah dipanggil sayang?" tanya ibu-ibu itu kepo.

"Oh, ini Bu Hindun... namanya emang Sayang, Bu...."

Bu Hindun kaget bukan main. "Hah? Beneran?"

"Iya, Bu. Namanya Sayang aja. Mbaknya namanya Kasih, adek-adeknya di desa namanya Cinta sama Rindu. Betul gitu kan, Yang?" tanya Bu Imron mengonfirmasi kepada Sayang.

Sayang mengangguk dengan nampan kosong di tangannya. "Betul, Bu."

"Waduh, kalau nama mama kamu siapa?" tanya Bu Hindun lagi.

"Ibu saya namanya Asmara, Bu," jawab Sayang.

"Oalah, bagus-bagus kasih namanya ya. Apalagi kamu, waduh pasti berasa disayang semua orang ini ya?"

"Nggak juga, Bu. Malah sering diledek," curhat Sayang.

"Diledek kenapa? Manis, rajin juga, sekolah kamu?"

"Nggih, Bu. Sekolah."

"Belajar betul-betul ya, nanti kerja dulu. Jangan langsung setuju kalau mau dinikahkan, ya? Kecuali cowoknya beneran kaya raya. Kalau sama yang biasa-biasa aja sih nggak usah. Hidup kamu masih panjang.

"Masih sekolah udah harus kerja begini. Nanti di sekolah juga yang rapi, bajunya jangan kusut begini, mukanya juga dibedakin. Nggak papa bedak yang murah terus banyak mah ada. Ini bibir kamu kering kerontang begitu, minum air yang banyak. Pakai pelembab bibir. Ini ibu ada nih kalau kamu mau beli ya, Meybelin ini ibu jual cuma sepuluh ribu. Terus Paselinnya juga sepuluh ribuan biar lembab begitu bibirnya ya."

"Sayang, cuci piring dulu, Nak," ujar Bu Imron yang datang dari dapur.

"Ini Sayang lagi saya tawarin gincu, Bu."

"Kemerahan kalau Sayang yang pake. Saya aja yang beli ya, Bu. Itu kutek-kutekannya berapa, Bu?"

"Bukan kutek-kutekan ini bu, kutek beneran," koreksi Bu Hindun.

"Iya itu dua ya, Bu."

"Makasih ya, Bu. Mari...."

"Ngapain kamu beli-beli begitu?" tanya Pak Imron sambil menyajikan mie ayam.

"Nggak papa lah buat mainan. Sayang mau kutek-kutekan?"

Sayang yang lagi cuci piring menyengir. "Nggak usah, nggak apa-apa, Bu."

Jam setengah sepuluh malam, Sayang tiba di indekos, ia melepas sendal jepitnya dan mencuci kaki. Sayang langsung merebahkan kepalanya di atas bantal dan beralaskan karpet tipis. Sayang memukul-mukul bagian pinggangnya yang terasa sakit.

"Woy minimal mandi sih lo kata gue, Yang. Mandi please, ya. Mandi weh mandi," omel Sayang pada dirinya sendiri.

Tiba-tiba dering telepon memecah lamunannya. Sayang mengambil hpnya dan langsung menekan tombol untuk menerima panggilan dari Mbak Kasih.

"Halo, Dek. Gimana hari ini? Maaf ya mbak baru bisa nelepon. Karena ujan kali ya di sini jadi sinyalnya susah." Mendengar suara Mbak Kasih membuat hati Sayang merasa tenang setelah melewati hari yang melelahkan ini.

"Baik kok, Mbak Kasih gimana?" tanya Sayang. Mbak Kasih sekarang sedang ikut bekerja di sebuah pabrik konveksi dan lembur untuk beberapa hari. Jadi menginap di mess. Sayang terpaksa harus sendirian di kos kecil mereka ini.

"Baik, kok. Cuman agak kurang tidur aja."

"Mbak jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan."

