7 aikon ga ga gakuat
Orang sabar, wattpad-nya lebar - Shirei Shou
"Maaf sisanya receh ya, Bang," ujar Sayang mengeluarkan uang recehannya yang banyak buat beli kuota.
Abang konter pulsa di seberang sekolah menyambut uang recehan Sayang. "Nggak apa-apa, Neng. Enak buat kembalian."
"Makasih, Bang!" Sayang segera menggosok voucher dan mengisi kuotanya. Sayang tersenyum lebar melihat terdapat notifikasi komentar di akun wattpadnya.
Ada notif dari akun wattpad Wawa dan Loli pada cerita Sayang.
Wawatantikngets : Next, Author Sayangkuuu. munguts cuyunggg
= hehe tengchuuu wawa cyggg
_loligituloh: udh gue vote dan komen ya, seyeng nggak usah maksa lagi dong
= LOL siapa yg maksa hikssss :'((
_loligituloh: :p
omgsiapanih: Hi, Kak! Mampir yu ke ceritaku. Judulnya Ayang Ayangku Hooo. Jangan lupa follow akunku dan kasih vomment nya ya >.<
= nnti aku bca y kakk, jgn lupa feedback ^^
***
Sayang menghentikan langkahnya di depan majalah dinding dekat kantor guru, membuat Wawa yang berjalan di sampingnya juga berhenti.
"Festival Literasi?" gumam Sayang. Sayang membetulkan kacamatanya membaca pamflet dan persyaratan lomba literasi itu. Ada lomba cerita pendek dan puisi.
"Widih, coba ikutan, Yang. Mayan tuh hadiahnya," ujar Wawa.
Sayang mengangguk bersemangat. Juara 1 akan mendapatkan hadiah uang tunai 750.000. Bagi Sayang itu bukan lumayan, itu sih banyak. Pendaftarannya gratis bahkan juaranya sampai harapan 3 juga.
"Coba aja dulu, Yang. Semangat!" seru Wawa yang lebih semangat dari Sayang.
"Nulis apa ya? Temanya bebas."
"Hm, apa ya?" Wawa ikut berpikir keras. "Ntarlah, Yang. Bawa bengong aja dulu."
Sayang tertawa. Bener kata Wawa, bengong aja dulu.
Jadilah saat waktu kosong, Sayang sering bengong di kelas atau ke perpustakaan untuk cari inspirasi. Sayang juga bengong memerhatikan interaksi orang-orang di sekitarnya.
"Gue mau nulis apaan? Apa yang pengen gue sampaikan dari cerita gue?"
Sayang membuka wattpad dan membuka salah satu cerita yang pernah ia baca. Hm, ini nih Fangirl Enemy.
Sayang mencoba menganalisis cerita tersebut, ceritanya tentang fangirl dan cowok yang dia anggap musuh bebuyutan. Pesan yang ingin disampaikan? Hmm, Menghargai hal yang orang lain senangi.
Nah, si penulisnya udah punya bayangan tentang garis besar akan dibawa ke mana ceritanya.
Sayang berpikir keras, masih belum tau harus menulis apa.
***
"Mampus! Kunci motor gue mana ya?!" seru Wawa heboh sambil membongkar ranselnya.
Gerald terkekeh. "Makanya lo pake sepeda aja, Wa. Sekali bawa motor buang-buang kunci lo."
"Heh, orang panik juga," tegur Sayang yang juga ikut mencarikan kunci Wawa.
"Udah kalian duluan aja, biar gue cari sendiri." Wawa merasa tidak enak dengan Gerald dan Sayang yang menungguinya, sementara anak-anak yang lain udah bubar.
"Lo duluan aja, Yang. Gue temenin Wawa," ujar Gerald akhirnya.
Sayang melihat jam dinding, dia memang harus ke toko sekarang.
"Gue duluan ya, Wa," sesal Sayang.
"Nggak apa-apa, Yang. Entar lo telat ke toko. Salam buat Ko Darren ya."
Gerald menoyor bahu Wawa. "Sempet-sempetnya ni anak. Kunci lo tuh temuin dulu."
