6 fikti minirik ying hiris kimi kitihii

Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari - Pramoedya Ananta Toer

Sayang mengantar basrengnya ke kantin dan syukurnya disambut dengan baik oleh ibu pengelola kantin. Sayang diberi izin untuk menitipkan dagangannya. Seenggaknya Sayang nggak perlu keliling sekolah untuk menjajakan jualannya.

“Sini duduk, Yang,” ujar Gerald mengambilkan kursi untuk Sayang. Sayang sudah ingin menolak tapi Vio yang duduk di sebelah Gerald buka suara.

“Duduk, Yang. Pucet banget muka lo,” ujar Vio tersenyum ramah.

Sayang tersenyum kikuk, nggak biasa-biasanya mata Vio yang tajam itu tidak terlihat sinis. Apa selama ini Sayang cuman salah paham?

“Iya, lo kecapekan nih pasti,” kata Gerald.

Sayang memilih duduk di samping Loli yang duduk di seberang Gerald dibanding duduk di kursi yang Gerald ambilkan tadi. Jadi, Sayang duduk di seberang Zahra. 

Vio mencoba membuka botol mineralnya tapi tak kunjung bisa. Melihat itu, Gerald membukakan botol mineral Vio. Zahra dan Loli langsung saling pandang dan tersenyum pada Vio yang salah tingkah. Hal itu juga tak luput dari pandangan Sayang.

Sayang sibuk menyedot es tehnya dan sekilas mendengarkan obrolan Gerald dan Vio cs yang sama-sama anggota OSIS. Gerald, sekretaris sedangkan Vio bendahara OSIS. Karena nggak tau topik bahasan mereka, Sayang membuka wattpad untuk melihat notifikasi dan memeriksa apakah cerita dari author favoritenya sudah update atau belum.

Loli yang juga punya wattpad pun mencuri-curi pandang. “Sayang baca wattpad juga? Gue juga looooh,” kata Loli antusias.

“Akun lo apa, Yang? Temenan yuk.... Lo nulis juga di sana?” tanya Loli sambil mengambil I-Phone 11 yang terlihat sangat kontras jika dibandingkan dengan ponsel Sayang.

“Iya, gue nulis di sana. Lo juga, Li?” Sayang tersenyum cerah, Loli emang lebih ramah sih dibanding Vio dan Zahra. Sayang menunjukkan usernamenya.

“Nggak, gue cuman suka baca. Mau sih nulis, tapi nggak bisa. Bisanya nulis caption instagram doang.”

“Bikin caption juga susah, Li,” kata Sayang.

“Hehe iya sih. Itu aja mikir lama banget tiap bikin caption. Sampai sakit kepala. Oh iya, udah gue follow, ya. Jangan lupa follback, lho.” Loli menunjukkan dirinya yang sudah mengikuti akun wattpad Sayang.

“Eh?” Sayang pun segera mengikuti balik akun Loli. “Ini udah gue follow. Makasih ya, Li.”

“Gue yang makasih. Ih akhirnya gue punya followers yay. Siapa tau lo ntar jadi penulis terkenal, jangan lupa sama gue lo, Yang. Gue followers lo yang ke 7 nih.”

Sayang tertawa. “Ah, gue nulis iseng doang, Li. Lo nggak usah baca ya.”

“Ih, gue baca ah...."

"Beneran deh mending nggak usah, malu gue, cerita gue nggak jelas."

"Ngapain malu? Nggak apa-apa kali, Yang. Namanya juga belajar.” Loli tersenyum lebar.

Loli walau punya mulut ceplas-ceplos dan kelewat polos, baik juga ya ternyata....

“Tapi lo lagi suka baca apa, Li?” tanya Sayang.

“Gue suka baca cerita anak SMA gitu sih. Tapi kalo yang anak-anak kampus juga sukaaa.” Loli dengan penuh semangat menunjukkan perpustakaannya di aplikasi wattpad.

Ada beberapa sampul cerita yang Sayang kenali dan tentu Sayang pernah membaca cerita-cerita itu. “Ini lo baca nggak? Inggrid Sonya.”

“Say Hi! Iya-iya gue baca ituuuu!” seru Sayang dengan mata berbinar. Gerald tersenyum melihat Sayang yang bersemangat sekali. 

Mata Loli membulat mendapati reaksi Sayang. “Seru banget kaaan?!”

Sayang mengangguk cepat. “Iya, seru paraaah!”

“Lo suka sama siapa?” cecar Loli lagi.

“Kayaknya suka sama semuaaa.”

Loli mengguncang bahu kanan Sayang. “Ih, sama.... Nggak bisa milih. Keren-keren banget!”

“Semua tokohnya hidup banget gitu. Pandu yang sutradara muda, terus Ipank yang taekwondo. Terus-terus Ervan apa tuh? Rockester, Rockester.”

“Ervaaan... pitcher bisbol, kan?”

“Uhhhh, keren banget Ya Tuhan....”

“Gue suka gimana penulisnya bangun chemistry antar tokoh. Ribby sama dua sahabatnya, Ervan sama Pandu.”

“Pandu sama Resha juga sweet banget walaupun scene-nya nggak banyak. Berasa banget ih mantan terindahnya.”

“Interaksi Ipank sama si Qia, adeknya itu juga gemes.”

“Qia sama Ribby lagi bareng juga gacor banget. Itu Ribby sama abangnya si Romi juga gue sukaaa.”