"Sayang juga ya. Jangan terlalu maksain buat kerja. Uang yang Mbak kasih kemarin insyaAllah cukup, kamu juga pinter ngatur uang. Tapi kalau ada keperluan lain bilang aja ya, nanti Mbak kirim uangnya."

"Cukup banget kok, Mbak. Nggak usah khawatir, aku baik-baik aja."

"Hm, iya itu laptop pakai aja. Kamu lagi seneng nulis, kan?" tanya Kasih yang memang mengetahui hobi menulis adiknya.

Laptop Kasih juga laptop bekas anaknya Om Bara, keluarga mereka yang juragan beras di desa. Ya walaupun laptopnya harus selalu tersambung pengisi daya, tapi sangat membantu.

"Lho, Mbak nggak bawa laptop? Mbak nugas gimana?" tanya Sayang.

"Mbak bisa pakai laptop Mas Hari." Hari adalah pacar Kasih. Mereka sudah menjalin hubungan empat tahun lamanya. "Gimana-gimana? Udah berapa banyak yang baca?"

"Sayang malu, Mbak. Bentar, Sayang cek dulu." Sayang membuka ponselnya dengan semangat. Terdapat 3 votes dan beberapa komentar walaupun kebanyakan berisikan promosi. Tapi berhasil membuat mood Sayang meningkat drastis.

"Udah 9 views, Mbak."

"Wah, berarti udah ada yang baca dong? Nanti Mbak bantu promosi ke temen-temen Mbak deh."

"Jangan, Mbak! Sayang malu." Sayang hampir tak bisa mengontrol suaranya.

Kasih kaget. "Kok malu?"

"Isinya ... nggak jelas gitu."

"Lah, percaya diri aja, kan itu karya kamu."

"Ya ... kan Mbak nggak baca..."

"Sayang ... kan kamu tau Mbak nggak suka baca, lebih suka nonton. Apalagi kalau isinya teks semua, nggak ada gambarnya. Mbak puyeng. Kamu ada nggak temen yang bisa ngasih komentar gitu? Tapi pembaca kamu juga gimana?"

"Ini ada yang komen, Mbak. Katanya seru," jawab Sayang tersipu. Perasaannya membuncah melihat satu kata itu.

"Tuh kan, hebat adik Mbak."

"Tapi aku ngerasanya ... hm nggak tau, Mbak. Nggak jelas begitu."

"Sayang harus sayang juga dong sama karya sendiri. Masa digituin?"

"Tapi beneran nggak jelas, Mbak..." ujar Sayang kekeuh.

"Mbak doain semoga Sayang bisa jadi penulis besar. Siapa tau kan buku Sayang bisa mejeng di toko buku. Terus kalau ada rejeki diadaptasi deh jadi film atau jadi series...."

"Nggak mungkin ah, Mbak. Mustahil banget itu."

"Ih beneran, nggak ada yang tau, kan? Makanya selesain dulu ceritanya. Mudah-mudahan Sayang jadi penulis sukses di masa depan ya?"

"Aamiin," kata Sayang. Kemudian Sayang dan Kasih mengobrol tentang ibu bapak di desa, adik-adik, hubungan Kasih dengan Hari, beasiswa kuliah Kasih dan banyak hal lagi.

"Kos jangan lupa dikunci gembok, periksa kompor, keran."

"Iya, Mbak. Udah aman semuanya."

Setelah sesi teleponnya bersama Kasih, Sayang membaca artikel-artikel tentang dunia kepenulisan. Terdapat pengumuman dari akun penerbit yang menyatakan bahwa salah satu buku penulis terbitannya laku keras dalam beberapa menit.

"Gila, baru buka pre order aja udah laku 20.000 eksemplar dalam hitungan menit. Dikaliin berapa tuh? Ampun itu duit semua?"

Udah begitu di kolom komentar, masih banyak yang mengeluh nggak kebagian. "Berasa war konser KPOP cuy."

Sayang tersenyum penuh arti. "Bagus banget rejekinya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top