"Iya-iya." Wawa mendumal.
"Moga cepet ketemu ya kuncinyaaa," Sayang melambaikan tangan sambil melangkah keluar kelas.
"Daaah!"
"Tiati, Yang!"
Sayup-sayup Sayang mendengar Wawa yang mengomel pada Gerald.
"Cepetan bantuin cari, woy. Malah berdiri aja lo kayak mandor."
"Iya, Nyah. Ini lagi nyari gue. Bawel banget lo."
Sayang tertawa kecil menyusuri koridor.
***
Akhir pekan ini, Sayang serta Kasih seperti biasa berencana menginap di rumah mereka di desa. Sayang sedang menyusun kalimat demi kalimat untuk keperluan lombanya. Aktivitas Sayang terhenti saat Kasih bergerak gelisah seperti mencari sesuatu. Sayang bingung melihat kakaknya yang bolak-balik membuka lemari dan laci di kamar.
"Bu, cincin Kasih ketinggalan di sini?" tanya Kasih pada Asmara yang mengupas bawang.
"Itu... ibu gadaikan," cicit Asmara merasa bersalah.
"Apa, Bu?!" Kasih terkejut bukan main. Ia langsung terduduk lemas. "Ya ampun, Bu. Itu cincin hasil tabungan Kasih sama Mas Hari. Kasih harus bilang apa sama dia?"
"Ibu butuh uang, Kasih...."
"Tapi kok nggak bilang Kasih? Itu kan cincin Kasih, Bu...." ujar Kasih dengan suara bergetar.
Asmara menunduk dan berkata pelan. "Kamu kemarin nggak mau bantu ibu."
Kasih mengusap wajahnya dan mendesah pelan. "Bukannya nggak mau. Kalau ada pasti aku kirim kan, Bu? Setiap bulan juga aku udah kasih uang ke ibu."
"Tapi nggak cukup, Nak...."
"Nggak akan pernah cukup, Bu. Selama ini juga selalu abis, kan? Salah ya, Bu. Kalau Kasih juga pengen nabung? Buat masa depan, buat kebutuhan Kasih sendiri. Apa salah, Bu?"
Sayang paham perasaan kakaknya. Kakak perempuannya itu kini seolah dijadikan sapi perah. Mbak Kasih menyisihkan uang juga untuk dana darurat keluarga mereka. Jika terjadi sesuatu juga larinya pasti ke Mbak Kasih.
"Kamu nggak bisa egois, Kasih," ujar Asmara.
Sayang saja syok dengan jawaban ibu apalagi Kasih yang tampak begitu kecewa.
"Iya, maaf. Kasih yang salah, Bu. Suami ibu tuh pertahanin aja terus!" sahut Kasih tak dapat menahan emosi.
"Kasih, dia bapak kamu."
Kasih berdecak. "Sampai kapan ibu mau bertahan? Ibu selalu aja ngeluh tapi nggak cerai-cerai."
"Ibu juga mau ... tapi bapak kamu bilang dia nggak akan pernah bilang talak. Nenek bilang, mungkin sama bapak, ibu masih ada jodoh."
"Terus ibu pasrah aja? Mau sampai kapan, Bu?" Kasih makin merasa kesal sampai mengurut kepalanya sendiri.
Pandangan Kasih beradu dengan Sayang yang sedang memasukkan baju ke dalam ransel. Sayang pikir, mungkin tidak mudah untuk ibu berpisah dengan orang yang sudah bersamanya bertahun-tahun. Walau tahu, bertahan semenyakitkan itu.
***
Sore itu Kasih dan Sayang langsung pulang ke kos lagi, tak menginap dan pulang besok seperti biasanya. Sementara itu Kasih langsung pergi lagi untuk menenangkan diri. Kasih terlihat masih murung karena ulah ibu yang menggadaikan cincinnya.
Sayang mencoba mengalihkan pikirannya agar tidak bercokol dengan masalah rumah. Kemudian layar ponselnya memunculkan nama Azwa. Sayang segera mengangkat telepon.
"Yang, lo lagi di rumah ya? Nggak lagi di kos?" berondong Wawa saat telepon tersambung.