“Gue kalau liat Xpander lewat pasti keinget Ervan deh.”

“Iya gue juga.” 

“Kalau liat KLX inget Adam.”

“Merbaby?”

“Gue juga bacaaa... ya ampun, Sayang.... Aaaak!”

Gerald tertawa kecil melihat interaksi Sayang dan Loli. Sama bersemangatnya seperti Sayang dan Wawa di kelas kalau sudah membahas wattpad dan tokoh fiksi kesukaan mereka. Gerald sampai nggak bisa menyela karena mereka tek-tokannya cepet banget.

Sementara Vio dan Zahra tak nyaman memperhatikan Sayang dan Loli yang begitu asik mengobrol. Vio sudah menendang-nendang kaki Loli agar tak terlalu berisik dan mencuri perhatian Gerald yang tadi mengobrol dengannya. Loli nggak merespon karena terlalu seru membahas karakter-karakter nggak nyatanya bersama Sayang.

“Astaga hp lo dari zaman kapan itu, Say?” HP lama Sayang nggak luput dari perhatian Zahra  membuat yang lain ikut memerhatikan. Obrolan tentang wattpad antara Loli dan Sayang pun terputus.

“Eh, udah lama sih,” Sayang tertawa canggung.

Zahra mengulurkan tangan pada Sayang. “Boleh liat nggak? Lama banget gue nggak liat.”

“Eh, hm ... boleh.”

Sayang tertegun saat Zahra menyambar ponselnya. 

Zahra tertawa dan memperhatikan HP Sayang dengan saksama. “Keren banget, ih. Kayaknya gue pake ini waktu SD atau kelas satu SMP ya?”

“Ih, itu hati-hati pegangnya, nanti kalau nggak sengaja kebanting HP Sayang harus dikaretin tuh,” kata Loli dengan polosnya. 

“Dikaretin?” Sayang kontan tergelak, lucu banget si Loli. Sayang nggak bisa bayangin harus ngaretin HP lamanya itu.

Sementara Vio memerhatikan Gerald yang memandangi Sayang lekat, seperti takut Sayang tersinggung.

“Udah-udah, Ra. Nggak usah terlalu diteliti hape Sayang. Kayak liat artefak aja lo,” ujar Vio tertawa renyah.

Zahra mengembalikan ponsel Sayang. “Ini, Yang. Keren sih lo. Sama hape aja loyal.”

Sayang terdiam, di meja kantin ponsel teman-temannya begitu bagus dan keluaran terbaru. Kalau membandingkan dirinya dengan mereka ya pasti nggak akan pernah cukup.

“Iya kalau nggak rusak, nggak bakalan ganti,” ujar Sayang dengan tawa yang nggak ketinggalan.

“Mau gue rusakin nggak? Terus lo jadi ada alasan bisa ganti deh,” ceplos Zahra.

“Nggak usah. Ntar kalau udah ajalnya juga rusak hape gue.” Sayang menahan tawanya. Zahra ini tau sendiri Sayang nggak ada duit buat ganti. “Eh, gue cabut duluan, ya?”

“Eh bareng, Yang!” Loli bergegas bangkit mengikuti Sayang.

Zahra sudah akan menahan, aneh banget geng mereka kalau jalan nggak ada Loli. Emang kebanyakan nonton Mean Girls kayaknya si Zahra.

Si Loli memeluk lengan Sayang dan membahas Sayang udah baca cerita apa lagi di wattpad. Gerald memerhatikan Sayang yang tertawa bersama Loli.

***

Sore ini, Sayang mencabut singkong di halaman rumahnya di desa. Ibu baru saja pergi mengantar pesanan, sedangkan Cinta dan Rindu berangkat untuk belajar ngaji. Ekspresi Sayang berubah dingin melihat sang bapak yang datang menghampirinya. 

Jujur saja, melihat bapak yang semakin berubah dan terus-terusan mendengar keluhan ibu tentang kelakuan bapaknya membuat Sayang kehilangan rasa hormat pada pria di depannya itu.

Walau kadang Sayang juga kecewa saat ibu melontarkan kata teramat kasar pada bapak. Namun, kalau ia jadi ibu, mungkin Sayang juga tak bisa mengontrol diri untuk bersikap baik-baik saja seolah tidak ada yang terjadi.

Sayang hanya bisa melihat langsung ketika pulang, makanya dirinya begitu malas pulang. Kalau bisa, ia tidak akan pulang. Tapi bagaimana dengan adik-adiknya? Bagaimana dengan kesehatan mental adik-adiknya yang harus menyaksikan perseteruan bapak dan ibu setiap hari?

“Dengar nggak? Belikan bapak rokok,” ujar Tomo memerintah.

Sayang menghela napas dalam-dalam. “Uangnya mana?”

Tomo tersenyum aneh. “Pakai uang kamu dulu ya?”

Sayang menggigit bagian dalam mulutnya. Menahan emosi yang menggelegak. “Pak, Sayang nggak punya uang.”

“Pasti ada kan kamu pegangan. Bapak pinjam dulu. Nanti bapak ganti.”

Sayang berusaha keras untuk tidak berdecak. “Mana kunci motor?”

“Nggak ada bensin. Jalan kaki aja kamu. Jangan malas.”

Sayang menahan napas berat. Namun, entah kenapa tak berani membantah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top