"Ini gue lagi di kos, Wa."
"Mantep. Yang, lo minggu libur kan? Gue boleh main ke kos lo nggak? Gue mau kabur nih."
"Boleh, Wa. Tapi di kos gue nggak ada apa-apa...."
"Kayak sama siapa aja lo. Gue otw yaaa."
"Sippp."
Sayang segera berbenah, merapikan dan menyapu kos menyambut kedatangan Wawa. Nggak lupa ia memastikan kesediaan air minum. Beberapa lama kemudian, Wawa pun datang.
"Masuk, Wa."
"Sorry ganggu lo ya, nih gue bawain rujak, gorengan, sama es batu juga."
"Wuihhh, mantep abis." Sekarang lagi panas banget, jadi es batu yang dibawa Wawa emang nikmat yang tak terdustakan.
Wawa tanpa sungkan mengikuti Sayang ke area dapur yang nggak jauh-jauh amat itu dan kembali ke bagian depan membawa piring dan sebagainya.
"Gimana kunci motor lo kemarin, Wa?" tanya Sayang sambil memukul es batu dan memasukkannya ke dalam teko.
Wawa menggigit plastik berisikan sambal rujak dan menyajikannya di piring. "Jadi kemarin tuh kunci gue nggak ketemu-ketemu. Gue mau naik angkot. Orang rumah juga pada nggak ada, jadi nggak ada yang bisa nganterin juga kan? Terus Gerald mau nganter gue pulang. Padahal lo tau kan, Yang. Rumah gue jauh banget dari sekolah," jelas Wawa ekspresif.
"Iya, gue ke rumah lo naik angkot aja mikir. Tapi lo kuat sih pakai sepeda, Wa," ujar Sayang.
Wawa tertawa. "Dikuat-kuatin lah, gue naik sepeda kan buat diet anjir."
"Keliatan kok hasilnya." Sayang mengacungkan jempol.
"Aw, thank you banget lohk.." kata Wawa tersipu-sipu.
Sayang mengubah tombol kipas angin ke yang paling kenceng. "Lanjut-lanjut, gimana tadi Gerald?"
"Ya ... udah ngambil kunci cadangan ke rumah gue, terus kami balik lagi ke sekolah. Padahal gue mau naik angkot, nyuruh dia langsung balik aja gitu. Tapi dia nggak mau. Pokoknya baik banget tuh cowok."
"Iya, dia tuh ngeledekin kan, tapi tetep bantuin sampai beres," timpal Sayang.
"Bener banget! Untung gue dah tau konslet-konsletnya. Bisa baper gue lama-lama," curhat Wawa.
Sayang terdiam sejenak, Gerald memang sebaik itu. "Iya, emang baik banget sih Gerald."
"Ultimate bias emang si Gerald," tandas Wawa sambil melahap bengkoang.
"Hahaha bahasa looo!" Sayang tergelak. "Tapi beneran deh seneng bisa temenan sama dia."
Wawa memicingkan mata menggoda. "Temenan apa temenan nih, Yang? Lo tuh mayan deket daripada yang lain loh."
Sayang menggeleng-geleng. Wawa emang suka ceng-cengin dia sama Gerald, seolah tau kalau Sayang punya perasaan sama cowok itu. Tapi Sayang selalu mengelak.
"Sama aja ah perasaan kayak yang lain. Mungkin idup gue aja sering banyak sialnya. Makanya sisi kemanusiaannya terpanggil membantu sesama manusia."
"Wuanjay.... Nggaklah, Yang. Beda sama lo tuh," kata Wawa bersikukuh.
Alarm 'geer' pada diri Sayang langsung menyala dan melontarkan hujatan untuk kesadaran diri. "Nggak usah ngerasa spesial deh, lo!"
"Yang jelas gue bersyukur punya temen kayak dia, kayak lo juga, Wa," kata Sayang menyengir.
"Ah, lo ini! Jadi malu nih gueeee." Wawa tersenyum lebar seraya mendorong bahu Sayang hingga Sayang terhuyung. Mereka terbahak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top